Selasa, 30 Desember 2014

"SIRKUMSISI (SUNAT) apakah SEBUAH SOLUSI ???"

Ada banyak teman yang mendiskusikan hal ini dengan saya waktu di PERNAS setelah dipresentasikan.
Ada banyak kontra maupun pro, tapi bagi saya ini merupakan reaksi yang wajar, memang ada banyak yang datang di kelas Satelit ini untuk melihat, mendengar dan belajar terkait tawaran kongrit apa yang akan disampaikan oleh KPAP Papua dalam Program Penanggulangan HIV di Papua secara terpadu, hal ini juga bagi saya adalah hal yang wajar, karena dalam pembukaan pertemuan Forum Komunitas, baik Istri Gubernur DI Yogjakarta maupun Pembicara Lainnya telah menyoroti kasus HIV di Papua yang telah masuk pada ranah masyarakat umum.
Namun jika kita melihat dari Judul dari Kelas Satelit ini maka wajar kalau yang di tampilkan adalah SIRKUMSISI, bagi saya inipun satu kemajuan kalau tidak mau dibilang besar, boleh saya katakan ini merupakan satu titik baru yang bisa menjadi sebuah lingkaran besar dalam proses penanggulangan HIV di Papua, oleh sebab itu,mari kita lihat sisi lain yang positif dari SIRKUMSISI ini dengan dalil-dalil yang bisa dipertanggung jawabkan dari semua sisi, baik secara Alkitabiah (Gerejawi) yang nota benenya Gereja-Gereja di Tanah Papua yang memiliki Paham Kalvinisme, Juga secara budaya Masyarakat Tanah Papua maupun sisi Kesehatan.
Tapi hal yang terpenting, mari kita duduk bersama (KPA, NGO, Pemerintah dan CSO) membicarakan SOLUSI YANG BESAR bagi Penanggulangan HIV di Papua ini, persoalannya siapa yang mau memediasi pertemuan ini. Sebuah pertemuan yang didasari atas kecintaan terhadap Tanah ini dan masyarakatnya bukan sekedar untuk melindungi kepentingan-kepentingan tertentu yang pada akhirnya memburamkan konsep besar Penanggulangan, duduk bersama dalam keterbukaan bukan hanya program tapi juga pendanaan sehingga dapat diukur apakah program ini dapat mendarat dengan baik di tatanan masyarakat atau hanya demi kepentingan sesaat, duduk bersama tanpa didasari oleh ketidaksukaan terhadap seseorang maupun lembaga.
Tanah ini membutuhkan pemikir-pemikir kreatif dalam Penanggulangan HIV dan Pemimpin-pemimpin yang bekerja secara tulus (walau ketulusan sulit diukur secara lahiriah).
Pemerhati HIV
Kota Rusa, Selatan Papua

KUNYALAKAN LILIN KECILKU

Oleh
Sefnat  JD  Lobwaer



Aku berjalan dalam remang kebijakan.
Berusaha melangkah.......
Bahkan bisa katakan merayap
Tuk menggapai kepastian yang jauh.

Telingaku pedas;
Mendengar jeritan ketidak adilan;
Mataku bahkan tak sanggup menatap;
Melihat penderitaan dari sebuah kebijakan.

Kuberusaha berteriak sekuat mungkin,
Tapi seperti berlalunya angin
hatiku sedih;
Tapi juga aku marah.

Namun kubangun tekadku......
Ku nyalakan lilin kecilku ditengah badai;
Dengan harapan.....
Dapat menerangi langkah yang mencari;
Dan tetap kupertahankan nyalanya;
Walau kan meleleh sampai habis;
Demi terangnya jalan bagi orang kecil.





Refleksi sebuah protes dari realita kehidupan yang terabaikan dari sebuah sistem yang dibangun secara sistimatik melalui kebijakan-kebijakan, walau kelihatannya melanggar amanat Undang-Undang positif di negeri ini.
Puisi ini sebagai APRESIASIKU bagi teman-teman yang telah dipanggil pulang oleh Bapa di Sorga karena mengalami dampak dari kebijakan yang tidak berpihak.

AKU di antara MEREKA yang HIV POSITIF

Dua belas tahun berkecimpung dengan dunia HIV, mendampingi Orang yang terinfeksi dalam Bimbingan Rohani dan Konseling Paliatif, menyiapkan mereka menghadapi kematian dengan tersenyum membawaku untuk mengerti bahwa kebanyakan dari mereka membutuhkan siraman rohani namun kenyataan yang terjadi sangat jauh dari apa yang mereka harapkan.

Yesaya 52 : 5 – 10.........”betapa indahnya kelihatan dari puncak bukit-bukit kedatangan pembawa berita, yang mengabarkan berita damai dan memberitakan kabar baik yang mengabarkan berita selamat dan berkata kepada Sion, Allahmu itu Raja...........”
Penantian berita damai dan kabar baik bagaikan setetes air bagi musafir di padang gurun, namun mereka terhilang dari pelayananan Pastoral karena Gereja sangat eksklusif, dan bahkan banyak orang berpikir bahwa mereka adalah pendosa dan harus menerima akibat dari perbuatan mereka.
Kenyataan hidup orang terinfeksi HIV, semata-mata bukan karena keinginan mereka atau perbuatan mereka, tapi juga bagian dari kesetiaan mereka terhadap sebuah pernikahan dan tidak dapat menolak terlahir dari kandungan seorang ibu HIV Positif.

“Kami tidak ingin hidup dengan HIV seperti ini, tapi kami juga tidak bisa menolak tatkala hasil pemeriksaan menunjukan bahwa kami HIV Positif, kami hidup dalam ketakutan akan diskriminasi............”
Kami tidak ingin diistimewakan tetapi diterima dan dilayani seperti pelayanan pastoral kepada umat lainnya karena masalah kami bukan saja persoalan VIRUS yang ada dalam diri kami, tetapi yang sebenrnya adalah BIOPSIKOSOSIAL SPIRITUL” By. AW. (Dikutip langsung dari testimoni didepan para Pendeta)

Ini harapan kecil yang disampaikan oleh seorang yang hidup dengan HIV, yang saya dampingi waktu testimoni di depan 30 Pendeta GPI di Merauke. Harapan yang mewakili Orang terinfeksi HIV yang merasa kehilangan sentuhan Rohani dari pemuka Gereja.

“Sangat menyakitkan saat mendengar jeritan lapar dari anak-anakku, dan aku hanya bisa terbaring lemah karena VIRUS HIV yang menginfeksiku sejak tahun 2004, aku coba untuk bertahan demi kelima anak-anakku, walau aku menyadari bahwa ada banyak tantangan yang akan aku hadapi dengan status HIVku.....................
Aku tidak pernah minta untuk dikasihani tapi perlakukanlah aku sebagaimana YESUS memperlakukan orang lemah” By. FB (Diungkap waktu saya dan istri melakukan Home Visit)

Tidak pernah terpikir bahwa seorang bapak sangat tersiksa karena tidak bisa berbuat apa-apa disaat anak-anaknya merintih kelaparan. Cukupkah tangan kita begitu panjang untuk terulur membantu ataukah kita seperti kisah seorang yang dilukai oleh penyamun dan ditinggalkan sekarat kemudian dilewati begitu saja oleh seorang imam dan Lewi? mungkinkah kita adalah orang samaria yang bermurah hati itu?
Terkadang kasih dan belas kasihan hanya bagian dari SLOGAN ROHANI yang megah namun mandul dalam realiti kehidupan bergereja.

“Ketika aku mengetahui statusku sebagai orang yang terinfeksi HIV, yang memberatkanku adalah lingkungan.........dapatkah mereka menerima aku apa adanya?
Aku seorang ibu rumah tangga yang hidup dengan suami dan satu anak yang juga HIV Positif serta satu Anak HIV Negatif................yang menyakitkan aku bukanlah statusku sebagai ibu rumah tangga yang HIV Positif, tetapi diskriminasi !!!!! Aku punya harapan untuk terus hidup demi anak-anakku” By. AK (Dikutip langsung saat Kunjungan Rumah)
Realita kehidupan orang terinfeksi HIV sebenarnya mendorong Gereja untuk melihat sejauh mana pelayanan kita bangun bagi masyarakat termarginalkan.

Dalam pendampingan kami suami istri, terdapat 22 anak HIV Positif dan terdampak, terkadang dalam benakku, adakah masa depan bagi mereka? Penghiburan bathin adalah Amsal 23 ayat 18, namun tangga pencapainya harus ditata.
Matius 18 : 5 “dan barang siapa menyambut seorang anak seperti ini dalam namaKU, ia menyambut AKU”
Lalu dimana aku ?????........ terpanggilkah aku untuk menjadi jawaban bagi masalah ini ??????

Matius 5 : 13 – 16, kehidupan tawar mereka karena dampak dari BIOSPIKOSOSIAL SPRITUAL yang merupakan akibat langsung dari VIRUS HIV, perlu GARAM, bahkan kebingungan mereka untuk kembali menata kehidupan karena mereka berada dalam lembah kelam, gelap bahkan tidak memiliki harapan hidup, mereka butuh TERANG yang dapat menerangi langkah hidup mereka, serta  membangkitkan gaerah hidup mereka.
Perjuangan mengakhiri penelantaran gereja dalam pelayanan terhadap orang terinfeksi menyadarkanku bahwa ini adalah bagian dari pelayanan, dan yang terindah bila mereka hidup, mereka hidup sebagai bagian utuh dari ciptaan TUHAN dan jika mereka meninggal, mereka meninggal dengan bermartabat.

Kuteringat akan sebuah surat dari seorang sahabat yang terinfeksi HIV karena menerima darah donor waktu kecelakaan tahun 2001 di Tawangmangu........
Hanya ada satu permintaanku padamu......”kalau di sekitarmu ada yang terinfeksi HIV, jangan kau tanya kenapa dan dari mana mereka terinfeksi, tapi......berikanlah mereka dukungan sebisamu karena itu sangat berarti bagi mereka”
Aku di antara mereka, karena kusadari TUHAN membawaku untuk ada bersama mereka.



Steve
Pendamping Orang Terinveksi HIV

Kasih yang dimanifestasikan dalam realita terkait HIV

Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia sudah berumur dua dasawarsa, namun sejauh ini masih banyak pertanyaan yang bermunculan di tengah-tengah masyarakat, mengapa upaya penanggulangan HIV dan AIDS belum dapat menghambat lajunya epidemic, bahkan HIV dan AIDS di Papua sudah masuk taraf mengkuatirkan. Sesuai dengan survey terpadu tahun 2006, HIV di Populasi Umum di Papua 2,4 %, merujuk pada defenisi Epidemi menurut WHO, maka Papua masuk pada level Generalisata, sedangkan Indonesia pada umumnya berada pada level terkonsentrasi.
Jawaban dari pertanyaan sederhana di atas adalah lingkungan yang belum kondusif untuk penyelenggara upaya penanggulangan HIV dan AIDS terutama di daerah-daerah. Ada banyak hal yang mempengaruhi terhambatnya program penanggulangan HIV dan AIDS di daerah, salah satu adalah belum ada kebijakan politik yang berpihak pada program penanggulangan dengan ketersediaan dana program penanggulangan HIV dan AIDS yang proporsional, dilain pihak masih banyak juga unsur-unsur masyarakat termasuk agama yang mengkaitkan masalah HIV sebagai masalah moral yang tidak terampuni.

HIV dan AIDS di Tanah Papua sudah merambat samapi ke pedalaman-pedalaman, namun penanggulangan masih jauh dari harapan, banyak program penanggulangan terkonsentrasi di pusat-pusat kota, hal ini disebabkan karena geografis Papua yang sulit.

Gereja di Papua memiliki peran penting dalam program Penanggulangan HIV dan AIDS, hal ini di tinjau dari sisi pelayanan gereja yang berada/menjangkau sampai ke pedalaman Papua. Namun disadari bahwa ada banyak pemimpin gereja yang bekerja hanya seluas tembok gereja dan tidak mau menyentuh persoalan diluar gereja, Gereja bergerak sesuai program yang sudah ditetapkan.
Namun jika gereja tidak terlibat maka kita akan kehialangan satu generasi, karena HIV dan AIDS merupakan ancaman bagi keberlangsungan kehidupan. Memang secara medis orang dengan HIV dan AIDS bisa menghasilkan keturunan tanpa HIV, namun secara kenyataan karena stigma dan diskriminasi masyarakat masih tinggi sehingga ada banyak orang yang takut untuk memeriksakan diri akhirnya mereka tidak mengetahui status HIVnya, walaupun kehidupannya berisiko untuk tertular HIV.
Padahal tiap generasi atau keturunan, ALLAH memiliki rencana tersendiri (Pengkhotbah 1:4). Jika kita kehilangan satu generasi maka kita kehilangan rencana ALLAH. Zakharia 2:4, Allah ingin bekerja sama dengan orang muda untuk kebaikan satu kota, merujuk pada data, maka kasus HIV terbanyak terjadi pada usia muda.
Apakah ini berarti orang muda yang terinfeksi HIV tidak bisa dipakai oleh TUHAN? Jawabannya sangat bisa, disinilah letaknya peran gereja. Kenapa? Salah satu hal yang muncul dalam benak dan akan mempengaruhi pola hidup orang terinfeksi HIV pada saat mendengar hasil pemeriksaan HIVnya dan di nyatakan positif HIV adalah Rasa berdosa dan tidak layak dihadapan TUHAN. Peran gereja adalah membawa mereka kembali untuk mengerti tentang pengorbanan TUHAN YESUS dalam penebusanNYA tanpa menghakimi mereka sebagai pendosa.

Gereja memiliki potensi sangat besar dalam penanggulangan HIV dan AIDS jika Gereja ingin terlibat secara penuh dan melihat persoalan HIV dan AIDS sebagai bagian dari panggilan pelayanan Gereja itu sendiri. Namun disadari juga bahwa ada banyak pemimpin dan jemaat yang belum paham benar akan masalah HIV dan AIDS, bagaimana memperlakukan Orang yang terinveksi dan apa dampak HIV dan AIDS bagi gereja itu sendiri.
Oleh sebab itu, selain informasi dasar HIV dan AIDS yang harus diketahui oleh Gereja (Pemimpin dan Jemaat) maka gereja juga harus mengetahui kenyataan hidup dari orang yang terinfeksi HIV. Gereja terkadang melihat seseorang terinfeksi karena perbuatan perzinahan atau seks diluar nikah, namun tidak melihat dari sisi yang lain bahwa ada banyak ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV dari kesetiaan mereka terhadap suami, juga anak yang terlahir dari ibu HIV positif, yang tidak bisa menolak. Kita memfonis bahwa mereka adalah orang terkutuk dan pendosa yang sudah sewajarnya mendapat ganjaran setimpal yaitu terinfeksi HIV.
Padahal, kalau mau jujur, mereka tidak ingin terinfeksi HIV, tetapi mereka juga tidak bisa menyalahkan saat mereka terinfeksi.

Gereja dipanggila untuk menjadi jawaban bagi masalah ini, karena dalam cara pencegahan ada 2 cara yang seharusnya menjadi areal kerja Gereja yakni, pencegahan melalui puasa seks bagi yang belum menikah dan setia pada pasangan bagi yang sudah menikah. Namun kenyataannya gereja tabu dalam membicarakan seks secara Alkitabiah kepada orang muda dan terus menyerang para aktivis HIV yang berbicara dari sisi kondom.

Matius 5:13-16, berbicara tentang garam dan terang dunia. Seseorang yang telah terpapar HIV, yang terpikir olehnya adalah kematian, hidup tidak berarti lagi, dendam, marah dan benci bahkan keinginan bunuh diri menjadi satu dalam dirinya, hatinya mulai tawar, pesimis dalam menjalani kehidupan. Secara rohani, mereka perlu garam kehidupan sehingga kehidupan mereka terasa berarti. Mereka seperi orang yang berjalan dalam kegelapan dan bahkan tidak tahu arah, mereka terpuruk dalam gelapnya dampak HIV dan AIDS karena stigma dan diskriminasi masyarakat dan gereja, mereka perlu terang yang bisa menerangi jalan mereka. Pendekatan yang harus diberikan adalah pendekatan pertemanan tanpa keinginan mengetahui darimana mereka terinfeksi, realita yang ada adalah pendekatan kudus dan tidak kudus serta mencap sebagai orang pendosa sehingga orang yang terinfeksi HIV bak pepatah mengatakan sudah jatuh tertimpa tangga pula. Gereja yang bagi mereka tempat keteduhan komprehensip kehidupan mereka kini menjadi tempat menakutkan untuk didatangi.

Gereja harus melakukan sesuatu terkait penanggulangan HIV dan AIDS, jangan diam. Dalam Amsal 14:11-12, kita diminta untuk berdiri menghadanag mereka yang berjalan menuju tempat pemancungan, artinya; kita berdiri mencegah sehingga tidak ada lagi yang terinfeksi dan memberikana dukungan bagi mereka yang sudah terinfeksi dengan nilai-nilai kasih bukan penghakiman. Gereja harus memecahkan kebisuan terkait HIV karena gereja merupakan suara ALLAH bagi manusia. Yehezkiel 33:1-20, kitalah penjaga jiwa, namun terkadang kita menterjemahkan ini sebatas jemaat, padahal ada banyak jiwa yang menjadi tanggung jawab kita untuk dijaga bukan hanya mereka yang segeraja, tetapi semua manusia.

Gereja harus berani berbicara tentang HIV dan dampaknya, terutama gereja harus mengambil sikap perang melawan stigma dan diskriminasi terhadap orang yang terinveksi. Hal ini didasari pada nilai Gereja yaitu KASIH. Bagaimana kita mengatakan bahwa kita mengasihi ALLAH tetapi membenci ciptaanNYA. Alkitab berkata, kita pembohong!!
Gereja juga memiliki potensi untuk mengakhiri penelantaran terhadap orang dengan HIV yang selama ini terjadi.
Roma 15:1-2, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak membantu orang terinfeksi HIV, namun sayang banyak uang gereja dihabiskan untuk bagaimana membangun gedung secara fisik, dan tidak menganggap pelayanan terhadap orang terinfeksi HIV sebagai bagian dari sebuah pelayanan Pastoral. Gereja hanya menonton orang dari diluar yang datang menolong, padahal orang terinfeksi bagian dari gereja.
Gereja merupakan saluran kasih bagi mereka yang sudah terinfeksi. Memang mereka tidak minta untuk diistimewakan, tetapi harapan mereka, mereka diterima sebagaimana gereja menerima orang yang tidak terinfeksi HIV, sebab disisi lain orang terinfeksi adalah gambar dan rupa ALLAH, bahkan Yesus telah mati bagi semua orang termasuk mereka yang terinfeksi HIV (Roma 5:6-8), dan juga telah menggantikan kutuk semua kita (Galatia 3:13-14)

Dalam Matius 25:36-46, pada ayat 40 dengan tegas dikatakan “……..sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKU yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”
Gereja harus menyadari bahwa apa yang Gereja lakukan kepada orang terinfeksi HIV yang dianggap oleh masyarakat adalah kaum hina, Gereja bukan sekedar melakukan untuk mereka tetapi yang terlebih adalah Gereja lagi melayani TUHAN YESUS. Pemahaman ini akan membuat gereja terpanggilan secara total terlibat dalam program penanggulangan HIV dan AIDS, dengan cara gereja yang penuh kasih, sehingga orang yang terinfeksi HIV sekalipun tubuhnya habis lenyap dimakan virus, tapi jiwanya diselamatkan.

Menyadari bahwa dampak HIV adalah BIOPSIKOSOSIAL SPIRITUAL, maka gereja seyogyanya berperan aktif, sebagai implementasi dari pola pelayanan Kristus yang bersentuhan langsung dengan semua aspek kehidupan manusia dan dari semua latar belakang tanpa memandang muka.
Hal yang terpenting dari pelayanan Gereja adalah keterbukaan Gereja terhadap isu social, terlibat sesuai kapasitas gereja dan jangan pernah menghakimi orang terinfeksi. Kisah yang tertulis dalam Kitab Yohanes 8:1-10, merupakan pembelajaran penting bagi Gereja untuk tidak menghakimi dan mencari-cari kesalahan dari sebuah pembenaran diri, tetapi memberikan dukungan, sehingga gereja tidak terlihat lebih rohani dari TUHAN YESUS. Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskannya dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkannya, tetapi denga setia ia akan menyatakan hukum. Yesaya 42:3.
Mari kita berbuat baik selagi masih ada kesempatan (Galatia 6:9-10) karena akan tiba waktunya semua pekerjaan kita diuji.
Tuhan Yesus memberkati pelayanan kita.



Pdt. Sefnat JD Lobwaer
Gembala Jemaat GSJA "Karismatik" Merauke-Papua
Pengelola Program KPA Kab. Merauke.

MUJISAT PENYEMBUHAN HIV – AIDS, SUATU KEBENARAN??

Bagi banyak orang yang terinfeksi HIV-AIDS, kesembuhan merupakan harapan terbesar dalam kehidupan, namun disadari bahwa ini merupakan harapan yang belum tahu kapan menjadi sebuah kenyataan sukacita. Hidup dengan HIV-AIDS menjadi perjuangan kemanusiaan dan juga spiritual, kehidupan yang diperhadapkan dengan stigmatisasi dan diskriminasi masyarakat merupakan hal yang sangat menyakitkan, diperparah dengan penolakan orang-orang yang berlebel religius karena mengkaitkan keterpaparan seseorang dengan perilaku tidak bermoral dan penyakit kutukan TUHAN.

Penawaran kesembuhan bagaikan secangkir air dipadang pasir bagi orang terinfeksi HIV, dan secara psikologis ini merupakan jawaban dari pergumulan kehidupan mereka selama ini, namun disisi lain inilah fatamorgana. Orang yang terinfeksi HIV bersama keluarga mereka rela membayar berapapun harga obat yang ditawarkan tanpa perduli dari mana mereka mendapatkan uang dan apa yang akan dimakan nanti, serta kenyataan khasiat dari obat tersebut, bagi mereka kesembuhan merupakan harga mati.

Penawaran-penawaran kesembuhan tidak hanya datang dari para “dukun” yang berdalih mendapat wahyu dari Yang Maha Kuasa, namun juga datang dari para agamawan. Doa ditawarkan sebagai jalan alternative penyembuhan ilahi dan meninggalkan pengobatan medis merupakan pembodohan iman yang tidak realistis, yang dilakukan oleh para agamawan yang tidak memahami masalah HIV-AIDS dan mereka yang terinfeksi.

Dalam iman Kristiani, mujisat merupakan kejadian Ilahi dalam meneguhkan kesaksian utusan-NYA. Namun dalam banyak hal yang berhubungan dengan kesembuhan satu penyakit tertentu, YESUS membuktikannya dalam kehidupan kongrit melalui tangan manusia.

Peristiwa Yesus menyembuhkan seorang kusta dalam Matius 8:1-4. Menilik dari pernyataan Tuhan Yesus pada ayat 4, “ingatlah, jangan engkau memberitahukan hal ini kepada siapapun, tetapi pergilah, perlihatkan dirimu kepada imam dan persembahkanlah persembahan yang diperintahkan Musa, sebagai bukti bagi mereka” ini menunjukan bahwa mujisat membutuhkan pembuktian kongrit tentang kesembuhan itu sendiri. Merujuk pada penyakit HIV dan AIDS yang disembuhkan, bukan berarti penulis tidak mempercayai mujisat tetapi perlu adanya pembuktian medis sebagai kekuatan penegasan dari mujisat.

Kitab Imamat pasal 13 dan 14, yang menentukan seseorang terindikasi penyakit kusta adalah SEORANG IMAM. Dan dalam kitab Matius 8:1-4 dan kitab Lukas 17:11-19 dengan tegas Yesus menyuruh orang kusta untuk pergi menemui para imam, untuk membuktikan kesembuhannya.

Seseorang dinyatakan HIV Positif melalui pemeriksaan medis, dan sampai saat ini belum ditemukan vaksin untuk membunuh virus HIV. Secara iman kristiani yang mempercayai mujisat TUHAN YESUS, tidak ada yang mustahil bagi DIA (Lukas 1:17) namun pembuktian medis yang dibutuhkan disini sebagai bagian dari aplikasi Firman Tuhan Yesus. Sebagaimana YESUS menyuruh orang kusta bertemu dengan para imam untuk membuktikan kesembuhannya, maka selayaknya orang yang terinveksi HIV disuruh bertemu dengan medis untuk membuktikan kesembuhannya baru kemudian dia mempersembahkan korban syukur sebagaimana yang di perintahkan Musa.

Pembuktian ini penting sebagai penguatan mujisat tersebut, tanpa pembuktian, mujisat itu hanya retorika. Inti pesan Yesus kepada orang kusta adalah “BUKTI KESEMBUHAN” yang direkomendasikan oleh para IMAM. Dalam konteks kasus HIV, pemeriksaan darah ulang (tes HIV) merupakan bukti lahiriah yang menguatkan mujisat.

Dengan pemerikasaan ulang ini, kita menghindari keyakinan semu yang lebih didasari pada sugesti “mujisat” yang akan melahirkan kekecewaan. Dalam pemeriksaan ulang dan ternyata tidak ditemukan anti body HIV maka disitulah kebesaran kasih dan kuasa ALLAH dipermuliakan.
Kita semua sepakat bahwa ALLAH sanggup melakukan melampaui apa yang kita pikirkan dan doakan (Efesus 3:20) tapi salahkah kalau kita perlu membuktikan satu mujisat sebagai bagian dari kekuatan iman?? Memang ALLAH lebih besar dari HIV dan AIDS, tetapi kita juga mesti menyadari bahwa dengan penyakit yang sama ALLAH mau menunjukan kuasa-NYA atas manusia di bumi ini?

Jadi secara Alkitabiah tidak ada kontradiksi antara mujisat dan pembuktian medis terhadap mujisat tersebut, semuanya berjalan dalam koridor ILAHI sebagai pembuktian KUASA ALLAH, dan YESUS tidak keberatan jika MUJISAT itu DIBUKTIKAN, malah YESUS “MEMERINTAHKAN” untuk dibuktikan terlebih dahulu.

Dalam konteks HIV dan AIDS, mari kita buktikan kebenaran MUJISAT kesembuhan melalui pembuktian medis sebagai kekuatan kebenaran dari mujisat itu sendiri. Ini bukan berarti penulis tidak mempercayai mujisat ilahi tetapi demi menghindari pola pikir yang salah di masyarakat dan memberikan penghiburan semu kepada orang terinveksi yang kemudian memperburuk kondisi kesehatan mereka dan pada akhirnya mereka kecewa dengan TUHAN, karena HIV berhubungan erat dengan BIOPSIKOSOSIAL SPIRITUAL.

Mari kita sama-sama merealisasikan kebenaran Alkitabiah dalam realita kehidupan iman demi kemuliaan TUHAN YESUS sang Penyelamat kita tanpa menjadikan banyak orang kecewa dengan Tuhannya karena janji semu yang kita tawarkan.



Pdt. Sefnat JD Lobwaer.
Gembala Jemaat GSJA “Karismatik” Merauke.

ADVOKASI LAYANAN KESEHATAN

PELAYANAN KESEHATAN YANG MEMANUSIAKAN
ORANG TERINFEKSI HIV
(Refleksi kecil 65 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia)
Disampaikan oleh:
Pdt. Sefnat JD. Lobwaer
Pada Kongres II JOTHI 2010 di Park HotelJakarta.

Pada dasarnya KESEHATAN merupakan salah satu unsur terpenting dalam kehidupan manusia, dan bagian dari Hak Asasi Manusia, yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun termasuk Negara sekalipun.
Menyadari kesehatan sebagai bagian dari hak asasi manusia yang harus dipenuhi oleh negara, maka advokasi layanan kesehatan merupakan bagian terpenting dalam memenuhi hak-hak orang terinfeksi HIV secara khusus dan warga negara pada umumnya.

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H Ayat 1, mengamanatkan setiap warga Negara Berhak Memperoleh Layanan Kesehatan.
Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan undang-undang Positif di Republik Indonesia dan merupakan landasan berpijak dalam membangun Negara Republik Indonesia, maka sudah seharusnya Negara menjamin kenyamanan Layanan Kesehatan bagi setiap Warganya.
Undang-undang Dasar 1945 menjadi landasan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun2009 Tentang Kesehatan " Negara menyadari bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksudkan dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Kesehatan merupakan HAK MASYARAKAT yang harus dipenuhi oleh Negara, dan jika Negara tidak memenuhi hak masyarakat, maka ini merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Pasal 4,  setiap orang berhak atas kesehatan. Artinya semua warga negara berhak ataskesehatan baik secara pribadi maupun secara masyarakat.
Setiap orang memiliki hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan (Pasal 5 Ayat 1), mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau  (Pasal 5 Ayat 2) artinya bahwa Negara menjamin tidak ada diskriminasi (pembedaan dalam layanan kesehatan) bagi warga negaranya dalam mencari pemenuhan hak kesehatannya, bahkan menganut asas keterjangkauan, baik secara geografis maupun secara ekonomis.
Pasal 5 Ayat 3, setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
Pilihan-pilahan terhadap pelayanan kesehatan harus ditawarkan kepada setiap warga negara namun tetap mengacu pada Pasal 5 Ayat 2 yaitu; aman, bermutu dan terjangkau.

Amanat Pasal 14 Ayat 1 Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat.
Sehingga masyarakat pedesaan, perkampungan yang terpencil maupun masyarakat miskin memiliki kemampuan mengakses layanan kesehatan karena pengawasan yang melekat oleh pemerintah (Negara), bahkan sampai pada ketersediaan obat dan fasilitas kesehatan lainnya termasuk tenaga kesehatan (Medis dan Paramedis)
Penyelenggara pelayanan kesehatan yang bermutu, aman, efisien dan terjangkau semuanya bermuara pada pemenuhan hak kesehatan masyarakat tanpa terkecuali. Tujuan utamanya adalah menekan angka kesakitan dan kematian serta mencegah penyakit satu kelompok dan masyarakat, maka setiap penyelenggara pelayanan kesehatan melihat pasein sebagai pribadi yang utuh dalam amanat Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Disis lain untuk memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat yang sulit terjangkau karena krisis ekonomi, amanat Undang-undang ini juga menjamin sistem jaminan yang dibangun oleh Negara agar semua warga negara mendapatkan layanan kesehatan yang terjangkau. Pasal 20 Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui sistem jaminan sosial nasional bagi upaya kesehatan perorang dan menjamin kerahasiaan kesehatan.
Pasal 57 Ayat 1 berbunyi, setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan.

Kenyataannya, kemana arah pelayanan kesehatan? Pertanyaan mendasar, sudahkah orang terinfeksi HIV menikmati haknya sebagai warga negara Republik Indonesia yang dilindungi oleh Undang-Undang? Inilah perenungan yang harus dijawab dan diperjuangkan setelah 65 Tahun Republik Indonesia merdeka.
Masa-masa krisis moneter sangat berpengaruh pada menurunnya kemampuan negara pada penyelenggara pelayanan kesehatan, juga pada menurunnya jangkauan dan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan.
Slogan Departemen Kesehatan Republik Indonesia "Menuju Indonesia Sehat 2010" merupakan perubahan paradigma model kuratif menuju preventif dan promotif, model sentralisasi menuju desentralisasi. Namun kenyataan slogan ini begitu jauh untuk dijangkau oleh masyarakat kecil, dan khususnya orang terinfeksi HIV diIndonesia.

Fenomena yang terjadi, kesehatan menjadi komoditi, hal ini disebabkan oleh hasil kerja sistematis para perancang dan penguasa pasar bebas yang mampu mengintervensi pemerintah melalui hutang, perjanjian/kesepakatan dan politik internasional.
Melalui "Hak Kekayaan Intelektual Terkait perdagangan" WTO (Organisasi PerdaganganDunia) agar mempermudah penguasaan sumber daya, barang dan jasa publik, maka seluruh kebutuhan masyarakat antara lain mencakup; bahan kimia, obat-obatan menjadi hak pasar. Inplikasi pasar bebas terhadap hak-hak masyarakat atas kesehatan semakin diperparah setelah pemerintah meratifikasi perjanjian dengan WTO, maka Pemerintah harus melaksanakan prinsip-prinsip pengurangan dan penghapusan subsidi, karena subsidi merupakan bentuk proteksi dan dianggap menghambat persaingan, pemerintah juga harus melaksanakan privatisasi tidak hanya BUMN, namun sampai juga kepada institusi pelayanan seperti rumah sakit bahkan puskesmas dengan cover "MANDIRI" (privatisasi terselubung)
Pengurangandan penghapusan subsidi serta privatisasi terselubung berakibat mahalnya pelayanan kesehatan yang bebannya harus ditanggung oleh masyarakat. Yang paling merasakan akibatnya adalah masyarakat bawah terutama masyarakat miskin, perempuan  dan orang terinfeksi HIV.
Institusi pelayanan kesehatan dibebani dengan harus menjadi areal Pendapatan bagi daerah (PAD) dan dituntut untuk profesional, menjadikan layanan kesehatan lebih menjadi komoditi dari pada pemenuhan hak-hak masyarakat. Kini hak-hak kesehatan sedang menghadapi ancaman terhadap komoditisasi dan sejalan dengan pelucutan nilai-nilai kemanusiaan, ini merupakan tragedi kemanusiaan dari mandulnya Undang-undang yang kelihatannya saja "berpihak pada hak-hak masyarakat".

Mengkaji kenyataan yang ada maka tidak salah jika kita membenarkan pernyataan "OrangMiskin di Larang Sakit" atau "Yang Boleh Sakit Hanya Mereka Yang Berduit" .
Susahnya mengakses Jaminan kesehatan masyarakat (JAMKESMAS) merupakan perjuangantersendiri bagi masyarakat kecil nan miskin, kalaupun memiliki JAMKESMAS, pihak layanan berdalih obat tidak tersedia di apotek Rumah Sakit dan harus membeli diapotek luar yang ditunjuk oleh dokter dengan harga yang mahal, diperparah dengan buruknya pelayanan di kelas III bagi masyarakat miskin yang berbekal JAMKESMAS dimana sangat berbeda dengan pelayanan terhadap pasien di ruangankelas II, I dan  VIP.
Inikah mafia kesehatan?

Dengan kondisi yang ada, maka JOTHI sebagai organisasi masyarakat yang berjuang demi pemenuhan hak-hak orang terinfeksi HIV harus mengambil garis tegas dalam melakukan kerja-kerja advokasi serta melakukan fungsi kontrol terhadap produk undang-undang yang ada.
Advokasi dan Kontrol terhadap layanan kesehatan di setiap tingkatan menjadi ROH JOTHI dalam memperjuangkan hak kesehatan orang terinfeksi HIV yang selama ini dikebiri.
Melalui issu hak-hak masyarakat atas kesehatan harus menjadi dorongan bagi semua simpul-simpul pergerakan untuk membangun "gerakan sosial" (Social movement) menuju perubahan sistem kesehatan masyarakat yang lebih baik dan berpihak kepada masyarakat tanpa terkecuali.
Membangun kesadaran kritis masyarakat terhadap hak-haknya menjadi prioritas sehingga masyarakat  keluar dari prinsip"NRIMO"yang menjadikan masyarakat tidak berdaya dan hanya berpasrah.

Mari bersuara bahkan berteriak, sebab jika kita diam, kita membiarkan banyak kematian yang akan terjadi, dan jika kita mundur, kita adalah pengkhianat perjuangan kemanusiaan.

Selamat berjuang.......
Lawan semua sistem yang menggerogoti hak-hak kesehatan masyarakat terutama orang terinfeksi HIV.

Satu Suara,
Satu Jaringan,
Satu Tujuan,
Menuju Perubahan Nyata.


Jakarta, 17 Agustus 2010.

Aku kira aku kuat

Tepatnya tanggal 12 Juli 2009, aku kehilangan orang yang sangat berharga dalam hidupku, Pria yang memberikan keteladanan hidup yang menperlihatkan Gambaran Bapa disorga dalam kehidupan kesehariannya.
Orang yang dalam perjalanan hidup menerapkan sebuah prinsip kehidupan yang begitu mempengaruhi tatanan kehidupan masyrakat yang Tuhan percayakan kepadanya.
Prinsip “Jangan pernah menuntut hak, tetapi lakukan kewajiban dengan penuh ketulusan” Selama hampir 39 tahun aku hidup sebagai anaknya, tidak pernah beliau menuntut sesuatu dari masyarakatnya bahkan mengambil sesuatu dari warisan yang ditinggalkan oleh Kakek dan Nenekku yang melimpah, tetapi dengan keringatnya sendiri beliau ingin membesarkan ke 8 anaknya, hingga kerja kerasnya menghasilkan.

Satu lagi pembelajaran berharga yang kupelajari dari beliau adalah, membesarkan anak-anaknya dan menghidupi keluarganya dengan hasil kerjanya walau itu memotong rumput dan menyiram aspal, yang mungkin bagi banyak orang terutam para bangsawan di kotaku, itu hal yang memalukan tapi bagi beliau ini adalah kebahagiaan.

Keteladanan yang diberikan membuat banyak orang kehilangan figur kepemimpinan, baik dilingkungan masyarakat adat, gereja maupun pemerintahan setalah waktu Tuhan tiba untuk beliau menghadap Sang Penciptanya. selama seminggu beliau disemayamkan dirumah yang beliau bangun dengan kekuatan doa menunjukan kepadaku, betapa beliau ada dihati banyak orang.
Kebesaran hatinya yang ditunjukan kepada rahan fam nya menjadi samudra luas nan tenang bagi setiap orang, kasih sayang yang tidak pernah membedakan ditunjukan semasa hidupnya hingga menutup mata dirasakan oleh semua anak-anaknya.


Aku kira aku kuat dalam menghadapi kenyataan ini, ternyata dalam ketegaran yang kutunjukan adalah sebuah kerapuhan yang tidak terlihat. Aku begitu terlihat kuat oleh semua orang dan menjadi aspirasi bagi saudara-saudaraku, namun aku begitu kehilangan.

Aku bertanya, apakah aku sanggup dan bisa seperti ayahku, yang hatinya begitu luas dan lembut serta tangannya begitu ringan untuk menolong, kakinya begitu cepat untuk melangkah menemani bahkan selalau ada waktu bagi mereka yang membutuhkannya.

Banyak harapan rahan fam, tawun ren disampaikan kepadaku, sebagai anak tertua yang menggantikan posisi beliau, sebagai kepala marga. Terasa berat memang, namun kupercaya bahwa kekuatanku adalah keteladanan yang diberikan beliau semasa hidupnya juga amanah-amanah yang ditinggalkan dan terutama Kekuatan Kepercayaan beliau kepada YESUS menginspirasiku untuk terus hadir sebagai orang yang memimpin masyarakat yang dipercayakan Tuhan.
Doaku…Tuhan Yesus, kuatkan aku dalam mengembang amanatMu ini.


Kukenang kembali perjalan hidup ayahku yang telah berpulang ke pangkuan Bapa di Sorga 5 tahun lalu. Perjalanan kehidupanyang terus berlalu tanpa dapat dicegah oleh siapapun, namun lembaran-lembaran kehidupan itu harus ditulis dengan cerita indah bersama TUHAN sehingga mendatangkan sukacita dan kegembiraan bagi setiap anak manusia yang dipercayakan TUHAN untuk ada dibawah kepemimpinan ini.
Perjalanan tahun 2014 akan berakhir dengan semua kenangan, dengan semua kemelut kehidupan yang menghadirkan warna indah, dan kampungku masih terus terpuruk karena kepentingan orang perorang yang berusaha untuk mengambil keuntungan disetiap kesempatan tanpa harus memikirkan bagaimana membangun manusia kampung yang takut akan TUHAN dan hidup dalam tatanan yang telah digariskan secara turun temurun.
Akupun sebagai anak negeri merasa risih melihat semuanya ini, dan membayangkan bagaimana kebesaran hati ayahku dalam merespon setiap pertikaian yang terjadi, bahkan dengan kebesaran hatinya, beliau tidak menginginkan adanya perpecahan diantara kehidupan persaudaraan.
Kini aku ada dipusaran air yang sama, disisi lain aku ditekan oleh kehidupan lingkaran inti keluargaku untuk mengambil sikap dengan cara merebutkan kembali hakku, tetapi disisi lain aku sendiri bercermin dari kehidupan ayahku namun dititik lainnya aku diperhadapkan dengan kepentingan kampungku dan masyarakatnya. Dalam situasi saat ini dimana semua kakakku mulai bereaksi dengan mencari dukungan untuk memimpin kampung, malah Pemangku kepentingan mendesak agar marga Lobwaer harus mengambil alih kepemimpinan yang sudah berada ditangan adik dan kakakku selama 3 generasi.

Tuhan, ditahun 2015 ini, yang aku harapkan adalah jadikan aku menjadi berkat bagi banyak orang untuk kemuliaan TUHAN. Berikan aku hati yang bijaksana sehingga setiap keputusan yang aku buat, terlahir dari hikmat TUHAN yang dapat membangun bukan untuk menghancurkan.
Aku tak sanggup melangkah sendiri, aku butuh ENGKAU ya TUHAN.

PERATURAN BERSAMA 2 MENTERI

Sikap GEREJA dalam Menghadapi Fenomena Pelarangan Beribadah
Refleksi terhadap Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.
Oleh:
Sefnat JD. Lobwaer


Gereja dalam kehidupan keseharian merupakan garam dan terang dunia, dimana Gereja dituntut untuk menghasilkan buah roh dalam situasi yang sulit. Peristiwa penghancuran Gedung Gereja, Pelarangan Beribadah dan bahkan yang lagi hangat saat ini adalah penganiyaan terhadap Pendeta dan Majelis  HKBP yang disiarkan secara luas oleh media masa, baik cetak maupun elektronik, menuntut Gereja (Secara Badan maupun Pribadi) untuk bagaimana bersikap dan bertindak.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 28E Angka 1 dan Angka 2 menjamin setiap warga negara mengekspresikan keyakinannya (Kepercayaan) sesuai degan hati nuraninya. Kebebasan ini dikuatkan dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia.
Hak beragama merupakan Hak Asasi Setiap individu yang tidak dapat diinterfensi oleh siapapun termasuk negara, bahkan negara harus menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepeercayaannya.

Saat rasa kenyamanan mengekspresikan keyakinan dan kepercayaan mulai terusik, maka warga negara harus berlindung kepada pemerintah sebagai penjamin kenyaman warganya, namun jika hal ini tidak didapati maka ini merupakan perampasan hak dasar dari individu maupun kelompok tersebut.

Menyikapi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat yang seharusnya menjadi payung hukum untuk melindungi warga negara dipergunakan oleh kelompok tertentu  untuk mengintimidasi kelompok tertentu.

Pasal yang menjadi senjata kelompok mayoritas adalah Pasal 13 Angka 1, Angka 2 dan Angka 3, dimana tidak menunjukan keberpihakan kepada kelompok minoritas diperkuat dengan Pasal 14 Angka 1, Angka 2 dan Angka 3.
Pasal 14 Angka 2 huruf a, b dan c sangat memungkinkan untuk pelarangan pembangunan rumah ibadah bagi kelompok minoritas. Sekalipun ada 90 KTP Jemaat namun harus disahkan oleh pemerintah setempat ditambah 60 KTP persetujuan dari warga yang lagi-lagi disahkan oleh Lurah atau Kepala Desa belum lagi dipersulit untuk mendapatkan rekomendasi dari Kantor Agama dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Pasal ini dipakai menjadi penghambat pembangunan rumah ibadah.
Lalu bagaimana dengan ibadah-ibadah yang dilakukan di Mall, restoran dan ruang pertemuan hotel. Merupakan celah untuk dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu dalam menekan kenyamanan beribadah bagi sebagian warga negara yang menggunakan fasilitas tersebut sebagai sarana ibadah.
Pasal 18, 19 dan 20, dari Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri merupakan kerumitan tersendiri bagi masyarakat yang mau beribadah namun terkendala tempat ibadah.

Melihat fonomena saat ini, maka kehidupan kebhinekaan kita lagi terancam, keragaman yang menjadi kebanggaan kita sebagai bangsa dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika tercemar oleh ulah sekelompok warga negara dengan dalih agama karena mengacu pada Peraturan Menteri Agama dan Mentri Dalam Negeri nomor 9 dan nomor 8 tahun 2006.
Sikap ini disebut sebagai diskriminatif, Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi RAS dan ETNIS Pasal 4 huruf a, huruf b angka 1, 2, 3 dan 4.
Pasal 1 angka 3 menjelaskan defenisi etnis salah satunya adalah penggolongan manusia berdasarkan kepercayaan.
Dalam Pasal 9, menjelaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan perlakuan yang sama untuk mendapatkan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tanpa pembedaan ras dan etnis.
Nafas dari pasal 9 ini harus dijunjung tinggi oleh setiap warga negara bahkan negara (Pemerintah).

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 4, dengan jelas menjelaskan bahwa setiap orang memiliki Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Ini berarti hal menjalankan ibadan (sesuai agama yang dianut) merupakan hak individu yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Lebih jauh lagi dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 ini tentang Hak Asasi Manusia pada pasal 22 Angka 1 dan Angka 2 menegaskan bahwa (1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamnya dan kepercayaanya itu.
(2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu.
Menilik pasal-pasal tersebut maka setiap orang sebagai warga negara Republik Indonesia harus memiliki rasa aman dalam mejalankan kemerdekaan dalam beribadah menurut kepercayaannya. Pasal 30 Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

Kehidupan beragama setiap warga negara dipayungi oleh Undang-undang dan terlebih lagi dilindungi oleh pemerintah, namun realita yang dihadapi oleh Gereja, dimana pengrusakan bangunan gereja, pelarangan membangun tempat ibdaha dan bahkan intimidasi yang dialami oleh gereja sebagai lembaga maupun individu merusak tatanan kehidupan bermasyarakat sebagai pencerminan kebhineka tunggal ikaan. Lalu menjadi pertanyaan mendalam bagi Gereja, APA YANG HARUS GEREJA LAKUKAN ???

Doa Tuhan Yesus dalam Injil Yohanes 17 :  15, Aku tidak meminta, supaya Engkau mengambil mereka dari dunia. Artinya bahwa Tuhan Yesus mengijinkan kita berada di dunia ini dan menyadari bahwa dunia membenci gereja (Yohanes 17 : 14)
Kita ditempatkan di dunia sebagai agen kasihnya ALLAH, dimana melalui Gereja sungai kasih ALLAH dapat mengaliri dunia yang gersang. Doa Tuhan Yesus dikayu salib seharusnya menjadi doa gereja dalam menghadapi ketidak adilan sistem ini, Lukas 23 : 34, Yesus berkata: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”
Mengumpat dan mengutuk bukan bagian dari sikap dan mentalitas Gereja, sekalipun gereja merasa sakit dari ketidak berpihakan dan ketidak adilan yang diterima walaupun telah ada payung hukum dalam menjamin hak setiap warga negara. Sebagai agen kasih ALLAH maka gereja mengalirkan kasih itu memenuhi bumi seperti air menutupi lautan.
Kekuatan kasih adalah mengampuni dan memaafkan. Saat gereja mengambil peran sebagai agen kasih maka ALLAH akan melakukan bagian ALLAH. Kitab Ulangan 32 :35 – 36 Pembalasan adalah hak TUHAN, jadi gereja jangan mengambil haknya TUHAN. Lihat juga Roma 12 : 19 dan Ibrani 10 : 30.

Manifestasi yang harus dimanifeskan oleh Gereja dalam situasi seperti ini adalah menabur kasih sebanyak-banyaknya (Galatia 6 : 7 – 8), membuktikan diri sebgai garam dan terang dunia (Matius 5 : 13 – 16) dan berdoa bagi kesejahteraan negeri ini (Yeremia 29 : 7).
Jangan pernah Gereja jemu-jemu dalam berbuat baik, sekalipun kebaikan gereja dibalas dengan ketidak adilan, namun disisi lain Gereja harus mengambil peran menyuarakan suara kenabian dalam mengingatkan dunia ini (juga Pemerintah) tetapi tetap pada ranah KASIH ALLAH bukan karena merasa hak-haknya sebagai warga negara dilanggar atau bahkan dirampas mengatas namakan agama dan hukum.
Posisi Kenabian ini adalah posisi horisontal dan vertikal, sehingga terjadi keseimbangan, Yesaya 62 : 6 – 7. Gereje tidak bisa mengambil posisi hanya horisontal ataupun vertikal saja, jika hal ini terjadi maka gereja akan terlibat dalam radikalisme yang ekstrim sehingga membuat gereja kehilangan kekuatan sebagai agen kasih ALLAH.

Pancarkan kekuatan kasih yang mengubah dunia, kondisi-kondisi yang terjadi merupakan peluang bagi Gereja untuk menunjukan Kasih yang begitu besar dari ALLAH Bapa, ALLAH Anak dan ALLAH Roh Kudus bagi dunia ini.
Mengampuni dan memaafkan bukan pencerminan dari ketakutan karena minoritas, tetapi merupakan kekuatan kasih, mengkomunikasi pesan ILLAH dengan santun sebagai bagian dari suara kenabian bukan pencerminan sakit hati kita untuk membalas dendam tetapi bagian dari kasih kita terhadap negeri ini, hanya saja terkadang Gereja sulit untuk menerapkan dan membedakan mana suara kenabian dan mana yang lahir dari sakit hati Gereja, dan berdiam diri sebagai bagian dari mengampuni karena ketakutan. Hal ini yang harus diketahui dan disadari betul oleh Gereja.

Mari berdoa untuk negeri ini dan menabur kasih bagi bangsa ini.
Tuhan Yesus membutuhkan kita untuk menyatakan kasihnya bagi Indonesia.

12 Juli Bagiku; 2009 Lalu dan Saat ini

Pada tahun 2009, tepatnya Hari minggu jam 13.30 tanggal 12 Juli, aku mendapatkan kabar via telpon selulerku bahwa orang yang kukasihi dan kubanggakan dalam hidupku telah di panggil pulang oleh Bapa di Sorga.
Berita yang mengundang deraian air mata kesedihan akan kehilangan sosok yang menjadi teladanku belajar tentang Bapa di Sorga.
Tidak banyak pesan yang ditinggalkan, tetapi beberapa kerinduan hati beliau yang tak kesampaian, betapa tidak sedih, kerinduan beliau untuk merayakan Natal bersama anak-anak dan cucu-cucunya pada bulan Desember 2009 di Tual, hanya tinggal sebuah kerinduan yang terpatri indah dalam hati anak-anak.
Dalam kerinduannya untuk Natal bersama beliau harus merenovasi rumah yang beliau bangun dengan doa dan kerja keras, namun rumah itu bukan untuk dipakai merayakan Natal bersama tetapi menjadi saksi bisu dimana beliau harus terbaring kaku selama seminggu ditemani para handai taulan yang datang silih berganti untuk memberikan penghormatan terakhir kepada beliau.
Kerinduan yang lain dan sangat beliau harapkan adalah menikahkan anaknya yang bungsu, sebuah kerinduan yang lahir dari ketulusan hati seorang ayah sebagai bukti tanggung jawab.
Sebuah kerinduan yang kalau dilihat sepintas sebagai sebuah kewajaran dari tindakan tanggung jawab orang tua kepada anak, tetapi bagi kami anak-anak tidak sesimpel itu, kerinduan ini merupakan kebahagian tersendiri bagi beliau, semasa hidupnya dalam tatanan adat Kei, terutama bagi kehidupan kekerabatan masyarakat Ad Ohoivit Mel Ohoiru, beliau selalu ada untuk masyarakatnya yang menghadapi masalah perkawinan bahkan tidak sedikit meringankan tangan untuk membayar harta kawin, walau dengan resiko menguras warisan tanpa memikirkan bagaimana nanti dengan anak cucunya yang di dalamnya ada anak-anak dan cucu-cucu kedua saudara perempuannya.
Maka tidak heran jika satu kerinduan terbesarnya adalah menikahkan anaknya yang bungsu karena ke 7 anaknya yang lain telah menikah, namun kehendak Bapa di Sorga lain, manusia boleh memiliki segudang kerinduan dan harapan, tetapi yang menentukan adalah Bapa di Sorga.

Peristiwa tahun 2009 lalu, dalam realita saat ini.
Aku berada dalam perjalanan pulang dari menikahkan adikku yang bungsu. Aku disalah mengerti oleh beberapa orang, kenapa harus memilih tanggal 12 Juli, kemudian tepat jam 13.30 aku menginjakan kaki di bandara Mopah Merauke, bukankah ini hari dimana berita duka itu didengar ditahun 2009 lalu?
Ya.........benar.
Tetapi hari ini juga merupakan realisasi dari kerinduan terbesar beliau, hari di mana beliau menantikannya.

Bapak..........
Aku tahu, hari ini Bapak lagi tersenyum dari Sorga di tengah kesukacitaan sorgawi.
Aku tahu..........
Sebagaimana air mataku menetes dan kata-kataku terbata karena bisa melaksanakan kerinduan Bapak,
Bapak juga demikian.
Hari ini........
Walau di tahun 2009 yang lalu airmataku tumpah dan juga hari ini...........
Namun jauh dari pengertian seorang anak akan didikanmu
Kini, kutahu semuanya
Kini kusadar semuanya, betapa didikanmu berharga dan bermakna, walau kudapati semuanya tatkala secara jasmani Bapak tidak menemaniku seperti waktu-waktu lalu.
Kubelajar dari kesabaranmu
Kubelajar dari kecintaanmu
Kubelajar dari pengorbananmu
dan kubelajar dari ketegaranmu.
Inilah makna 12 Juli bagiku.

Kata hati seorang anak.
Sefnat JD Lobwaer

Berjalan bersama TUHAN - Part 7

Menjadi Manusia BARU Efesua 4 : 17 - 32 Oleh : Ps. Sefnat JD. Lobwaer. Kehidupan yang diberikan oleh TUHAN YESUS sebagai anugerah bagi manus...