Dari Kehidupan
keseharian
28 Desember 2015
|
Laki-laki dan Perempuan sama-sama menjadi
KORBAN KONSTRUKSI SOSIAL
|
Konstruksi
sosial membangun karakter laki-laki menjadi keras, bahkan menciptakan laki-laki
sebagai mesin kekerasan yang menjadikan laki-laki dominan dalam tatanan
kehidupan. Keistimewaan yang memperbolehkan laki-laki melakukan banyak hal
lebih dari perempuan menciptakan ketidak setaraan gender, yang berdampak pada
perilaku menguasai. Konstruksi ini di pelihara dengan baik melalui kontribusi
media, yang sangat tidak sensitif gender bahkan menjual keseksian sebagai
gambaran sexisme dalam banyak produk. Dalam konteks penanggulangan HIV dan AIDS
yang juga banyak bersentuhan dengan ketidak setaraan gender, para aktivis pun
masih banyak melakukan kampanye yang tidak sensitif gender, ditambah dengan
program-program baik dari DONOR, Nasional maupun Daerah yang banyak menyasar
kepada perempuan dengan dalil KORBAN, padahal tanpa disadari hal tersebut
menempatkan perempuan dalam paradigma sosial sebagai PENYEBAB. Hampir semua aktivis berbicara HIV hanya
dalam konteks pencegahan, penanggulangan dan pengobatan tanpa bisa
mengkaitkannya dengan Hak Kesehatan Seksual Rproduksi, Gender, dan Pelibatan Laki-laki dalam bingkai Hak Asasi Manusia. Hal ini membuat kita
menghabiskan banyak energi dan dana pada kerja-kerja muara tanpa berurusan
dengan kerja-kerja hulu. Kalaupun ada yang berbicara tentang HKSR, Gender namun sangat jauh jangkauannya dari
keterkaitan dengan HIV dan AIDS, padahal persoalan HIV dan AIDS bisa terjadi
karena ketidak terpenuhinya Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi serta
persoalan ketidak setaraan gender dalam relasi seksual. Dominasi laki-laki dipersubur dengan
pendekatan PPIA (pencegahan HIV dari Ibu ke Anak) dalam mengurangi infeksi baru
pada anak. Pendekatan ini seakan menegaskan bahwa perempuan (istri) lah yang
paling bertanggung jawab bukan kedua orang tua dalam pencegahan HIV kepada
anak, dan jika
anak terinfeksi maka beban kesalahan 100% ada pada perempuan (istri) karena
gagal dalam Program PPIA. Intervensi
struktural di Lokalisasipun menempatkan perempuan sebagai media pencegahan,
WPSlah yang menanggung dominasi kekuasaan laki-laki. Program Kondom di lokasi,
lokalisasi maupun hospot-hospot tanpa disadari merupakan alat kontrol terhadap
perempuan, jauh dari kesadaran hak kesehatan yang melindungi reproduksi
perempuan. Produk hukum pun dalam ranah pencegahan dan penanggulangan IMS, HIV
dan AIDS masih terlihat ketidaksensitifan terhadap persoalan gender. Laki-laki dengan keistimewaannya yang di
berikan oleh konstruksi sosial menjadikan laki-laki rentan terhadap TERINFEKSI
HIV dan Perempuan dalam segala pembatasan yang diberikan oleh konstruksi sosial
membuat perempuan memiliki potensi besar untuk tertular HIV; perbedaan dalam
kerentanan ini adalah laki-laki mengambil risiko tertular sedangkan perempuan
menghadapi risiko tertular tanpa punya kekuatan melawan.
v Saatnya strategi pencegahan
diarahkan pada perubahan perilaku pada sisi keistimewaan laki-laki.
v Keikutsertaan laki-laki dalam
meruntuhkan tembok-tembok yang sudah terbangun kokoh dalam melestarikan nilai-nilai
kekerasan yang dipertontonkan oleh laki-laki menjadi kekuatan membangun
kesetaraan dan keadilan gender.
v Jadikan perempuan sebagai
mitra setara menyadarkan laki-laki bahwa dibalik keberhasilan laki-laki ada
peran kuat dari perempuan Kesetaraan ini menjadikan laki-laki berani keluar
dari sona amannya untuk menciptakan keharmonisan dalam tiap relasi yang terbangun.
Penerimaan laki-laki terhadap
perubahan nilai-nilai keistimewaan bukanlah mempertontonkan sisi lemahnya
laki-laki yang adalah ketakutan sendiri namun di sinilah penghargaan terhadap
laki-laki terbangun dengan baik. Laki-laki yang menerima kesetaraan gender
sebagai konstruksi sosial baru sebenarnya menjadikan laki-laki itu sebagai
panutan dalam masyarakat walau harus meruntuhkan benteng kokoh keistimewaan
yang merupakan tempat yang paling aman untuk bersembunyi dari banyak kelemahan
laki-laki. Dibalik suami (laki-laki)
yang hebat, ada peran istri (perempuan) yang luar biasa. Keberhasilan laki-laki
(suami) karena keegoisannya maka menyamping kan peran perempuan (istri), tanpa
disadari bahwa pencapaiannya saat ini merupakan andil dari peran seorang istri.
Ada banyak hal dari siapa kita (laki-laki) dalam kelemahan disimpan dengan baik
oleh pasangan kita karena kecintaannya dan dalam ketulusannya; tanpa kita
sadari pasangan kita dengan caranya membimbing kita untuk keluar dari kelemahan
itu. Menjadikan pasangan kita sebagai mitra setara dalam membangun kehidupan
bersama mendorong setiap laki-laki untuk berpartisipasi dalam pekerjaan
domestik dan jika ini terjadi maka sebenarnya kita lagi membangun konstruksi
sosial baru yakni kesetaraan dan keadilan gender. Dalam keegoisan laki-laki karena keistimewaan
yang diberikan dalam konstruksi budaya patriakhi terbawa sampai kepada dominasi
kepuasan diranjang (hubungan seks). Konstruksi sosial yang melarang perempuan
untuk mengekspresikan hasrat seksualnya membuat perempuan berpasrah dan
kemudian terbangun dalam pola pikir yang diekspresikan dalam pola laku; sudah
menjadi keharusan seorang istri untuk melayani hasrat seksual suami. Bahkan ada
dengan dalil religi, sehingga membuat perempuan bungkam seribu bahasa tatkala
berbicara tentang hasrat seksual dan kepuasan seksual, lebih miris lagi masih ada
pendapat bahwa jika ada perempuan yang diperkosa itu karena kelalaian baik itu
dalam berpakaian, situasi dan kondisi tanpa memberikan hukuman sosial
sebesar-besarnya kepada pelaku. Konstruksi sosial yang menempatkan perempuan
tidak memperbolehkan mengekspresikan hasrat seksual menjadikan perempuan rentan
terhadap kekerasan seksual dan berisiko untuk tertular penyakit kelamin, bahkan
dibebani reproduksi. Budaya Patriakhi menjadikan perempuan mesin reproduksi dan
menghilangkan hak rekreasi perempuan dalam berhubungan seks dengan pasangannya.
Hal menarik dalam dalam beberapa
budaya, kehadiran anak laki-laki lebih diidam-idamkan melebihi kehadiran anak
perempuan. Bahkan jika satu pasangan tidak memiliki keturunan anak laki-laki,
maka beban kesalahan dibebankan kepada perempuan, sehingga dalam ketertekanan
budaya,
perempuan memberi ijin untuk laki-laki mencari perempuan lain demi mendapatkan
anak laki-laki; begitu pula jika pasangan tersebut tidak memiliki keturunan,
beban kesalahan ada pada perempuan kemudian diperparah dengan stigma
"mandul" yang belum terbukti secara medis. Dan selalu laki-laki
mendapat keuntungan dalam situasi tersebut untuk mengekspresikan hasrat
seksualnya kepada perempuan lain karena diizinkan oleh budaya patriakhi.
Konstruksi sosial tidak pernah menempatkan laki-laki pada sona
"bersalah" jika tidak memiliki keturunan laki-laki atau tidak
memiliki keturunan. Situasi ini mengaminkan dan menyuburkan perilaku
"poligami" lalu laki-laki menggunakan kesempatan ini untuk mulai
menunjukkan sisi lain dalam petualangan seksualnya.
Saatnya laki-laki sadar bahwa
"dia menjadi korban konstruksi sosial". Jika kesadaran ini terbangun
dalam paradigma berpikir laki-laki, maka laki-laki akan berjuang keluar dari
situasi keistimewaan yang menjadikannya sebagai korban. Karena pada dasarnya
manusia tidak mau menjadi korban dalam konteks apapun.
Kesadaran menjadi korban, akan
membangun empati yang kuat terhadap perempuan yang selama ini menjadi korban
hegemoni laki-laki; dengan berempati akan mendorong laki-laki menciptakan
budaya baru yakni kesetaraan gender yang diidam-idamkan oleh perempuan. Saya belajar dalam kitab sesuai iman saya,
saya menemukan bahwa perempuan juga diberi hak untuk mengekspresikan hasrat
seksualnya, artinya bahwa perempuan pun berhak mendapatkan kepuasan yang sama
dengan laki-laki dalam berhubungan seks. Bahkan dalam melakukan hubungan seks
dengan pasangannya, perempuan melakukan dalam kegembiraan dan sukacita bukan
dengan paksaan dan keharusan.
Perempuan dalam KONSTRUKSI SOSIAL
Perempuan dilemahkan oleh konstruksi sosial, yang
kemudian membangunnya sebagai konstruksi berpikir (bahkan oleh perempuan itu sendiri) bahwa memang perempuan itu
"makhluk yang lemah"
Dilemahkan kemudian melemahkan diri sendiri,
menjadikan perempuan ada pada kategori tunduk dan patuh pada kepemimpinan
laki-laki. Penafsiran yang dangkal terhadap ayat Kitab Suci semakin
mempertegaskan posisi perempuan dimata laki-laki dalam struktur sosial.
Pola pikir perempuan tunduk bukan hanya ada pada perempuan yang tidak berpendidikan namun juga dimiliki oleh perempuan yang berpendidikan tinggi bahkan memiliki kemampuan keuangan yang mumpuni. Kekuatan bangunan konsep sosial ini begitu mempengaruhi ruang gerak wanita walau perjuangan kesetaraan gender telah lama diperjuangkan.
Perempuan mengalami KEKERASAN GANDA; dari NILAI
KONSTRUKSI SOSIAL dan dari LAKI-LAKI
|
Dalam
panggung politik, banyak laki-laki menggunakan isu kesetaraan gender untuk
mendulang suara dari kaum perempuan, dan ini cukup berhasil. Mengikuti debat
kandidat dalam Pilkada dibeberapa daerah (beberapa
waktu lalu) melalui media televisi, banyak calon mengangkat isu kesetaraan
dan keadilan gender, namun saat dijabarkan sangat jauh dari makna kesetaraan
dan keadilan tersebut. Makna kesetaraan ini hanya sebatas berapa persen
perempuan yang duduk di parlemen, dan berapa perempuan yang bisa diterima
bekerja, tapi apakah mereka yang duduk di parlemen, menjadi PNS dan bekerja di
areal lainnya memiliki kekuatan memutuskan seperti laki-laki? Ini persoalan.
Memang laki-laki dan perempuan adalah korban dari
konstruksi sosial, namun perbedaannya adalah laki-laki mengambil posisi
keistimewaan dari status korbannya untuk mendominasi sedangkan perempuan pada
posisi didominasi.
Hal ini menunjukkan bahwa, perempuan menjadi korban
ganda yakni; pertama adalah korban karena konstruksi sosial dan yang kedua Perempuan
menjadi korban karena dominasi laki-laki.
Perempuan dalam ketertekanan yang tidak disadari;
menjalani semuanya dengan pemahaman: inilah KODRAT, sehingga semakin kuat
konstruksi sosial karena dipelihara dengan baik oleh perempuan itu sendiri.
Hegemoni maskulinitas menjadi sesuatu yang begitu
agung dimasyarakat sehingga menempatkannya sebagai bukti kewibawaan laki-laki
dan bukti kepatuhan perempuan terhadap laki-laki. Hal ini sangat berpengaruh
dalam tindakan keseharian.
KODRAT dalam KONSTRUKSI BERPIKIR MASYARAKAT
Pemahaman masyarakat tentang kodrat bukan sekedar
sesuatu yang sudah dari penciptaan dan tidak dapat diubahkan, sesuatu yang
berlaku sama disetiap daerah dan situasi. Pola berpikir sesuai konstruksi sosial bahwa
laki-laki adalah kepala keluarga yang bertanggung jawab penuh terhadap
perekonomian keluarga dan harus bekerja diluar rumah dan perempuan adalah pengurus
rumah tangga sehingga semua urusan dalam rumah merupakan tanggung jawab perempuan
adalah KODRAT. Pemehaman kodrat seperti inilah mengakibatkan masyarakat tidak dapat
menerima jika ada perempuan yang sibuk diluar rumah dan seorang laki-laki
tinggal di rumah; bagi masyarakat hal ini menyalahi kodrat.
Masyarakat menepatkan PERAN sebagai KODRAT. Kita lupa
bahwa kodrat adalah sesuatu yang tidak dapat dipertukarkan dan peran adalah
sesuatu yang dapat dipertukarkan. Urusan publik dan urusan domistik merupakan
peran yang dijalankan oleh laki-laki dan perempuan, dan karena ini merupakan peran, itu artinya dapat
dipertukarkan antara perempuan dan laki-laki.
Menempatkan PERAN domistik sebagai bagian dari KODRAT yang
harus dikerjakan oleh PEREMPUAN menjadikan perempuan (isteri) sebagai
pembantu. Mengerjakan segala sesuatu dari kita (laki-laki/suami) belum bangun
sampai dengan kita (laki-laki/suami) tertidur pulas dimalam hari. Jika
persoalan rumah tidak terbenahi dengan baik, maka kesalahan diletakan pada bahu
perempuan.
KODRAT dalam konstruksi sosial yang sebenarnya adalah
PERAN menjadikan perempuan semakin dilemahkan dalam kehidupan bermasyarakat
karena ketidakseimbangan peran yang dijalankan dalam keseharian.
KODRAT dalam konstruksi sosial, memaksa seorang
perempuan yang juga adalah wanita karir harus melakukan kerja ganda karena
harus tampil sebagaimana perempuan tuntutan konstruksi sosial (masyarakat). Kerja dikantor tetapi
pekerjaan rumah harus selesai, berbeda dengan tuntutan masyarakat terhadap
laki-laki. Jika laki-laki bekerja diluar rumah dan sesampainya dirumah harus
istirahat; jauh dari pekerjaan domestik karena kodratnya adalah bekerja di
ranah publik
Pola pemahaman yang salah ini menempatkan perempuan rawan
mengalamai kekerasan.
KODRAT adalah sesuatu yang tidak dapat dipertukarkan
dan PERAN adalah sesuatu yang dapat dipertukarkan, dengan pemahaman ini maka
kita tidak akan mencela jika seorang bapak (laki-laki) melakukan pekerjaan
diranah domistik dan seorang ibu (perempuan) melakukan pekerjaan diranah publik.
Dengan pemahaman yang benar terkait KODRAT dan PERAN
maka kita menghargai apa yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki tanpa
harus memperdebatkan publik atau domestik.
PEREMPUAN
diperhadapakan pada KEKERASAN dan HIV
Pada saat penempatan PERAN menjadi KODRAT bagi
perempuan adalah persoalan KERAWANAN terhadap KEKERASAN.
PERAN dilihat sebagai KODRAT dalam konstruksi
sosial; menempatkan PEREMPUAN rawan KEKERASAN
|
Diskusi
bersama 20 laki-laki
di Lembaga Pemasyarakatan IIB Merauke, terungkap bahwa dalam pembuktian
dominasi laki-laki terhadap perempuan salah satu strategi efektif adalah dengan KEKERASAN; hal ini membuat
perempuan hidup dalam ketakutan untuk melawan. Penegakan dominasi laki-laki
terhadap perempuan bukan hanya melalui kekerasan fisik, namun juga psikis,
ekonomi dan seksual.
Dari pengungkapan bahwa jika laki-laki tidak
menempatkan dominasinya terhadap perempuan melalui kekerasan, maka itu bukan
laki-laki walau berpenis. Laki-laki diidentikan dengan KEKERASAN, itulah yang
tercermin dari diskusi tersebut.
Seminggu setelah berdiskusi dengan teman-teman di LP,
saya berkesempatan membawa materi Kekerasan dalam Pacaran dikalangan
remaja luar sekolah. Hasilnya menunjukan bahwa konstruksi sosial memiliki andil terjadinya
kekerasan.
14 dari 17 remaja perempuan, menyukai laki-laki yang
memiliki kemampuan berkelahi, 9 dari 17 remaja perempuan menyukai laki-laki yang suka
olkohol dan perokok, dan 16 dari 17 remaja perempuan menyukai laki-laki yang kuat dan berani. Perempuan
melihat hal di atas sebagai bagian dari sifat laki-laki yang macho. Hal ini
wajar, karena media menyuguhkan kepada kita bahwa laki-laki yang macho dan yang
dapat diandalkan adalah mereka yang suka berpetualangan, perokok dan kuat dalam
bela diri.
8 dari 10 remaja laki-laki mengatakan bahwa mereka
didik untuk bisa melawan (berkelahi dan membela diri), 10 dari 10 remaja laki-laki mengakui bahwa
mereka pernah melakukan perkelahian, memukul orang lain baik itu sesama
laki-laki maupun perempuan serta anak, dan 10 dari 10 remaja laki-laki mengatakan bahwa perilaku kekerasan “suka berkelahi
adalah strategi untuk menunjukan kepada perempuan bahwa mereka bisa diandalakan”.
Hal yang menarik bahwa ke 10 remaja laki-laki ini mengakui bahwa
mereka melakukan kekerasan karena pengalaman yang mereka lihat baik itu dari
keluarga mereka
maupun lingkungan di mana mereka tinggal. Hal ini menunjukan bahwa kekerasan
adalah sesuatu yang dipelajari atau diteladani dari sekitarnya.
Beberapa budaya juga membuat pembatasan yang tegas
terhadap perempuan, apalagi jika mahar (harta) pernikahan sudah dibayar; mengakibatkan
jika perempuan mengalami kekerasan dalam rumah tangga maka hal itu menjadi
sebuah kewajaran
Persoalan kebergantungan perempuan terhadap laki-laki dalam segi ekonomi
juga merupakan pemicu perempuan tidak bisa melawan saat mengalami kekerasan.
Karena keterbatasan perempuan dalam mencari uang dan kalaupun ada, hanya sebatas
pelengkap (tambahan) bukan sebagai penopang utama ekonomi keluarga menjadikan perempuan tidak
bisa berdaya dalam mengambil keputusan tegas melawan dominasi laki-laki.
Kebergantungan ekonomi, menjadikan perempuan menerima
semua perlakuan katidak adailan sebagai bagian dari KODRAT dan NASIB yang sudah
tidak bisa diubahkan karena memang sudah digariskan demikian.
Kekerasan fisik dan ekonomi menjadikan perempuan
kehilangan kekuatan tawar untuk melakukan seks aman dengan pasangannya, walau
menyadari bahwa ada potensi besar untuk tertular penyakit kelamin (IMS dan
HIV) yang bisa berdampak pada organ reproduksi perempuan.
Pemberdayaan dan Perlindungan terhadap Perempuan masih
bertumpu pada apa yang menjadi keputusan laki-laki. Sekalipun secara Hukum,
Republik Indonesia telah memiliki hukum untuk melindungi perempuan dari kekerasan,
tetapi produk hukum dimaksud masih ajuh dari harapan memanusiakan perempuan.
Kontrol hukum masih ada pada jenis kelamin
laki-laki, dan
dipelihara dengan dalil Budaya dan sistem Patriakhi.
Maka muncullah ungkapan “Perempuan dijajah Laki-laki”, apakah menjadi sebuah kebenaran dari realita kehidupan yang
dialami oleh Perempuan karena konstruksi sosial ataukah indahnya sebuah
rangkaian kata?
Hanya Laki-lakilah yang bisa menjawab kebenaran ini dan
sebenarnya laki-lakilah solusi terbaik untuk penghapusan kekerasan berbasis
gender
Seksisme dalam
kampanye MEDIA
Laki-lakilah SOLUSI
terbaik “penghapusan kekerasan berbasis GENDER”
|
Tanpa kita
sadari, setiap hari kita di sodorkan oleh media masa tentang seksisme. Dan
dalam kampanye ini, selalu saja perempuan yang menjadi korban; tubuh perempuan
yang menjadi obyek. Hampir segala sesuatu dikaitkan dengan PEREMPUAN.
Menampilkan sosok perempuan merupakan daya tarik
tersendiri bagi konsumen baik itu laki-laki maupun perempuan itu sendiri, hal ini menunjukan bahwa
dalam kehidupan ini selalu dikaitkan dengan tubuh perempuan sehingga membangun
paradigma seksisme.
Mungkin sulit bagi kita untuk melihat ini sebagai perdagangan
manusia, namun tanpa kita sadari, perempuan dijadikan mesin uang dalam
mempromosikan sebuah produk. Dan sangat miris bahwa ada banyak produk yang
kampanyenya menggunakan perempuan tidak ada kaitannya dengan kehidupan keseharian perempuan itu sendiri
bahkan mungkin perempuan itu sendiri tidak memahami cara kerja produk tersebut.
Inilah bentuk halus KEKERASAN EKONOMI.
Sefnat JD. Lobwaer
Ketua Yayasan Cendrawasih Bersatu – Papua
Mobile
Phone. : 0852-8885-3232
Whats App. : 0811-485-3232
Bergerak di isu:
Ø
HIV
Ø
Hak Kesehatan Seksuan dan
Reproduksi
Ø
Gender dan
Ø
Anti Kekerasan