Selasa, 30 Desember 2014

PERATURAN BERSAMA 2 MENTERI

Sikap GEREJA dalam Menghadapi Fenomena Pelarangan Beribadah
Refleksi terhadap Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.
Oleh:
Sefnat JD. Lobwaer


Gereja dalam kehidupan keseharian merupakan garam dan terang dunia, dimana Gereja dituntut untuk menghasilkan buah roh dalam situasi yang sulit. Peristiwa penghancuran Gedung Gereja, Pelarangan Beribadah dan bahkan yang lagi hangat saat ini adalah penganiyaan terhadap Pendeta dan Majelis  HKBP yang disiarkan secara luas oleh media masa, baik cetak maupun elektronik, menuntut Gereja (Secara Badan maupun Pribadi) untuk bagaimana bersikap dan bertindak.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 28E Angka 1 dan Angka 2 menjamin setiap warga negara mengekspresikan keyakinannya (Kepercayaan) sesuai degan hati nuraninya. Kebebasan ini dikuatkan dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia.
Hak beragama merupakan Hak Asasi Setiap individu yang tidak dapat diinterfensi oleh siapapun termasuk negara, bahkan negara harus menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepeercayaannya.

Saat rasa kenyamanan mengekspresikan keyakinan dan kepercayaan mulai terusik, maka warga negara harus berlindung kepada pemerintah sebagai penjamin kenyaman warganya, namun jika hal ini tidak didapati maka ini merupakan perampasan hak dasar dari individu maupun kelompok tersebut.

Menyikapi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat yang seharusnya menjadi payung hukum untuk melindungi warga negara dipergunakan oleh kelompok tertentu  untuk mengintimidasi kelompok tertentu.

Pasal yang menjadi senjata kelompok mayoritas adalah Pasal 13 Angka 1, Angka 2 dan Angka 3, dimana tidak menunjukan keberpihakan kepada kelompok minoritas diperkuat dengan Pasal 14 Angka 1, Angka 2 dan Angka 3.
Pasal 14 Angka 2 huruf a, b dan c sangat memungkinkan untuk pelarangan pembangunan rumah ibadah bagi kelompok minoritas. Sekalipun ada 90 KTP Jemaat namun harus disahkan oleh pemerintah setempat ditambah 60 KTP persetujuan dari warga yang lagi-lagi disahkan oleh Lurah atau Kepala Desa belum lagi dipersulit untuk mendapatkan rekomendasi dari Kantor Agama dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Pasal ini dipakai menjadi penghambat pembangunan rumah ibadah.
Lalu bagaimana dengan ibadah-ibadah yang dilakukan di Mall, restoran dan ruang pertemuan hotel. Merupakan celah untuk dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu dalam menekan kenyamanan beribadah bagi sebagian warga negara yang menggunakan fasilitas tersebut sebagai sarana ibadah.
Pasal 18, 19 dan 20, dari Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri merupakan kerumitan tersendiri bagi masyarakat yang mau beribadah namun terkendala tempat ibadah.

Melihat fonomena saat ini, maka kehidupan kebhinekaan kita lagi terancam, keragaman yang menjadi kebanggaan kita sebagai bangsa dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika tercemar oleh ulah sekelompok warga negara dengan dalih agama karena mengacu pada Peraturan Menteri Agama dan Mentri Dalam Negeri nomor 9 dan nomor 8 tahun 2006.
Sikap ini disebut sebagai diskriminatif, Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi RAS dan ETNIS Pasal 4 huruf a, huruf b angka 1, 2, 3 dan 4.
Pasal 1 angka 3 menjelaskan defenisi etnis salah satunya adalah penggolongan manusia berdasarkan kepercayaan.
Dalam Pasal 9, menjelaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan perlakuan yang sama untuk mendapatkan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tanpa pembedaan ras dan etnis.
Nafas dari pasal 9 ini harus dijunjung tinggi oleh setiap warga negara bahkan negara (Pemerintah).

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 4, dengan jelas menjelaskan bahwa setiap orang memiliki Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Ini berarti hal menjalankan ibadan (sesuai agama yang dianut) merupakan hak individu yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Lebih jauh lagi dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 ini tentang Hak Asasi Manusia pada pasal 22 Angka 1 dan Angka 2 menegaskan bahwa (1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamnya dan kepercayaanya itu.
(2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu.
Menilik pasal-pasal tersebut maka setiap orang sebagai warga negara Republik Indonesia harus memiliki rasa aman dalam mejalankan kemerdekaan dalam beribadah menurut kepercayaannya. Pasal 30 Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

Kehidupan beragama setiap warga negara dipayungi oleh Undang-undang dan terlebih lagi dilindungi oleh pemerintah, namun realita yang dihadapi oleh Gereja, dimana pengrusakan bangunan gereja, pelarangan membangun tempat ibdaha dan bahkan intimidasi yang dialami oleh gereja sebagai lembaga maupun individu merusak tatanan kehidupan bermasyarakat sebagai pencerminan kebhineka tunggal ikaan. Lalu menjadi pertanyaan mendalam bagi Gereja, APA YANG HARUS GEREJA LAKUKAN ???

Doa Tuhan Yesus dalam Injil Yohanes 17 :  15, Aku tidak meminta, supaya Engkau mengambil mereka dari dunia. Artinya bahwa Tuhan Yesus mengijinkan kita berada di dunia ini dan menyadari bahwa dunia membenci gereja (Yohanes 17 : 14)
Kita ditempatkan di dunia sebagai agen kasihnya ALLAH, dimana melalui Gereja sungai kasih ALLAH dapat mengaliri dunia yang gersang. Doa Tuhan Yesus dikayu salib seharusnya menjadi doa gereja dalam menghadapi ketidak adilan sistem ini, Lukas 23 : 34, Yesus berkata: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”
Mengumpat dan mengutuk bukan bagian dari sikap dan mentalitas Gereja, sekalipun gereja merasa sakit dari ketidak berpihakan dan ketidak adilan yang diterima walaupun telah ada payung hukum dalam menjamin hak setiap warga negara. Sebagai agen kasih ALLAH maka gereja mengalirkan kasih itu memenuhi bumi seperti air menutupi lautan.
Kekuatan kasih adalah mengampuni dan memaafkan. Saat gereja mengambil peran sebagai agen kasih maka ALLAH akan melakukan bagian ALLAH. Kitab Ulangan 32 :35 – 36 Pembalasan adalah hak TUHAN, jadi gereja jangan mengambil haknya TUHAN. Lihat juga Roma 12 : 19 dan Ibrani 10 : 30.

Manifestasi yang harus dimanifeskan oleh Gereja dalam situasi seperti ini adalah menabur kasih sebanyak-banyaknya (Galatia 6 : 7 – 8), membuktikan diri sebgai garam dan terang dunia (Matius 5 : 13 – 16) dan berdoa bagi kesejahteraan negeri ini (Yeremia 29 : 7).
Jangan pernah Gereja jemu-jemu dalam berbuat baik, sekalipun kebaikan gereja dibalas dengan ketidak adilan, namun disisi lain Gereja harus mengambil peran menyuarakan suara kenabian dalam mengingatkan dunia ini (juga Pemerintah) tetapi tetap pada ranah KASIH ALLAH bukan karena merasa hak-haknya sebagai warga negara dilanggar atau bahkan dirampas mengatas namakan agama dan hukum.
Posisi Kenabian ini adalah posisi horisontal dan vertikal, sehingga terjadi keseimbangan, Yesaya 62 : 6 – 7. Gereje tidak bisa mengambil posisi hanya horisontal ataupun vertikal saja, jika hal ini terjadi maka gereja akan terlibat dalam radikalisme yang ekstrim sehingga membuat gereja kehilangan kekuatan sebagai agen kasih ALLAH.

Pancarkan kekuatan kasih yang mengubah dunia, kondisi-kondisi yang terjadi merupakan peluang bagi Gereja untuk menunjukan Kasih yang begitu besar dari ALLAH Bapa, ALLAH Anak dan ALLAH Roh Kudus bagi dunia ini.
Mengampuni dan memaafkan bukan pencerminan dari ketakutan karena minoritas, tetapi merupakan kekuatan kasih, mengkomunikasi pesan ILLAH dengan santun sebagai bagian dari suara kenabian bukan pencerminan sakit hati kita untuk membalas dendam tetapi bagian dari kasih kita terhadap negeri ini, hanya saja terkadang Gereja sulit untuk menerapkan dan membedakan mana suara kenabian dan mana yang lahir dari sakit hati Gereja, dan berdiam diri sebagai bagian dari mengampuni karena ketakutan. Hal ini yang harus diketahui dan disadari betul oleh Gereja.

Mari berdoa untuk negeri ini dan menabur kasih bagi bangsa ini.
Tuhan Yesus membutuhkan kita untuk menyatakan kasihnya bagi Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berjalan bersama TUHAN - Part 7

Menjadi Manusia BARU Efesua 4 : 17 - 32 Oleh : Ps. Sefnat JD. Lobwaer. Kehidupan yang diberikan oleh TUHAN YESUS sebagai anugerah bagi manus...