Jumat, 19 Februari 2016

KONSTRUKSI SOSIAL



Dari Kehidupan keseharian
28 Desember 2015
Laki-laki dalam keistimewaan konstruksi sosial. 
Laki-laki dan Perempuan sama-sama menjadi KORBAN KONSTRUKSI SOSIAL
Konstruksi sosial membangun karakter laki-laki menjadi keras, bahkan menciptakan laki-laki sebagai mesin kekerasan yang menjadikan laki-laki dominan dalam tatanan kehidupan. Keistimewaan yang memperbolehkan laki-laki melakukan banyak hal lebih dari perempuan menciptakan ketidak setaraan gender, yang berdampak pada perilaku menguasai. Konstruksi ini di pelihara dengan baik melalui kontribusi media, yang sangat tidak sensitif gender bahkan menjual keseksian sebagai gambaran sexisme dalam banyak produk. Dalam konteks penanggulangan HIV dan AIDS yang juga banyak bersentuhan dengan ketidak setaraan gender, para aktivis pun masih banyak melakukan kampanye yang tidak sensitif gender, ditambah dengan program-program baik dari DONOR, Nasional maupun Daerah yang banyak menyasar kepada perempuan dengan dalil KORBAN, padahal tanpa disadari hal tersebut menempatkan perempuan dalam paradigma sosial sebagai PENYEBAB.  Hampir semua aktivis berbicara HIV hanya dalam konteks pencegahan, penanggulangan dan pengobatan tanpa bisa mengkaitkannya dengan Hak Kesehatan Seksual Rproduksi, Gender, dan Pelibatan Laki-laki dalam bingkai Hak Asasi Manusia. Hal ini membuat kita menghabiskan banyak energi dan dana pada kerja-kerja muara tanpa berurusan dengan kerja-kerja hulu. Kalaupun ada yang berbicara tentang HKSR, Gender namun sangat jauh jangkauannya dari keterkaitan dengan HIV dan AIDS, padahal persoalan HIV dan AIDS bisa terjadi karena ketidak terpenuhinya Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi serta persoalan ketidak setaraan gender dalam relasi seksual.  Dominasi laki-laki dipersubur dengan pendekatan PPIA (pencegahan HIV dari Ibu ke Anak) dalam mengurangi infeksi baru pada anak. Pendekatan ini seakan menegaskan bahwa perempuan (istri) lah yang paling bertanggung jawab bukan kedua orang tua dalam pencegahan HIV kepada anak, dan jika anak terinfeksi maka beban kesalahan 100% ada pada perempuan (istri) karena gagal dalam Program PPIA.  Intervensi struktural di Lokalisasipun menempatkan perempuan sebagai media pencegahan, WPSlah yang menanggung dominasi kekuasaan laki-laki. Program Kondom di lokasi, lokalisasi maupun hospot-hospot tanpa disadari merupakan alat kontrol terhadap perempuan, jauh dari kesadaran hak kesehatan yang melindungi reproduksi perempuan. Produk hukum pun dalam ranah pencegahan dan penanggulangan IMS, HIV dan AIDS masih terlihat ketidaksensitifan terhadap persoalan gender.  Laki-laki dengan keistimewaannya yang di berikan oleh konstruksi sosial menjadikan laki-laki rentan terhadap TERINFEKSI HIV dan Perempuan dalam segala pembatasan yang diberikan oleh konstruksi sosial membuat perempuan memiliki potensi besar untuk tertular HIV; perbedaan dalam kerentanan ini adalah laki-laki mengambil risiko tertular sedangkan perempuan menghadapi risiko tertular tanpa punya kekuatan melawan.        
v  Saatnya strategi pencegahan diarahkan pada perubahan perilaku pada sisi keistimewaan laki-laki.             
v  Keikutsertaan laki-laki dalam meruntuhkan tembok-tembok yang sudah terbangun kokoh dalam melestarikan nilai-nilai kekerasan yang dipertontonkan oleh laki-laki menjadi kekuatan membangun kesetaraan dan keadilan gender.         
v  Jadikan perempuan sebagai mitra setara menyadarkan laki-laki bahwa dibalik keberhasilan laki-laki ada peran kuat dari perempuan Kesetaraan ini menjadikan laki-laki berani keluar dari sona amannya untuk menciptakan keharmonisan dalam tiap relasi yang terbangun.
Penerimaan laki-laki terhadap perubahan nilai-nilai keistimewaan bukanlah mempertontonkan sisi lemahnya laki-laki yang adalah ketakutan sendiri namun di sinilah penghargaan terhadap laki-laki terbangun dengan baik. Laki-laki yang menerima kesetaraan gender sebagai konstruksi sosial baru sebenarnya menjadikan laki-laki itu sebagai panutan dalam masyarakat walau harus meruntuhkan benteng kokoh keistimewaan yang merupakan tempat yang paling aman untuk bersembunyi dari banyak kelemahan laki-laki.  Dibalik suami (laki-laki) yang hebat, ada peran istri (perempuan) yang luar biasa. Keberhasilan laki-laki (suami) karena keegoisannya maka menyamping kan peran perempuan (istri), tanpa disadari bahwa pencapaiannya saat ini merupakan andil dari peran seorang istri. Ada banyak hal dari siapa kita (laki-laki) dalam kelemahan disimpan dengan baik oleh pasangan kita karena kecintaannya dan dalam ketulusannya; tanpa kita sadari pasangan kita dengan caranya membimbing kita untuk keluar dari kelemahan itu. Menjadikan pasangan kita sebagai mitra setara dalam membangun kehidupan bersama mendorong setiap laki-laki untuk berpartisipasi dalam pekerjaan domestik dan jika ini terjadi maka sebenarnya kita lagi membangun konstruksi sosial baru yakni kesetaraan dan keadilan gender.  Dalam keegoisan laki-laki karena keistimewaan yang diberikan dalam konstruksi budaya patriakhi terbawa sampai kepada dominasi kepuasan diranjang (hubungan seks). Konstruksi sosial yang melarang perempuan untuk mengekspresikan hasrat seksualnya membuat perempuan berpasrah dan kemudian terbangun dalam pola pikir yang diekspresikan dalam pola laku; sudah menjadi keharusan seorang istri untuk melayani hasrat seksual suami. Bahkan ada dengan dalil religi, sehingga membuat perempuan bungkam seribu bahasa tatkala berbicara tentang hasrat seksual dan kepuasan seksual, lebih miris lagi masih ada pendapat bahwa jika ada perempuan yang diperkosa itu karena kelalaian baik itu dalam berpakaian, situasi dan kondisi tanpa memberikan hukuman sosial sebesar-besarnya kepada pelaku. Konstruksi sosial yang menempatkan perempuan tidak memperbolehkan mengekspresikan hasrat seksual menjadikan perempuan rentan terhadap kekerasan seksual dan berisiko untuk tertular penyakit kelamin, bahkan dibebani reproduksi. Budaya Patriakhi menjadikan perempuan mesin reproduksi dan menghilangkan hak rekreasi perempuan dalam berhubungan seks dengan pasangannya.      
Hal menarik dalam dalam beberapa budaya, kehadiran anak laki-laki lebih diidam-idamkan melebihi kehadiran anak perempuan. Bahkan jika satu pasangan tidak memiliki keturunan anak laki-laki, maka beban kesalahan dibebankan kepada perempuan, sehingga dalam ketertekanan budaya, perempuan memberi ijin untuk laki-laki mencari perempuan lain demi mendapatkan anak laki-laki; begitu pula jika pasangan tersebut tidak memiliki keturunan, beban kesalahan ada pada perempuan kemudian diperparah dengan stigma "mandul" yang belum terbukti secara medis. Dan selalu laki-laki mendapat keuntungan dalam situasi tersebut untuk mengekspresikan hasrat seksualnya kepada perempuan lain karena diizinkan oleh budaya patriakhi. Konstruksi sosial tidak pernah menempatkan laki-laki pada sona "bersalah" jika tidak memiliki keturunan laki-laki atau tidak memiliki keturunan. Situasi ini mengaminkan dan menyuburkan perilaku "poligami" lalu laki-laki menggunakan kesempatan ini untuk mulai menunjukkan sisi lain dalam petualangan seksualnya.          
Saatnya laki-laki sadar bahwa "dia menjadi korban konstruksi sosial". Jika kesadaran ini terbangun dalam paradigma berpikir laki-laki, maka laki-laki akan berjuang keluar dari situasi keistimewaan yang menjadikannya sebagai korban. Karena pada dasarnya manusia tidak mau menjadi korban dalam konteks apapun.
Kesadaran menjadi korban, akan membangun empati yang kuat terhadap perempuan yang selama ini menjadi korban hegemoni laki-laki; dengan berempati akan mendorong laki-laki menciptakan budaya baru yakni kesetaraan gender yang diidam-idamkan oleh perempuan.  Saya belajar dalam kitab sesuai iman saya, saya menemukan bahwa perempuan juga diberi hak untuk mengekspresikan hasrat seksualnya, artinya bahwa perempuan pun berhak mendapatkan kepuasan yang sama dengan laki-laki dalam berhubungan seks. Bahkan dalam melakukan hubungan seks dengan pasangannya, perempuan melakukan dalam kegembiraan dan sukacita bukan dengan paksaan dan keharusan. 

Perempuan dalam KONSTRUKSI SOSIAL

Perempuan dilemahkan oleh konstruksi sosial, yang kemudian membangunnya sebagai konstruksi berpikir (bahkan oleh perempuan itu sendiri) bahwa memang perempuan itu "makhluk yang lemah"
Dilemahkan kemudian melemahkan diri sendiri, menjadikan perempuan ada pada kategori tunduk dan patuh pada kepemimpinan laki-laki. Penafsiran yang dangkal terhadap ayat Kitab Suci semakin mempertegaskan posisi perempuan dimata laki-laki dalam struktur sosial.

Pola pikir perempuan tunduk bukan hanya ada pada perempuan yang tidak berpendidikan namun juga dimiliki oleh perempuan yang berpendidikan tinggi bahkan memiliki kemampuan keuangan yang mumpuni. Kekuatan bangunan konsep sosial ini begitu mempengaruhi ruang gerak wanita walau perjuangan kesetaraan gender telah lama diperjuangkan.
Perempuan mengalami KEKERASAN GANDA; dari NILAI KONSTRUKSI SOSIAL dan dari LAKI-LAKI
Dalam panggung politik, banyak laki-laki menggunakan isu kesetaraan gender untuk mendulang suara dari kaum perempuan, dan ini cukup berhasil. Mengikuti debat kandidat dalam Pilkada dibeberapa daerah (beberapa waktu lalu) melalui media televisi, banyak calon mengangkat isu kesetaraan dan keadilan gender, namun saat dijabarkan sangat jauh dari makna kesetaraan dan keadilan tersebut. Makna kesetaraan ini hanya sebatas berapa persen perempuan yang duduk di parlemen, dan berapa perempuan yang bisa diterima bekerja, tapi apakah mereka yang duduk di parlemen, menjadi PNS dan bekerja di areal lainnya memiliki kekuatan memutuskan seperti laki-laki? Ini persoalan.
Memang laki-laki dan perempuan adalah korban dari konstruksi sosial, namun perbedaannya adalah laki-laki mengambil posisi keistimewaan dari status korbannya untuk mendominasi sedangkan perempuan pada posisi didominasi.
Hal ini menunjukkan bahwa, perempuan menjadi korban ganda yakni; pertama adalah korban karena konstruksi sosial dan yang kedua Perempuan menjadi korban karena dominasi laki-laki.
Perempuan dalam ketertekanan yang tidak disadari; menjalani semuanya dengan pemahaman: inilah KODRAT, sehingga semakin kuat konstruksi sosial karena dipelihara dengan baik oleh perempuan itu sendiri.  
Hegemoni maskulinitas menjadi sesuatu yang begitu agung dimasyarakat sehingga menempatkannya sebagai bukti kewibawaan laki-laki dan bukti kepatuhan perempuan terhadap laki-laki. Hal ini sangat berpengaruh dalam tindakan keseharian.
KODRAT dalam KONSTRUKSI BERPIKIR MASYARAKAT
Pemahaman masyarakat tentang kodrat bukan sekedar sesuatu yang sudah dari penciptaan dan tidak dapat diubahkan, sesuatu yang berlaku sama disetiap daerah dan situasi. Pola berpikir sesuai konstruksi sosial bahwa laki-laki adalah kepala keluarga yang bertanggung jawab penuh terhadap perekonomian keluarga dan harus bekerja diluar rumah dan perempuan adalah pengurus rumah tangga sehingga semua urusan dalam rumah merupakan tanggung jawab perempuan adalah KODRAT. Pemehaman kodrat seperti inilah mengakibatkan masyarakat tidak dapat menerima jika ada perempuan yang sibuk diluar rumah dan seorang laki-laki tinggal di rumah; bagi masyarakat hal ini menyalahi kodrat.
Masyarakat menepatkan PERAN sebagai KODRAT. Kita lupa bahwa kodrat adalah sesuatu yang tidak dapat dipertukarkan dan peran adalah sesuatu yang dapat dipertukarkan. Urusan publik dan urusan domistik merupakan peran yang dijalankan oleh laki-laki dan perempuan, dan karena ini merupakan peran, itu artinya dapat dipertukarkan antara perempuan dan laki-laki.
Menempatkan PERAN domistik sebagai bagian dari KODRAT yang harus dikerjakan oleh PEREMPUAN menjadikan perempuan (isteri) sebagai pembantu. Mengerjakan segala sesuatu dari kita (laki-laki/suami) belum bangun sampai dengan kita (laki-laki/suami) tertidur pulas dimalam hari. Jika persoalan rumah tidak terbenahi dengan baik, maka kesalahan diletakan pada bahu perempuan.
KODRAT dalam konstruksi sosial yang sebenarnya adalah PERAN menjadikan perempuan semakin dilemahkan dalam kehidupan bermasyarakat karena ketidakseimbangan peran yang dijalankan dalam keseharian.
KODRAT dalam konstruksi sosial, memaksa seorang perempuan yang juga adalah wanita karir harus melakukan kerja ganda karena harus tampil sebagaimana perempuan tuntutan konstruksi sosial (masyarakat). Kerja dikantor tetapi pekerjaan rumah harus selesai, berbeda dengan tuntutan masyarakat terhadap laki-laki. Jika laki-laki bekerja diluar rumah dan sesampainya dirumah harus istirahat; jauh dari pekerjaan domestik karena kodratnya adalah bekerja di ranah publik
Pola pemahaman yang salah ini menempatkan perempuan rawan mengalamai kekerasan.
KODRAT adalah sesuatu yang tidak dapat dipertukarkan dan PERAN adalah sesuatu yang dapat dipertukarkan, dengan pemahaman ini maka kita tidak akan mencela jika seorang bapak (laki-laki) melakukan pekerjaan diranah domistik dan seorang ibu (perempuan) melakukan pekerjaan diranah publik.
Dengan pemahaman yang benar terkait KODRAT dan PERAN maka kita menghargai apa yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki tanpa harus memperdebatkan publik atau domestik.

PEREMPUAN diperhadapakan pada KEKERASAN dan HIV
Pada saat penempatan PERAN menjadi KODRAT bagi perempuan adalah persoalan KERAWANAN terhadap KEKERASAN.
PERAN dilihat sebagai KODRAT dalam konstruksi sosial; menempatkan PEREMPUAN rawan KEKERASAN
Diskusi bersama 20 laki-laki di Lembaga Pemasyarakatan IIB Merauke, terungkap bahwa dalam pembuktian dominasi laki-laki terhadap perempuan salah satu strategi efektif adalah dengan KEKERASAN; hal ini membuat perempuan hidup dalam ketakutan untuk melawan. Penegakan dominasi laki-laki terhadap perempuan bukan hanya melalui kekerasan fisik, namun juga psikis, ekonomi dan seksual.
Dari pengungkapan bahwa jika laki-laki tidak menempatkan dominasinya terhadap perempuan melalui kekerasan, maka itu bukan laki-laki walau berpenis. Laki-laki diidentikan dengan KEKERASAN, itulah yang tercermin dari diskusi tersebut.
Seminggu setelah berdiskusi dengan teman-teman di LP, saya berkesempatan membawa materi Kekerasan dalam Pacaran dikalangan remaja luar sekolah. Hasilnya menunjukan bahwa konstruksi sosial memiliki andil terjadinya kekerasan.
14 dari 17 remaja perempuan, menyukai laki-laki yang memiliki kemampuan berkelahi, 9 dari 17 remaja perempuan menyukai laki-laki yang suka olkohol dan perokok, dan 16 dari 17 remaja perempuan menyukai laki-laki yang kuat dan berani. Perempuan melihat hal di atas sebagai bagian dari sifat laki-laki yang macho. Hal ini wajar, karena media menyuguhkan kepada kita bahwa laki-laki yang macho dan yang dapat diandalkan adalah mereka yang suka berpetualangan, perokok dan kuat dalam bela diri.
8 dari 10 remaja laki-laki mengatakan bahwa mereka didik untuk bisa melawan (berkelahi dan membela diri), 10 dari 10 remaja laki-laki mengakui bahwa mereka pernah melakukan perkelahian, memukul orang lain baik itu sesama laki-laki maupun perempuan serta anak, dan 10 dari 10 remaja laki-laki mengatakan bahwa perilaku kekerasan “suka berkelahi adalah strategi untuk menunjukan kepada perempuan bahwa mereka bisa diandalakan.
Hal yang menarik bahwa ke 10 remaja laki-laki ini mengakui bahwa mereka melakukan kekerasan karena pengalaman yang mereka lihat baik itu dari keluarga mereka maupun lingkungan di mana mereka tinggal. Hal ini menunjukan bahwa kekerasan adalah sesuatu yang dipelajari atau diteladani dari sekitarnya.
Beberapa budaya juga membuat pembatasan yang tegas terhadap perempuan, apalagi jika mahar (harta) pernikahan sudah dibayar; mengakibatkan jika perempuan mengalami kekerasan dalam rumah tangga maka hal itu menjadi sebuah kewajaran
Persoalan kebergantungan perempuan terhadap laki-laki dalam segi ekonomi juga merupakan pemicu perempuan tidak bisa melawan saat mengalami kekerasan. Karena keterbatasan perempuan dalam mencari uang dan kalaupun ada, hanya sebatas pelengkap (tambahan) bukan sebagai penopang utama ekonomi keluarga menjadikan perempuan tidak bisa berdaya dalam mengambil keputusan tegas melawan dominasi laki-laki.
Kebergantungan ekonomi, menjadikan perempuan menerima semua perlakuan katidak adailan sebagai bagian dari KODRAT dan NASIB yang sudah tidak bisa diubahkan karena memang sudah digariskan demikian.
Kekerasan fisik dan ekonomi menjadikan perempuan kehilangan kekuatan tawar untuk melakukan seks aman dengan pasangannya, walau menyadari bahwa ada potensi besar untuk tertular penyakit kelamin (IMS dan HIV) yang bisa berdampak pada organ reproduksi perempuan.
Pemberdayaan dan Perlindungan terhadap Perempuan masih bertumpu pada apa yang menjadi keputusan laki-laki. Sekalipun secara Hukum, Republik Indonesia telah memiliki hukum untuk melindungi perempuan dari kekerasan, tetapi produk hukum dimaksud masih ajuh dari harapan memanusiakan perempuan.
Kontrol hukum masih ada pada jenis kelamin laki-laki, dan dipelihara dengan dalil Budaya dan sistem Patriakhi.
Maka muncullah ungkapan Perempuan dijajah Laki-laki, apakah menjadi sebuah kebenaran dari realita kehidupan yang dialami oleh Perempuan karena konstruksi sosial ataukah indahnya sebuah rangkaian kata?
Hanya Laki-lakilah yang bisa menjawab kebenaran ini dan sebenarnya laki-lakilah solusi terbaik untuk penghapusan kekerasan berbasis gender

Seksisme dalam kampanye MEDIA
Laki-lakilah SOLUSI terbaik “penghapusan kekerasan berbasis GENDER”
Tanpa kita sadari, setiap hari kita di sodorkan oleh media masa tentang seksisme. Dan dalam kampanye ini, selalu saja perempuan yang menjadi korban; tubuh perempuan yang menjadi obyek. Hampir segala sesuatu dikaitkan dengan PEREMPUAN.
Menampilkan sosok perempuan merupakan daya tarik tersendiri bagi konsumen baik itu laki-laki maupun perempuan itu sendiri, hal ini menunjukan bahwa dalam kehidupan ini selalu dikaitkan dengan tubuh perempuan sehingga membangun paradigma seksisme.
Mungkin sulit bagi kita untuk melihat ini sebagai perdagangan manusia, namun tanpa kita sadari, perempuan dijadikan mesin uang dalam mempromosikan sebuah produk. Dan sangat miris bahwa ada banyak produk yang kampanyenya menggunakan perempuan tidak ada kaitannya dengan kehidupan keseharian perempuan itu sendiri bahkan mungkin perempuan itu sendiri tidak memahami cara kerja produk tersebut.
Inilah bentuk halus KEKERASAN EKONOMI.

 

Sefnat JD. Lobwaer

Ketua Yayasan Cendrawasih Bersatu – Papua
Mobile Phone. : 0852-8885-3232
Whats App.      : 0811-485-3232

Bergerak di isu:
Ø  HIV
Ø  Hak Kesehatan Seksuan dan Reproduksi
Ø  Gender dan
Ø  Anti Kekerasan

“Peningkatan Mutu Hidup, Berdaya & Setara”


Berjalan bersama TUHAN - Part 7

Menjadi Manusia BARU Efesua 4 : 17 - 32 Oleh : Ps. Sefnat JD. Lobwaer. Kehidupan yang diberikan oleh TUHAN YESUS sebagai anugerah bagi manus...