Selasa, 28 Juli 2015

PAPUA itu KITA

PAPUA adalah KITA
KITA adalah PAPUA
#SavePapuA


Ada banyak orang melihat Papua dari sisi MEREKA tetapi tidak melihat Papua dari PAPUA secara utuh. Sehingga mengedentikan Papua dengan KEKERASAN.
Papua adalah ISTANA DAMAI bagi INDONESIA, dan tidak ada sedikirpun NIAT ORANG-ORANG yang HIDUP di Papua untuk membangun konflik.
Ada banyak kisah kebersamaan antara umat beragama yang terbangun untuk mengeratkan kebersamaan dalam keberagaman iman.

Kalian yang diluar Papua tidak pernah tahu, bagaimana kami di Papua membangun nilai silaturahmi dan kebersamaan dalam menjaga keharmonisan umat beragama.
Aku Kristen Papua
Aku Muslim Papua
Dan masih banyak aku lagi.......
Tapi tahukah kalian diluar sana, bahwa dalam kebersamaan kami "bukan akunya" tetapi kebersamaan kami.
Duduk bersama semeja menikmati hidangan diwaktu idulfitri
Duduk bersama semeja menikamti hidangan diwaktu natal
Semua tanpa mengedepankan akunya tetapi PAPUA yang adalah ISTANA DAMAI.
Tahukah kamu yang diluar sana, bahwa dalam beberapa hal Papua coba digoyangkan oleh provokator dari luar untuk menghancurkan Papua damai dengan isu Agama, tapi tahukah kamu bahwa karena kebersamaan semua itu dapat dihindari.
Tahukah kamu di luar sana, bahwa kami di Papua adalah CINTA DAMAI?
Tahukah kamu bahwa saat Merauke dicanangkan sebagai kota Hati Kudus Yesus, orang Muslim tidak melarangnya walau mayoritas masyarakat Kab. Merauke adalah Muslim namun semua karena saling menghargai.
Karena kami CINTA DAMAI.

Jangan pernah melihat kami dari cara pandang kamu, tetapi lihat kami dari keutuhan kehidupan kami.
Papua adalah ISTANA DAMAI.
Pernahkah kalian mengerti dan memahami kenapa ada PERNYATAAN yang beberapa waktu lalu beredar di MEDSOS bergambar orang nomor 1 di Papua.
"Di Aceh, orang Papua tidak bisa membangun Gereja"
TETAPI
"Di Papua orang Aceh bisa membangun Mesjid"
Karena Papua adalah INDONESIA Sesungguhnya.

Jangan pernah menghidupi sistem PENJAJAHAN BELANDA dengan cara ADU DOMBA untuk menghancurkan keharmonisan kami. Karena kami adalah Papua.




MEMANG Papuaku adalah LAHAN EMPUK BERITA dan MEMILIKI SENSASIONAL TINGGI untuk diberitakan.......
Sayangnya banyak BERITA yang di MUAT SECARA NASIONAL baik melalui Media Cetak, Media Elektronik dan Media Online tidak dari sebuah kebenaran penuh, sehingga lahirlah STIGMA terhadap Papua.
Pemberitaan yang hanya sepotong-sepotong sehingga membangun paradigma negatif terhadap Papua secara Nasional adalah bagian dari PEMBUNUHAN.
Banyak korban dari pelanggaran hak-hak orang Papua tidak pernah terekspos bahkan tidak terselesaikan sebagai bagian dari pengakuan negara terhadap Papua.

Papua.....
Deritamu kapan kan berakhir.
Saat kau berteriak karena kedinginan tiada seorangpun berbicara secara nasional untuk memberikan sebuah selimut
Sehingga kau menghembuskan nafasmu dalam kedinginan.
Saat kau kelaparan......
Semua terlupakan bahkan nyawamu terenggut diatas kelimpahan emasmu.
Saat HIV dan AIDS merajalela dibumimu nan indah....
Kau dipersalahkan dengan dalil itu perilakumu.

Tiada yang bersuara....
Semua diam membisu
Membiarkanmu berjuang sendiri.
Kini
Disaat kau melakukan sedikit kesalahan......
Nasional melihatmu sebagai penjahat yang harus dihukum
Bahkan tanpa bertanya
Kenapa?

Kau dilirik bukan untuk dihiasi
Namun kau dilirik untuk dikuras........
Terkadang kau menangis
Dan berusaha mengungkapkan penderitaanmu
Tapi
Kau dibungkam dengan dalil politik
Saat kau berusaha berlari tuk mensejajarkan dirimu dengan warga bangsa
Kau dihadang dan dibiarkan terkebelakang

Papua.
Kau terindah dalam stigma dan diskriminasi.
Kau terlupakan namun dikuasai.
Inilah Papuaku yang kini terluka.




Namun Papua CINTA Damai
Sejak dulu, orang Papua tidak pernah membakar Tempat Ibadah.
Kerikil kecil Tolikara menjadikan Papua sunami hujatan sebagai wilayah yang tidak toleran, namun bagi Papua kerikil kecil ini tidak pernah melunturkan kekerabatan umat beragama yang sudah terbangun selama ini.
Bahkan kerikil ini mendorong semua masyarakat yang ada di Papua untuk merapatkan barisan dalam kebersamaan terajut indah melukiskan nuansa kasih keberagaman iman, sebagai Papua sona damai.

Dalam merajut kedamaian, ada banyak kerikil yang berusaha meretakkan kedamaian itu dengan banyak kebohongan.
Kebohongan, pembiaran dan pembodohan berusaha merusak kedamaian Papua yang dilakukan secara sistimatik, namun kedamaian dalam kekerabatan itulah menjadi fondasi kuat interaksi sosial.

Papua
Surga kecil yang turun ke bumi.
Sebuah kiasan yang merujuk pada pola kehidupan bermasyarakat di Papua.
Surga adalah kedamaian dan kesukacitaan.
Namum kini disurga itu ada tangisan ibu kehilangan anak.
Tangisan keluarga kehilangan tempat berteduh dari hujan dan panas
Tangisan karena kedinginan yang bermuara maut.
Namun
Papua tetap surga kecil yang menjanjikan kedamaian bagi setiap orang yang hidup di dalamnya.
Hari ini.

Duduk bersama tokoh lintas agama merajut kembali harapan menciptakan Papua sona damai "KASIH MENEMBUS SEGALA PERBEDAAN"
Dari kota kecil di Ujung Timur Indonesia, tempat matahari terbit dua jam lebih duluan dari ibu kota Negara, kami mengirimkan PESAN KASIH MENEMBUS SEGALA PERBEDAAN" sebagai wujud CINTA KASIH SESAMA UMAT.
Papua adalah kedamaian.
Dalam slogan kota Merauke Izakod bekai, Izakod kai (satu hati satu tujuan) kami tokoh agama berkomitmen untuk menciptakan kedamaian dan menjaga umat untuk tidak terprovokasi dengan berita-berita yang memojokan Papua dan juga koment-koment di medsos.

Kami mengirimkan pesan perdamaian yang jauh dari kemunafikan dan kepentingan karena kami mencintai kedamaian.

Perenungan
disaat Indonesia membiarkan Sorga Kecil tercabik.

 


Selasa, 10 Februari 2015

ADA APA DIBALIK HIV di PAPUA



Oleh:
Sefnat JD. Lobwaer

Semenjak penemuan kasus HIV pertama kali di Papua (dulu Irian Jaya) tepatnya di Kabupaten Merauke pada tahun 1992, Papua selalu menjadi sorotan.
Memasuki dasawarsa ke 3, persoalan HIV di Papua tetap menjadi isu hangat untuk dibahas, baik dari sisi programnya, sosial terlebih kesehatan, namun hal yang menarik dari semua isu ini adalah pandangan banyak tokoh Papua terkait masalah HIV yang dikaitkan dengan pemusnahan satu suku (Genosida). *baca buku Luka Papua.
Perjalanan waktu 23 tahun, meninggalkan banyak cerita yang terkadang menimbulkan banyak tanya dihati masyarakat bahkan pegiat HIV itu sendiri; ADA APA DIBALIK HIV di PAPUA. Pertanyaan yang sulit dijawab namun juga mungkin sangat mudah untuk dijawab, bahkan mungkin jawaban lahir dari ketidakpercayaan dari sebuah realita.
Memang, ada banyak juga kisah hero yang kita temui dalam perjalanan 23 tahun ini, namun kita juga tidak menutup mata untuk melihat sisi hitam dari adanya HIV di Tanah Papua ini. Kita harus mengakui bahwa ada yang dengan tulus bekerja untuk kebaikan tanah ini dalam memerangi HIV, namun kita juga tidak bisa pungkiri bahwa ada yang bekerja untuk popularitas pribadi; mengambil kesempatan dari situasi yang ada.
Benarkah HIV adalah KOMODITI Politik untuk Papua?
Memang ada bantahan bahwa HIV adalah murni dari persoalan kesehatan sosial yang jauh dari isu Politik, namun apakah ini kebenaran mutlak? Jawabannya mungkin tidak. Masa setelah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 tahun 2006 tentang Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS, salah satu Pokja di Komisi Penanggulangan AIDS Nasional adalah POKJA PAPUA yang secara bahasa program disetarakan dengan Populasi Kunci (GWL, OPSI dan jaringan lainnya). Dalam pertemuan tahun 2008 di Sorong Papua Barat, para aktivis yang kebanyakan adalah Staf KPAP dan KPAK/K mempertanyakan kehadiran Pokja Papua ini.
Sudah parahkah situasi HIV di Tanah Papua sehingga harus ada Pokja Khusus di KPAN? Kenapa tidak ada Pokja Bali? Padahal Bali merupakan Provinsi di Indonesia yang pertama kali ditemukan kasus HIV. Kehadiran Pokja Papua secara khusus di KPAN mengindikasikan bahwa memang ada campur tangan (yang tidak tampak secara kasat mata) dari sebuah sistem yang terbangun untuk membangun paradigma politik terkait HIV di Papua. Secara tidak langsung keistimewaan ini menjadikan Papua selalu dalam sorotan pada pertemuan-pertemuan nasional dan merupakan isu hangat jika dibahas dikalangan donor internasional.
Terkadang dalam pembahasan tingkat nasional menyangkaut kasus HIV di Papua, jarang bahkan “mungkin” tidak pernah melibatkan orang Papua. Pembahasan SRAN 2015 – 2019 (contoh terkini) juga membahas tentang Papua, tapi sangat disayangkan tidak melibatkan para pegiat dari Papua yang memahami konteks kearifan lokal.
Papua, menurut STHP 2006 prevalensinya 2,4%. Hasil ini secara politik mendorong Pemerintah Pusat dan Daerah untuk harus mengambil peran penting dalam penyelamatan masyarakat Papua. Memang Kementrian Kesehatan membuat jalan pintas menyikapi hasil ini dengan sebuah program seksi “SAVE PAPUA”, namun kembali mendapat resisten dari masyarakat Papua.
Melihat kuatnya resisten baik dari beberapa Kepala Dinas Kesehatan maupun aktivis HIV, dikamuflase sedemikian rupa dengan bungkusan Percepatan Pembangunan Kesehatan di Tanah Papua (P2KTP) dengan dana yang tidak sedikit. Tidak tanggung-tanggung Kementrian Kesehatan menyediakan dana sebesar Rp. 700.000.000.000 (tujuh ratus milyar rupiah) untuk program P2KTP di 13 Kabupaten Kota di Tanah Papua.
Untuk Papua sendiri ada 9 Kabupaten Kota Prioritas P2KTP yakni: Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Merauke, Kabupaten Mimika, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Nabire, Kabupaten Sarmi, Kabupaten Waropen dan Kabupaten Supiori.
Melihat dana yang besar dan hanya beberapa kabupaten dan kota membuka harapan bagi masyarakat untuk dapat meningkatkan derajat kesehatan, terutama masalah HIV, Malaria dan kesehatan ibu dan bayi.
Harapan yang dibangun untuk melihat kesejateraan masyarakat terkait derajat kesehatan menjadi cerita sedih dari sebuah program megah yang tidak menghasilkan dampak signifikan di masyarakat.
Lembaran-lembaran cerita dari Program ini mendorong para aktivis untuk berteriak meminta pertanggung jawaban Rp. 700.000.000.000 ini. Apakah ada perkembangan layanan kesehatan secara bermakna yang dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di Distrik Jayapura Utara, Distrik Jayapura Selatan, Abepura dan Distrik Muara Tami (Kota Jayapura); di Yapsi dan Kaureh (Kabupaten Jayapura); Distrik Kimaam dan Distrik Okaba di Kabupaten Merauke; Sarmi Selatan dan Pantai Barat di Kabupaten Sarmi; Napan dan Mapia di Nabire; Jila dan Akimuga di Kabupaten Mimika; Kirihi dan Inggerus di Kabupaten Waropen; Supiori Selatan dan Supiori Barat di Kabupaten Supiori; serta di Mapenduma, Keneyam, Kuyawage, Wosak dan Gearek di Jayawijaya? (distrik-distrik prioritas P2KTP di 9 Kabupaten/Kota). Yang pasti kita masih menemukan kepincangan layanan kesehatan terhadap masyarakat di daerah-daerah tersebut jika kita tidak ingin mengatakan bahwa sangat jauh dari harapan, masyarakat mendapatkan hak kesehatannya dengan kemegahan “nama program” yang melangit tetapi tidak membumi dalam menjawab problem kesehatan di Papua. Seharusnya dengan dana yang besar, akan mampu membangun fasilitas layanan yang dapat dinikmati oleh masyarakat yang berdampak pada peningkatan derajat kesehatan.
Namun dapatkah kita jujur dengan realita yang ada? Berapa banyak kematian karena AIDS, berapa banyak kematian karena TB dan juga malaria? Berapa banyak ibu-ibu terenggut nyawanya saat melahirkan dan berapa banyak bayi yang tidak dapat menikmati indahnya hidup ini karena buruknya kesehatan ibu dan anak.
Padahal programnya cukup megah “PERCEPATAN PEMBANGUNAN KESEHATAN TANAH PAPUA” setitik cerita sedih dari layanan kesehatan di Distrik Kimam yang merupakan sasaran program P2KTP di Kabupaten Merauke. Puskesmasnya baru selesai dibangun setelah selesai Program P2KTP, itupun kini menjadi bangunan yang jauh dari jangkauan masyarakat, masyarakat mengakses layanan kesehatan pada rumah sakit perusahan. Padahal P2KTP adalah program memperkuat layanan kesehatan pada Puskesmas demi mendekatkan layanan kesehatan yang memanusiakan manusia Papua, sehingga unsur mendekatkan akses layanan dengan masyarakat terpenuhi, bahkan unsur keterjangkauan masyarakatpun terjawab.
Namun sangat disayangkan, pola kerja dari Konsep Percepatan Pembangunan Kesehatan Tanah Papua, pola kerjanya bukan menguatkan Puskesmas atau Puskesmas Pembantu yang ada namun menggunakan sistim Mobile Clinic, yang petugasnya datang dan pergi yakni 2 kali dalam 3 bulan untuk mengunjungi kampung dan berada di kampung selama kurang lebih 3 hari dan kembali ke Base Camp yang kebanyakan Base Campnya secara realita ada di ibu Kota Kabupatan/Kota.
Bisa terbayangkan berapa banyak uang yang akan dihabiskan dari Rp. 700.000.000.000 tersebut untuk transportasi yang dibutuhkan oleh Tim yang sedikitnya adalah 6 orang.
Percepatan Pembangunan Kesehatan Tanah Papua, program yang menjanjikan bagi keberlangsungan mutu kesehatan di Tanah Papua yang sampai saat ini belum terukur secara nyata dampaknya bagi masyarakat di Tanah Papua. Potret kesehatan masyarakat di Papua semakin memprihatinkan dengan banyaknya layanan yang tidak menghadirkan layanan sesuaia dengan UU Kesehatan Republik Indonesia. Kesehatan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah seakan menjadi hal yang mahal untuk dijangkau. Berbicara terkait isu HIV, memang benar bahwa sampai saat ini ARV masih disubsidi oleh Pemerintah sehingga setiap orang dengan HIV bisa mengakses ARV secara gratis, tapi tidak dibarengi dengan strategi pendukung lainnya. ARV boleh gratis tetapi untuk sampai di Rumah Sakit rujukan ARV, seorang ODHA bisa menghabiskan jutaan rupiah untuk transportasi, belum lagi biaya hidup lainnya di kota.
Seharusnya dengan di subsidinya ARV dibarengi dengan sistem layanan yang terjangkau bukan hanya biaya pengobatan yang terjangkau namun juga harus memperhatikan keterjangkauan masyarakat dari segi wilayah.
Payung hukum kita cukup jelas Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H Ayat 1, mengamanatkan setiap warga Negara Berhak Memperoleh Layanan Kesehatan.
Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan undang-undang Positif di Republik Indonesia dan merupakan landasan berpijak dalam membangun Negara Republik Indonesia, maka sudah seharusnya Negara menjamin kenyamanan Layanan Kesehatan bagi setiap Warganya.
Undang-undang Dasar 1945 menjadi landasan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan " Negara menyadari bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksudkan dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Mengacu pada amanat UU Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 Pasal 4 Setiap orang berhak atas kesehatan, Pasal 5 ayat 1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan; ayat 2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau; ayat 3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya, Pasal 6 Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan; seharusnya menjadi emas bagi setiap warga negara termasuk masyarakat yang mendiami Tanah Papua. Implementasi dari UU Kesehatan ini seharusnya menjadi tolak ukur bagaimana “PERCEPATAN PEMBANGUNAN KESEHATAN TANAH PAPUA” dilaksanakan, bukan sekedar slogan yang megah untuk menunjukan kepada dunia bahwa Papua menjadi prioritas Pemerintah Pusat terkait kesehatan masyarakat Papua, sebagaimana yang tertuang pada Pasal 3 Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis;  tetapi hanyalah bungkusan kado yang indah namun isinya tidak dapat dinikmati oleh masyarakat Papua.
Inilah 4 kebijakan P2KTP yang diharapkan menjadi jawaban bagi persoalan Kesehatan di Masyarakat Papua’ yakni:
  1. Memberi dukungan bagi peningkatan Akses, Mutu dan Sumberdaya Yankes melalui Puskesmas dan jaringannya, serta pembangunan RSUD sesuai Rencana Induk.
  2. Memfasilitasi Peningkatan Penanggulangan Penyakit-2 HIV/AIDS, TBC, Malaria, Kusta, Frambusia, Filaria dan PTM.
  3. Memfasilitasi Peningkatan Yankes Ibu, Anak dan Reproduksi.
  4. Memberikan dukungan bagi Program Peningkatan Gizi masyarakat dan Kesehatan Lingkungan.

Realitanya, masih banyak harapan yang jauh untuk dijangkau, walau dananya cukup wouw, seharusnya dengan kebijakan dan ditunjang dengan 3 strategi utama menjadi kekuatan dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang berdampak langsung pada usia harapan hidup masyarakat Papua.

3 Strategi P2KTP yang dipakai dalam Program P2KTP.
1. Penguatan Sistim Kesehatan Dinkes Provinsi, Kab/Kota, RSUD dan Puskesmas serta jaringannya      berupa:
                                             a.Pelayanan Kesehatan (Mobile dan Stasioner)
                                             b.Penempatan Dokter Spesialis & Yan Rujukan
                                             c.Penguatan manajemen Dinas Kesehatan, RSUD dan            Puskesmas
2. Pembangunan Infra Struktur Kesehatan dan peningkatan Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) berupa:
                                             a.Pembangunan Puskesmas & jaringannya.
                                             b.Pembangunan RSUD.
                                             c.Pembangunan Pos Kes Des.
3. Pelaksanaan Mobile Clinic bagi daerah terpencil /sangat terpencil.

Menarik sekali untuk dikaji keberhasilan P2KTP dari 3 strategi ini, baik secara kasat mata maupun ilmiah. Seharusnya masyarakat di Distrik Prioritas ini dapat menikmati layanan kesehatan yang memadai dan terjangkau secara ekonomi maupun jarak jika bercermin pada dana, kebijakan dan strategi P2KTP ini.
STHP 2006 yang 2,4% bukan saja mendorong Pemerintah, tetapi menjadi magnet tersendiri bagi donor asing masuk ke Papua. Setelah 7 tahun kemudian, Kementrian Kesehatan melalui survei IBBS 2013 prevalensi di Papua 2,3%. Ada banyak orang menganggap ini sebuah keberhasilan walau hanya 0,1%. Tetapi dokumen-dokumen yang ada menyatakan bahwa STHP 2006 dengan IBBS 2013 tidak bisa disejajarkan yang artinya bahwa IBBS 2013 tidak bisa menjadi ukuran terhadap STHP 2006.
Kalau kita menutup mata dengan dokumen-dokumen yang ada bahwa tidak bisa disejajarkan dan menganggap bahwa kita dapat menekan dari 2,4% menjadi 2,3% selama 7 tahun maka berapa banyak uang yang akan kita kucurkan untuk penanggulangan dan berapa banyak waktu yang kita butuhkan untuk menekan prevalensi <1%?
Ataukah melihat situasi ini kita membenarkan bahwa ada pembiaran? Dengan lantang kita katakan bahwa kita telah bekerja sebagai penolakan terhadap pernyataan pembiaran. Tapi ternyata memang banyak terjadi pembiaran dengan hadirnya program-program yang tidak menyentuh akar permasalah HIV yang sebenarnya di Papua.
Kita belum selesai dengan P2KTP, oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) dan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia menghadirkan Strategi baru dengan nama LKB (Layanan Komprehensif Berkesinambungan) dengan mengusung 6 pilar penting. Secara program dan teori, seakan memberikan harapan baru bagi layanan kesehatan di Tanah Papua secara khusus sebagai daerah epidemi meluas, namun sampai dengan saat ini, LKB ini masih menjadi sesuatu yang jauh untuk dijangkau. Persoalan utamanya adalah konsep yang ditawarkan tidak mendarat dengan baik pada setiap sektor sehingga membuat masyarakat tidak tersentuh dengan sistem ini.
6 Pilar yang ditawarkan seakan membuka mata kita tentang bagaimana layanan komprehensif ini dibangun yang muaranya adalah masyarakat menikmati layanan kesehatan yang baik. Namun kita melupakan kalau dihulu masih banyak hal yang harus diselesaikan. Banyak layanan masih melihat orang dengan HIV sebagai PASIEN bukan sebagai mitra dalam perencanaan program, pelaksanaan program dan monitoring evaluasi program. Kalaupun ada, tanpa menyampingkan apa yang sudah dilakukan tetapi kebanyakan keterlibatan Orang dengan HIV sebagai formalitas. Kehadiran Odha hanya sebagai penerima manfaat bukan sebagai kreator bersama stakeholder lainnya dalam mendesain program.
SUFA merupakan salah satu program yang terkini oleh Kementrian Kesehatan dengan Slogan TOP (Temukan, Obati dan Pertahankan) ternyata dalam laporan Kementrian Kesehatan tahun 2013 dan 2014, Papua menjadi Provinsi dengan presentasi tertinggi Lost to Follow Up ARV yakni 26% diatas Jawa Timur 23% dan Jakarta 18%.
SUFA merupakan strategi untuk populasi kunci (kicauan orang kemkes) namun yang menjadi keheranan strategi ini juga diterapkan di Papua yang adalah epidemi meluas bukan terkonsentrasi. Dengan kasus LFU yang tinggi, seakan kita mengiyakan bahwa ada pembunuhan pasif terhadap masyarakat Papua karena banyak pengguna ARV yang putus obat memiliki potensi untuk menciptakan HIV yang kebal terhadap ARV.
Mengerikan jika dibayangkan dampak dari LFU ini terhadap harapan hidup masyarakat Papua.
Dengan Slogan TOP, terjadilah mobilisasi masyarakat untuk memeriksakan diri yang juga merupakan salah satu indikator program “donor” namun sangat disayangkan bahwa sebenarnya banyak layanan yang belum siap untuk menghadapi keinginan masyarakat untuk mengetahui status HIVnya.
Bukan hanya layanan, LKB juga belum maksimal dengan 6 pilarnya sehingga peran masyarakat masih jauh dari harapan. LKB hanya diketahui oleh segelintir orang dan menjadi harta yang tersimpan rapi tanpa ada implementasi nyata dalam gerak penanggulangan HIV dan AIDS di Papua.
Sehingga seakan-akan SUFA adalah strategi yang dipaksakan untuk diterapkan di Papua.
Regent pemeriksaan HIV (Rapit tes) juga meninggalkan kisah tragis di Papua. Dibeberapa Kabupaten/Kota hasilnya menghadirkan polemik. Hasil pemeriksaan dinyatakan reaktif setelah dikonfirmasi ulang ternyata non reaktif, beberapa kasus dari cerita ini dialami oleh ibu-ibu rumah tangga yang sedang hamil dan sudah memulai terapi ARV. Kita bisa membayangkan dampak spikologis bagi suami isteri saat menerima status HIV sang isteri dan ketakutan penularan terhadap janin? Belum lagi dampak kekerasan dan kecurigaan? Tapi sayangnya sampai saat tulisan ini ditulis belum ada satu jawabanpun yang dapat diberikan oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab sebagai solusi dari permasalah regen ini.
Dalam sorotan slogan TOP, 2 tahun terakhir ini pula terjadi lonjakan penemuan kasus HIV namun sangat disayangkan bahwa hanya 54% dari yang memenuhi syarat ART masuk dengan ART. Dan dari 7063 orang (54%) yang memulai ART hanya 49,95% (50%) yang masih aktif dengan menggunakan ARV dan kematian saat menggunkan ARV 14,36% sedangkan diharapkan dengan ARV terjadi peningkatan mutu hidup orang terinfeksi HIV, kematian ini sejalan karena dari 17605 yang dirujuk ke PDP, yang masuk dengan stadium AIDS sebanyak 10184 kasus. Provinsi Papua, menjadi penyumbang kasus AIDS tertinggi di Indonesia yakni 10184 Kasus, diikuti oleh Jawa Timur sebanyak 8976, DKI Jakarta dengan kasus sebanyak 7477 sedangkan untuk kasus HIV Papua menjadi penyumbang ke tiga setelah DKI Jakarta dan Jawa Timur. (Laporan Kementrian Kesehatan Triwulan 3 Tahun 2014 tertanggal 17 Oktober 2014).


Grafik 9. Sepuluh Provinsi yang Melaporkan Jumlah Kumulatif AIDS Terbanyak
Tahun 1987 sd September 2014



Dikutip dari laporan Kemenkes Triwulan 3 Tahun 2014.
Grafik 10. Sepuluh Provinsi dengan AIDS Case Rate Tertinggi sampai dengan
September 2014



Menilik grafik 10, maka AIDS Case Rate di Tanah Papua jauh diatas semua provinsi yang ada, dan jika tidak dilakukan pendekatan sosiologi dan antropologi (kearifan lokal) maka tidak mungkin persoalan HIV di Tanah Papua akan menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat Asli Papua.
P2KTP, LKB dan SUFA adalah strategi yang terbangun tanpa melihat sosiologi dan antropologi Papua sebagai satu komunitas yang memiliki kearifan lokal tersendiri. Memang kita ada dalam bingkai NKRI sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, namun bukan berarti segala sesuatu seharusnya dilakukan dan dipikirkan secara nasional.
Sistem perencanaan penganggaran penanggulangan HIV-AIDS secara nasional juga menjadi penghambat tersendiri bagi penanggulangan HIV dan AIDS di Tanah Papua. Pendanaan melalui dana bantuan GF (Global Fun) menjadi contoh bagi kita dimana unit cost tiap kegiatan dari Sabang sampai Merauke adalah sama, hal ini mencerminkan bahwa sebenarnya orang di Nasional tidak memahami geografis Papua walau selalu di gembar-gemborkan bahwa Geografis Papua sulit dan transportasinya mahal namun tidak serta merta kebijakan keuangan mengikuti pemahaman tersebut.

HIV – AIDS di Papua adalah KOLONIALISME BARU?
Melihat perkembangan HIV dan AIDS di Papua, mulai disoroti oleh masyarakat awam. Mulai dari Genosida, Depopulasi masyarakat Papua dan kemudian muncullah istilah baru bahwa HIV di Papua adalah bentuk Kolonialisme Baru terhadap Papua.
Realita penularan HIV di Papua dan merebaknya dunia hiburan (Lokalisasi, BAR, Diskotik dan Panti Pijat) mempertegaskan kepada masyarakat awam bahwa penularan HIV di Papua telah tertata sebagai bagian dari strategi Genosida. Transaksi seks Kayu Gaharu di tahun 1990an dan awal tahun 2000an merupakan cerita nyata dari sebuah episode di daerah Selatan Papua. Para pengelola BAR, Diskotik, Panti Pijat dan Mucikari di Lokalisasi dalam mendatangkan pekerja baru di Papua, ada yang sudah terinfeksi HIV dan juga IMS. Realita-realita ini membuat masyarakat Adat menilai bahwa Pemerintah tidak serius dalam melakukan pencegahan penularan HIV di Papua dan bagian dari pembiaran. Disisi lain, saat Pemerintah Kabupaten/Kota dengan kebijakan lokal mengintervensi penularan di kalangan Pekerja Seks secara tegas menjadi sorotan Nasional dengan dalil HAM.
Pertanyaan yang mengelitik adalah, HAM siapa yang harus kita lindungi; HAM masyarakat Papua atau pencari “nafkah” melalui transaksi seks yang kita lindungi. Kita tidak bisa pungkiri bahwa kita harus melindungi semuanya, namun apakah kita membiarkan menguatnya paradigma masyarakat awam bahwa HIV adalah bagian dari strategi pemusnahan atau penjajahan baru dari sebuah sistem yang terstruktur terhadap masyarakat Papua?
Banyak strategi sudah dicoba di Papua untuk meredam isu Politik dari kasus HIV dan AIDS, namun semua strategi ini menambah kuatnya wacana Genosida, Depopulasi dan Kolonialisme Baru. Strategi terbaru yaitu SUFA membuka mata kita bahwa ada apa dibalik HIV di Papua. Seharusnya bukan SUFA yang diterapkan di Papua karena SUFA adalah Strategi untuk daerah epidemi terkonsentrasi bukan untuk Papua yang epideminya berbeda dengan Provinsi lain di Indonesia sesuai dengan hasil STHP 2006 dan IBBS 2013.
Intervensi Program di Papua diharapkan dapat menekan lajunya epidemi di Tanah Papua, namun karena selama 20 tahun intervensinya pada Pekerja Seks maka setelah hasil STHP 2006 dan IBBS 2013 menunjukan bahwa intervensi Program mengakibatkan epidemi berbalik arah. Dimana awalnya epidemi berada pada Wanita Pekerja Seks namun memasuki dasawarsa ke tiga ini, epidemi di Papua sudah pada populasi umum.
Dan sangat memprihatinkan bahwa data menunjukan epidemi di Kalangan Ibu Rumah Tangga meningkat tajam dan akan berdampak pada pertumbuhan masyarakat Papua. Pencegahan dan Penanggulangan di Populasi Umum sangat sulit jika dibandingkan dengan Populasi Kunci.

SIRKUMSISI dan HIV di PAPUA.
Beberapa tahun terakhir ini, Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Papua yang dimotori oleh drh. Costan Karma mulai memperkenalkan sirkumsisi sebagai solusi atau salah satu solusi memerangi HIV di Tanah Papua.

Sedikit cerita dari Jogja.
Ada banyak teman yang mendiskusikan hal ini dengan saya waktu di PERNAS Jogya tahun 2011 setelah dipresentasikan. Ada banyak kontra maupun pro, tapi bagi saya ini merupakan reaksi yang wajar, memang ada banyak yang datang di kelas Satelit ini untuk melihat, mendengar dan belajar terkait tawaran kongrit apa yang akan disampaikan oleh KPAP Papua dalam Program Penanggulangan HIV di Papua secara terpadu, hal ini juga bagi saya adalah hal yang wajar, karena dalam pembukaan pertemuan Forum Komunitas, baik Istri Gubernur DI Yogjakarta maupun Pembicara Lainnya telah menyoroti kasus HIV di Papua yang telah masuk pada ranah masyarakat umum.
Namun jika kita melihat dari Judul dari Kelas Satelit ini maka wajar kalau yang di tampilkan adalah SIRKUMSISI, bagi saya inipun satu kemajuan kalau tidak mau dibilang besar, boleh saya katakan ini merupakan satu titik baru yang bisa menjadi sebuah lingkaran besar dalam proses penanggulangan HIV di Papua, oleh sebab itu, mari kita lihat sisi lain yang positif dari SIRKUMSISI ini dengan dalil-dalil yang bisa dipertanggung jawabkan dari semua sisi, baik secara Alkitabiah (Gerejawi) yang nota benenya Gereja-Gereja di Tanah Papua yang memiliki Paham Kalvinisme, Juga secara budaya Masyarakat Tanah Papua maupun sisi Kesehatan.
Tapi hal yang terpenting, mari kita duduk bersama (KPA, NGO, Pemerintah dan CSO) membicarakan SOLUSI YANG BESAR bagi Penanggulangan HIV di Papua ini, persoalannya siapa yang mau memediasi pertemuan ini. Sebuah pertemuan yang didasari atas kecintaan terhadap Tanah ini dan masyarakatnya bukan sekedar untuk melindungi kepentingan-kepentingan tertentu yang pada akhirnya memburamkan konsep besar Penanggulangan, duduk bersama dalam keterbukaan bukan hanya program tapi juga pendanaan sehingga dapat diukur apakah program ini dapat mendarat dengan baik di tatanan masyarakat atau hanya demi kepentingan sesaat, duduk bersama tanpa didasari oleh ketidaksukaan terhadap seseorang maupun lembaga.
Tanah ini membutuhkan pemikir-pemikir kreatif dalam Penanggulangan HIV dan Pemimpin-pemimpin yang bekerja secara tulus (walau ketulusan sulit diukur secara lahiriah).

Dalam banyak kesempatan, terjadi diskusi yang panjang dan juga cukup panas saat sirkumsisi didudukan pada posisi teologi. Ada banyak kecurigaan namun juga mulai banyak yang dapat menerima sirkumsisi sebagai salah satu alternatif.
Selaku seorang aktivis HIV, memahami keraguan dan perdebatan yang datang dari masyarakat umum dengan menyadari bahwa sampai saat ini penggunaan kondom sebagai alat pencegahan masih menjadi pro dan kontra, padahal kondom dapat mencegah penularan HIV diatas 90%, maka tidak dapat dipungkiri jika sirkumsisi sesuai dengan literatur yang ada hanya 60% dapat mencegah penularan HIV sudah pasti ada pro dan kontra, tetapi pertanyaan penting, apakah kita harus berdebat mencari dan mendudukan siapa yang benar dan salah pada isu ini?
Namun hal menarik dari hasil STHP 2006 maupun IBBS 2013 menunjukan bahwa laki-laki yang tidak bersunat lebih tinggi datanya daripada laki-laki yang bersunat walau harus ditinjau lebih lagi dari sisi lainnya. Data ini memperkuat hasil yang ada bahwa sunat adalah salah satu cara pencegahan HIV disamping menggunakan kondom.
Kampanye Sunat (sirkumsisi) sebagai salah satu cara pencegahan diperkuat olek Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2013, dan juga mulai mengkaitan dengan penyakit lainnya akibat tidak sunat mulai mendapat respon positif di kalangan tokoh agama Kristen walau disadari masih ada segelintir yang resisten terhadap kampanye ini.
Sebagai mana ketakutan kondom melegalkan seks bebas (kata mereka) demikian juga dengan sunat, Sehingga menjadikan ketakutan itu semakain kuat, namun juga sebagaimana penerimaan masyarakat terkait kondom diharapkan juga dengan sunat.
Apakah SUNAT menjadi solusi terbaik bagi Pencegahan di Papua? Kita belum bisa mengukurnya, namun saat paradigma bersama terbangun bahwa sunat bukan hanya untuk mencegah HIV tetapi juga penyakit yang lain dan sebagai perlindungan terhadap Perempuan dari kanker serviks juga menjadi dorongan tersendiri bagi kaum perempuan untuk mengkampanyekan isu ini.

GEREJA dan HIV di PAPUA.
Dalam sebuah pertemuan di tahun 2013 di Hotel Gran Abe yang dilakukan oleh Mahasiswa STT  dengan sorotan tema “menggagas teologi kehidupan” terkait dengan HIV dan AIDS.
Hal yang menarik namun juga sangat menyedihkan bahwa ada seruan pertobatan masal karena HIV ini dan di kaitkan dengan Kota Niniwe. Seruan ini menunjukan bahwa Gereja belum memahami dengan benar tentang HIV dan AIDS itu sendiri. Dengan pernyataan seruan ini maka sebenarnya Gereja masih mengaminkan bahwa persoalan keterpaparan HIV adalah PERBUATAN DOSA dan terkait erat dengan MORAL.
Selama Gereja masih menempatkan keterpaparan dari sisi moral dan dosa, maka Gereja akan melakukan kerja-kerja penanggulangan dalam garis tegas dan tebal bahwa semua orang yang terinfeksi HIV adalah PENDOSA dan bagian dari bilangan orang-orang yang tidak bermoral.
Padahal dalam perjalanan realita garis tebal ini menjerumuskan Gereja melakukan DISKRIMINASI terhadap orang yang terinfeksi HIV dan menghilangkan hukum kasih.
Seharusnya Gereja melihat persoalan HIV merupakan bagian dari unsur spiritual dimana Gereja dituntut untuk mengambil peran pastoral yang berorintasi pada HUKUM KASIH.

KOMISI PENANGGULANGAN AIDS dan HIV di PAPUA.
Metro Realita pernah menyeroti HIV di Papua dengan tema “HIV mengepung PAPAU”. Bagaimana HIV menggurita dari perkotaan sampai kepada pelosok kampung yang sulit terjangkau oleh transportasi namun dapat dijangkau oleh HIV, bukankah hal ini mengindikasikan kepada kita bahwa begitu cepatnya penularan ini terjadi di Papua.
Penemuan kasus pertama di tahun 1992, banyak orang mensinyalir bahwa HIV masuk di Papua dibawah oleh nelayan asing (Thailand). Kita menjadikan mereka (Nelayan Thailand) sebagai tameng dalam menempatkan posisi masyarakat kita sebagai masyarakat yang bermoral dan menjadi korban dari sebuah sistem yang terbangun secara sistimatik dalam rangka Genosida. Namun kita lupa bercermin dari beberapa peristiwa masa lampau. Di Merauke, Pastor Fertenten menjadi cerita Hero di kalangan masyarakat Marind sebagai pahlawan kemanusiaan yang menyelamatkan masyarakat Marind dari kepunahan karena Gonore di tahun 1920an. Hal ini menunjukan bahwa sebenarnya masyarakat kita di masa lalupun sudah mengenal IMS.
Menyikapi persoalan HIV di Papua, pemerintah Daerah tidak berdiam diri. Tahun 1992 penemuan kasus pertama maka setahun setelah itu Pemerintah Daerah Merauke melalui Keputusan Bupati Nomor 359 Tahun 1993 tanggal 15 November 1993 tentang pembentukan Tim Penanggulangan HIV dan AIDS (TPHA) Kabupaten Merauke kemudian berubah sesuai dengan Keputusan Bupati Nomor 79 tahun 2006 menjadi Komisi Penanggulangan AIDS Daerah.
Sejalan dengan peningkatan kasus dan dinyatakan sebagai daerah epidemi meluas, sudah beberapa kali komitmen-komitmen politik dibuat dalam memerangi HIV di Papua. Sampai dengan tahun 2015 ini, sudah ada 23 Kabupaten/Kota dari 29 Kabupaten/Kota di Provinsi Papua ini yang sudah ada Komisi Penanggulangan AIDS. Namun kenyataan dari Gerak Komisi Penanggulangan AIDS tidak searah dengan lajunya epidemi sehingga dapat menekan laju epidemi. Dari 23 Kabupaten/Kota yang sudah membentuk KPAK/K, 30% KPAK/K belum didukung dengan kebijakan alokasi anggaran, sedangkan 70% yang sudah didukung alokasi anggaran dari APBD namun 94% anggarannya Rp. 1.000.000.000 kebawah (data tahun 2013)
Padahal kerja-kerja penanggulangan HIV di Papua membutuhkan dukungan dana Pemerintah Daerah, hal ini juga diperparah dengan sistem pendanaan donor. Donor berada pada daerah yang pada dasarnya sudah memiliki kekuatan pendanaan dari Pemerintah Daerah, baik alokasi anggaran pada sekertariat KPA atapun pada SKPD-SKPD terkait, hal ini berimplikasi langsung pada kinerja Komisi Penanggulangan AIDS itu sendiri dalam memobilisasi pergerakan penanggulangan HIV dan AIDS di Daerah. Sekertariat Komisi Penanggulangan AIDS di Papua yang kuat dan kelihatan kinerjanya adalah KPAK/K yang ada donornya dan kuat APBDnya.
Tidak meratanya kekuatan penganggaran di tiap daerah baik bersumber dari donor maupun APBD menjadi catatan kelam bagi penanggulangan HIV dan AIDS yang berpacu dengan prevalensi 2,3 (IBBS 2013). Kebijkan politik (pembentukan KPAK/K dengan SK Bupati) yang tidak searah dengan kebijakan penganggaran yang memadai menjadikan kinerja Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten/Kota hanya sebatas formalitas tanpa daya ungkit yang berdampak pada kualitas kesehatan masyarakat terkait isu HIV.
Sistem perekrutmen staf sekertariat juga menjadi kendala tersendiri dalam membangun sebuah tim kerja yang profesional, sehingga tidak mengherankan jika Komisi Penanggulangan AIDS di Daerah selalu dipertanyakan kinerjanya. Belum lagi jika kita berbicara tentang transparansi pertanggung jawaban keuangan penanggulangan di Daerah yang dikelola oleh Sekertariat KPAK/K. Sejauh mana pertanggung jawaban keuangan itu menjadi ranah publik, mengingat 70% KPAK/K mendapatkan suntikan dana APBD yang bersumber dari rakyat.
Hal ini tidak mengherankan karena Komisi Penanggulangan AIDS sebagai lembaga Publik yang mengelola dana yang diharapkan berdampak kepada kesejahteraan masyarakat dalam membangun derajat kesehatan yang kebih baik, hampir tidak punya Standar Prosedur Oprasional yang profesional baik SOP Keuangan, SOP Administrasi, SOP Rekrutmen dan lainnya. Hal ini membuat KPAK/K berjalan tanpa arah. Permendagri No. 20 Tahun 2007 hanya berbicara tentang tupoksi sekertaris, pengelola program dan pengelola keuangan sehingga hal ini diterjemahkan bahwa Sekertariat KPAK/K hanya berisi 3 orang yang akan mengelola kerja penanggulangan di daerahnya dengan 9 tupoksi KPAK/K.
Tugas Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten/Kota:
a.      Mengkoordinasi perumusan dan penyusunan kebijakan, strategi, dan langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka penanggulangan HIV dan AIDS sesuai kebijakan, strategi, dan pedoman yang ditetapkan oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional;
b.      Memimpin, mengelola, mengendalikan, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan penanggulangan HIV dan AIDS Kabupaten/Kota;
c.      Menghimpun, menggerakan, menyediakan dan memanfaatkan sumberdaya berasal dari pusat, daerah, masyarakat, dan bantuan luar negeri secara efektif dan efisien untuk kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS;
d.      Mengkoordinasikan pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing instansi yang tergabung dalam keanggotaan Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten/Kota;
e.      Mengadakan kerja sama regional dalam rangka penanggulangan HIV dan AIDS
f.       Menyebarluaskan informasi mengenai upaya penanggulangan HIV dan AIDS kepada aparat dan masyarakat;
g.      Memfasilitasi pelaksanaan tugas-tugas Camat dan Pemerintahan Desa/Kelurahan dalam penanggulangan HIV dan AIDS
h.      Mendorong terbentuknya LSM/Kelompok Peduli HIV dan AIDS; dan
i.       Melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan penanggulangan HIV dan AIDS serta menyampaikan laporan secara berkala dan berjenjang kepada Komisi Penanggulangan AIDS Nasional.
Sebagai kaum awam, pertanyaannya apakah dengan 3 orang staf bisa menjalankan 9 tugas ini dan dapat memenuhi harapan masyarakat Papua dalam pencapaian three zero (tidak ada infkesi baru, tidak ada diskriminasi orang terinfeksi HIV dan tidak ada kematian karena AIDS) yang didukung oleh linkungan yang kondusif?
Selama kekuatan komitmen hanya sebatas wacana tanpa ada implementasi kebijakan penganggaran serta didukung oleh tim sekertariat yang profesioanl maka jauh dari harapan kita untuk mencapai three zero. Maka capaian lain adalah selalu ada infeksi baru dan terus terjadi kematian karena AIDS.

ADA APA dibalik HIV di PAPUA?
Yang pasti kita bukan bekerja untuk membuktikan ada apa dibalik HIV di Papua, namun kerja yang terbangun lahir dari kecintaan kita terhadap tanah ini demi setiap insan yang hidup dan beraktifitas di bumi Cendrawasih.
Jika kita bekerja dengan kecintaan untuk tanah ini dan orangnya maka, kita akan JUJUR dalam kerja kita.
JUJUR sebagai kecintaan ini membuat semua kita memikirkan yang terbaik bagi tanah ini.
Yang terbaik dalam kebijakan
Yang terbaik dalam penganggaran
Yang terbaik dalam program berbasis kearifan lokal
Yang terbaik dalam pemerataan kehadiran donor di tiap daerah
Yang terbaik dalam rekrutmen staf sekertariat
Yang terbaik dalam pelaporan keuangan tanpa rekayasa
Yang terbaik dalam pertanggungjawaban publik.
Buatlah yang terbaik dari apa yang terbaik dalam diri kita untuk kebaikan negeri ini karena apa yang kita tabur hari ini, akan kita tuai.

Jangan pernah mengkhianati tanah ini walau sejengkal dengan mengambil kesempat dari ada apa dibalik HIV di Papua sebagai bagian dari batu loncatan untuk mencapai ambisi pribadi yang dikamuflasi dengan kerja-kerja penanggulangan.
Jangan pernah berdiam diri untuk melihat tanah ini ditunggangi oleh kepentingan tertentu oleh orang maupun kelompok tertentu, teruslah berteriak demi keberlangsungan kehidupan hari ini dan masa yang akan datang bagi Papua.
Jangan pernah berhenti untuk mendedikasikan kehidupan kita bagi penanggulangan HIV di Tanah ini, sampai melihat perubahan yang terjadi dari epidemi.
Dan JANGAN PERNAH MUNDUR ataupun BERNIAT UNTK BERHENTI dari kerja-kerja penanggulangan ini, walau terasa berat dan melelahkan karena saat kita mundur dan berhenti sama saja dengan KITA MENYETUJUI dan MEMBIARKAN PEMUSNAHAN MANUSIA di TANAH INI.

Berjalan bersama TUHAN - Part 7

Menjadi Manusia BARU Efesua 4 : 17 - 32 Oleh : Ps. Sefnat JD. Lobwaer. Kehidupan yang diberikan oleh TUHAN YESUS sebagai anugerah bagi manus...