Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia sudah berumur dua dasawarsa,
namun sejauh ini masih banyak pertanyaan yang bermunculan di
tengah-tengah masyarakat, mengapa upaya penanggulangan HIV dan AIDS
belum dapat menghambat lajunya epidemic, bahkan HIV dan AIDS di Papua
sudah masuk taraf mengkuatirkan. Sesuai dengan survey terpadu tahun
2006, HIV di Populasi Umum di Papua 2,4 %, merujuk pada defenisi Epidemi
menurut WHO, maka Papua masuk pada level Generalisata, sedangkan
Indonesia pada umumnya berada pada level terkonsentrasi.
Jawaban dari pertanyaan sederhana di atas adalah lingkungan yang
belum kondusif untuk penyelenggara upaya penanggulangan HIV dan AIDS
terutama di daerah-daerah. Ada banyak hal yang mempengaruhi terhambatnya
program penanggulangan HIV dan AIDS di daerah, salah satu adalah belum
ada kebijakan politik yang berpihak pada program penanggulangan dengan
ketersediaan dana program penanggulangan HIV dan AIDS yang proporsional,
dilain pihak masih banyak juga unsur-unsur masyarakat termasuk agama
yang mengkaitkan masalah HIV sebagai masalah moral yang tidak terampuni.
HIV dan AIDS di Tanah Papua sudah merambat samapi ke
pedalaman-pedalaman, namun penanggulangan masih jauh dari harapan,
banyak program penanggulangan terkonsentrasi di pusat-pusat kota, hal
ini disebabkan karena geografis Papua yang sulit.
Gereja di Papua memiliki peran penting dalam program Penanggulangan
HIV dan AIDS, hal ini di tinjau dari sisi pelayanan gereja yang
berada/menjangkau sampai ke pedalaman Papua. Namun disadari bahwa ada
banyak pemimpin gereja yang bekerja hanya seluas tembok gereja dan tidak
mau menyentuh persoalan diluar gereja, Gereja bergerak sesuai program
yang sudah ditetapkan.
Namun jika gereja tidak terlibat maka kita akan kehialangan satu
generasi, karena HIV dan AIDS merupakan ancaman bagi keberlangsungan
kehidupan. Memang secara medis orang dengan HIV dan AIDS bisa
menghasilkan keturunan tanpa HIV, namun secara kenyataan karena stigma
dan diskriminasi masyarakat masih tinggi sehingga ada banyak orang yang
takut untuk memeriksakan diri akhirnya mereka tidak mengetahui status
HIVnya, walaupun kehidupannya berisiko untuk tertular HIV.
Padahal tiap generasi atau keturunan, ALLAH memiliki rencana
tersendiri (Pengkhotbah 1:4). Jika kita kehilangan satu generasi maka
kita kehilangan rencana ALLAH. Zakharia 2:4, Allah ingin bekerja sama
dengan orang muda untuk kebaikan satu kota, merujuk pada data, maka
kasus HIV terbanyak terjadi pada usia muda.
Apakah ini berarti orang muda yang terinfeksi HIV tidak bisa dipakai
oleh TUHAN? Jawabannya sangat bisa, disinilah letaknya peran gereja.
Kenapa? Salah satu hal yang muncul dalam benak dan akan mempengaruhi
pola hidup orang terinfeksi HIV pada saat mendengar hasil pemeriksaan
HIVnya dan di nyatakan positif HIV adalah Rasa berdosa dan tidak layak
dihadapan TUHAN. Peran gereja adalah membawa mereka kembali untuk
mengerti tentang pengorbanan TUHAN YESUS dalam penebusanNYA tanpa
menghakimi mereka sebagai pendosa.
Gereja memiliki potensi sangat besar dalam penanggulangan HIV dan
AIDS jika Gereja ingin terlibat secara penuh dan melihat persoalan HIV
dan AIDS sebagai bagian dari panggilan pelayanan Gereja itu sendiri.
Namun disadari juga bahwa ada banyak pemimpin dan jemaat yang belum
paham benar akan masalah HIV dan AIDS, bagaimana memperlakukan Orang
yang terinveksi dan apa dampak HIV dan AIDS bagi gereja itu sendiri.
Oleh sebab itu, selain informasi dasar HIV dan AIDS yang harus
diketahui oleh Gereja (Pemimpin dan Jemaat) maka gereja juga harus
mengetahui kenyataan hidup dari orang yang terinfeksi HIV. Gereja
terkadang melihat seseorang terinfeksi karena perbuatan perzinahan atau
seks diluar nikah, namun tidak melihat dari sisi yang lain bahwa ada
banyak ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV dari kesetiaan mereka
terhadap suami, juga anak yang terlahir dari ibu HIV positif, yang tidak
bisa menolak. Kita memfonis bahwa mereka adalah orang terkutuk dan
pendosa yang sudah sewajarnya mendapat ganjaran setimpal yaitu
terinfeksi HIV.
Padahal, kalau mau jujur, mereka tidak ingin terinfeksi HIV, tetapi mereka juga tidak bisa menyalahkan saat mereka terinfeksi.
Gereja dipanggila untuk menjadi jawaban bagi masalah ini, karena
dalam cara pencegahan ada 2 cara yang seharusnya menjadi areal kerja
Gereja yakni, pencegahan melalui puasa seks bagi yang belum menikah dan
setia pada pasangan bagi yang sudah menikah. Namun kenyataannya gereja
tabu dalam membicarakan seks secara Alkitabiah kepada orang muda dan
terus menyerang para aktivis HIV yang berbicara dari sisi kondom.
Matius 5:13-16, berbicara tentang garam dan terang dunia. Seseorang
yang telah terpapar HIV, yang terpikir olehnya adalah kematian, hidup
tidak berarti lagi, dendam, marah dan benci bahkan keinginan bunuh diri
menjadi satu dalam dirinya, hatinya mulai tawar, pesimis dalam menjalani
kehidupan. Secara rohani, mereka perlu garam kehidupan sehingga
kehidupan mereka terasa berarti. Mereka seperi orang yang berjalan dalam
kegelapan dan bahkan tidak tahu arah, mereka terpuruk dalam gelapnya
dampak HIV dan AIDS karena stigma dan diskriminasi masyarakat dan
gereja, mereka perlu terang yang bisa menerangi jalan mereka. Pendekatan
yang harus diberikan adalah pendekatan pertemanan tanpa keinginan
mengetahui darimana mereka terinfeksi, realita yang ada adalah
pendekatan kudus dan tidak kudus serta mencap sebagai orang pendosa
sehingga orang yang terinfeksi HIV bak pepatah mengatakan sudah jatuh
tertimpa tangga pula. Gereja yang bagi mereka tempat keteduhan
komprehensip kehidupan mereka kini menjadi tempat menakutkan untuk
didatangi.
Gereja harus melakukan sesuatu terkait penanggulangan HIV dan AIDS,
jangan diam. Dalam Amsal 14:11-12, kita diminta untuk berdiri
menghadanag mereka yang berjalan menuju tempat pemancungan, artinya;
kita berdiri mencegah sehingga tidak ada lagi yang terinfeksi dan
memberikana dukungan bagi mereka yang sudah terinfeksi dengan
nilai-nilai kasih bukan penghakiman. Gereja harus memecahkan kebisuan
terkait HIV karena gereja merupakan suara ALLAH bagi manusia. Yehezkiel
33:1-20, kitalah penjaga jiwa, namun terkadang kita menterjemahkan ini
sebatas jemaat, padahal ada banyak jiwa yang menjadi tanggung jawab kita
untuk dijaga bukan hanya mereka yang segeraja, tetapi semua manusia.
Gereja harus berani berbicara tentang HIV dan dampaknya, terutama
gereja harus mengambil sikap perang melawan stigma dan diskriminasi
terhadap orang yang terinveksi. Hal ini didasari pada nilai Gereja yaitu
KASIH. Bagaimana kita mengatakan bahwa kita mengasihi ALLAH tetapi
membenci ciptaanNYA. Alkitab berkata, kita pembohong!!
Gereja juga memiliki potensi untuk mengakhiri penelantaran terhadap orang dengan HIV yang selama ini terjadi.
Roma 15:1-2, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak membantu orang
terinfeksi HIV, namun sayang banyak uang gereja dihabiskan untuk
bagaimana membangun gedung secara fisik, dan tidak menganggap pelayanan
terhadap orang terinfeksi HIV sebagai bagian dari sebuah pelayanan
Pastoral. Gereja hanya menonton orang dari diluar yang datang menolong,
padahal orang terinfeksi bagian dari gereja.
Gereja merupakan saluran kasih bagi mereka yang sudah terinfeksi.
Memang mereka tidak minta untuk diistimewakan, tetapi harapan mereka,
mereka diterima sebagaimana gereja menerima orang yang tidak terinfeksi
HIV, sebab disisi lain orang terinfeksi adalah gambar dan rupa ALLAH,
bahkan Yesus telah mati bagi semua orang termasuk mereka yang terinfeksi
HIV (Roma 5:6-8), dan juga telah menggantikan kutuk semua kita (Galatia
3:13-14)
Dalam Matius 25:36-46, pada ayat 40 dengan tegas dikatakan
“……..sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang
dari saudaraKU yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”
Gereja harus menyadari bahwa apa yang Gereja lakukan kepada orang
terinfeksi HIV yang dianggap oleh masyarakat adalah kaum hina, Gereja
bukan sekedar melakukan untuk mereka tetapi yang terlebih adalah Gereja
lagi melayani TUHAN YESUS. Pemahaman ini akan membuat gereja
terpanggilan secara total terlibat dalam program penanggulangan HIV dan
AIDS, dengan cara gereja yang penuh kasih, sehingga orang yang
terinfeksi HIV sekalipun tubuhnya habis lenyap dimakan virus, tapi
jiwanya diselamatkan.
Menyadari bahwa dampak HIV adalah BIOPSIKOSOSIAL SPIRITUAL, maka
gereja seyogyanya berperan aktif, sebagai implementasi dari pola
pelayanan Kristus yang bersentuhan langsung dengan semua aspek kehidupan
manusia dan dari semua latar belakang tanpa memandang muka.
Hal yang terpenting dari pelayanan Gereja adalah keterbukaan Gereja
terhadap isu social, terlibat sesuai kapasitas gereja dan jangan pernah
menghakimi orang terinfeksi. Kisah yang tertulis dalam Kitab Yohanes
8:1-10, merupakan pembelajaran penting bagi Gereja untuk tidak
menghakimi dan mencari-cari kesalahan dari sebuah pembenaran diri,
tetapi memberikan dukungan, sehingga gereja tidak terlihat lebih rohani
dari TUHAN YESUS. Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskannya dan
sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkannya, tetapi denga setia
ia akan menyatakan hukum. Yesaya 42:3.
Mari kita berbuat baik selagi masih ada kesempatan (Galatia 6:9-10) karena akan tiba waktunya semua pekerjaan kita diuji.
Tuhan Yesus memberkati pelayanan kita.
Pdt. Sefnat JD Lobwaer
Gembala Jemaat GSJA "Karismatik" Merauke-Papua
Pengelola Program KPA Kab. Merauke.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Berjalan bersama TUHAN - Part 7
Menjadi Manusia BARU Efesua 4 : 17 - 32 Oleh : Ps. Sefnat JD. Lobwaer. Kehidupan yang diberikan oleh TUHAN YESUS sebagai anugerah bagi manus...
-
Sungai Lobwaer di masa lalu berada di Wilayah Kerajaan LOBWAER namun kini berada di wilayah pemerintahan Desa Ad Ohoivit Mel ohoiru, Keca...
-
Ø Dari DOFIT II LOBWAER sampai kepada Generasi yang dipindahkan ke Renuw; 1 Generasi. Ø Dari DOFIT II LOBWAER sampai kepada G...
-
Dua belas tahun berkecimpung dengan dunia HIV, mendampingi Orang yang terinfeksi dalam Bimbingan Rohani dan Konseling Paliatif, menyiapka...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar