Selasa, 30 Desember 2014

Kasih yang dimanifestasikan dalam realita terkait HIV

Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia sudah berumur dua dasawarsa, namun sejauh ini masih banyak pertanyaan yang bermunculan di tengah-tengah masyarakat, mengapa upaya penanggulangan HIV dan AIDS belum dapat menghambat lajunya epidemic, bahkan HIV dan AIDS di Papua sudah masuk taraf mengkuatirkan. Sesuai dengan survey terpadu tahun 2006, HIV di Populasi Umum di Papua 2,4 %, merujuk pada defenisi Epidemi menurut WHO, maka Papua masuk pada level Generalisata, sedangkan Indonesia pada umumnya berada pada level terkonsentrasi.
Jawaban dari pertanyaan sederhana di atas adalah lingkungan yang belum kondusif untuk penyelenggara upaya penanggulangan HIV dan AIDS terutama di daerah-daerah. Ada banyak hal yang mempengaruhi terhambatnya program penanggulangan HIV dan AIDS di daerah, salah satu adalah belum ada kebijakan politik yang berpihak pada program penanggulangan dengan ketersediaan dana program penanggulangan HIV dan AIDS yang proporsional, dilain pihak masih banyak juga unsur-unsur masyarakat termasuk agama yang mengkaitkan masalah HIV sebagai masalah moral yang tidak terampuni.

HIV dan AIDS di Tanah Papua sudah merambat samapi ke pedalaman-pedalaman, namun penanggulangan masih jauh dari harapan, banyak program penanggulangan terkonsentrasi di pusat-pusat kota, hal ini disebabkan karena geografis Papua yang sulit.

Gereja di Papua memiliki peran penting dalam program Penanggulangan HIV dan AIDS, hal ini di tinjau dari sisi pelayanan gereja yang berada/menjangkau sampai ke pedalaman Papua. Namun disadari bahwa ada banyak pemimpin gereja yang bekerja hanya seluas tembok gereja dan tidak mau menyentuh persoalan diluar gereja, Gereja bergerak sesuai program yang sudah ditetapkan.
Namun jika gereja tidak terlibat maka kita akan kehialangan satu generasi, karena HIV dan AIDS merupakan ancaman bagi keberlangsungan kehidupan. Memang secara medis orang dengan HIV dan AIDS bisa menghasilkan keturunan tanpa HIV, namun secara kenyataan karena stigma dan diskriminasi masyarakat masih tinggi sehingga ada banyak orang yang takut untuk memeriksakan diri akhirnya mereka tidak mengetahui status HIVnya, walaupun kehidupannya berisiko untuk tertular HIV.
Padahal tiap generasi atau keturunan, ALLAH memiliki rencana tersendiri (Pengkhotbah 1:4). Jika kita kehilangan satu generasi maka kita kehilangan rencana ALLAH. Zakharia 2:4, Allah ingin bekerja sama dengan orang muda untuk kebaikan satu kota, merujuk pada data, maka kasus HIV terbanyak terjadi pada usia muda.
Apakah ini berarti orang muda yang terinfeksi HIV tidak bisa dipakai oleh TUHAN? Jawabannya sangat bisa, disinilah letaknya peran gereja. Kenapa? Salah satu hal yang muncul dalam benak dan akan mempengaruhi pola hidup orang terinfeksi HIV pada saat mendengar hasil pemeriksaan HIVnya dan di nyatakan positif HIV adalah Rasa berdosa dan tidak layak dihadapan TUHAN. Peran gereja adalah membawa mereka kembali untuk mengerti tentang pengorbanan TUHAN YESUS dalam penebusanNYA tanpa menghakimi mereka sebagai pendosa.

Gereja memiliki potensi sangat besar dalam penanggulangan HIV dan AIDS jika Gereja ingin terlibat secara penuh dan melihat persoalan HIV dan AIDS sebagai bagian dari panggilan pelayanan Gereja itu sendiri. Namun disadari juga bahwa ada banyak pemimpin dan jemaat yang belum paham benar akan masalah HIV dan AIDS, bagaimana memperlakukan Orang yang terinveksi dan apa dampak HIV dan AIDS bagi gereja itu sendiri.
Oleh sebab itu, selain informasi dasar HIV dan AIDS yang harus diketahui oleh Gereja (Pemimpin dan Jemaat) maka gereja juga harus mengetahui kenyataan hidup dari orang yang terinfeksi HIV. Gereja terkadang melihat seseorang terinfeksi karena perbuatan perzinahan atau seks diluar nikah, namun tidak melihat dari sisi yang lain bahwa ada banyak ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV dari kesetiaan mereka terhadap suami, juga anak yang terlahir dari ibu HIV positif, yang tidak bisa menolak. Kita memfonis bahwa mereka adalah orang terkutuk dan pendosa yang sudah sewajarnya mendapat ganjaran setimpal yaitu terinfeksi HIV.
Padahal, kalau mau jujur, mereka tidak ingin terinfeksi HIV, tetapi mereka juga tidak bisa menyalahkan saat mereka terinfeksi.

Gereja dipanggila untuk menjadi jawaban bagi masalah ini, karena dalam cara pencegahan ada 2 cara yang seharusnya menjadi areal kerja Gereja yakni, pencegahan melalui puasa seks bagi yang belum menikah dan setia pada pasangan bagi yang sudah menikah. Namun kenyataannya gereja tabu dalam membicarakan seks secara Alkitabiah kepada orang muda dan terus menyerang para aktivis HIV yang berbicara dari sisi kondom.

Matius 5:13-16, berbicara tentang garam dan terang dunia. Seseorang yang telah terpapar HIV, yang terpikir olehnya adalah kematian, hidup tidak berarti lagi, dendam, marah dan benci bahkan keinginan bunuh diri menjadi satu dalam dirinya, hatinya mulai tawar, pesimis dalam menjalani kehidupan. Secara rohani, mereka perlu garam kehidupan sehingga kehidupan mereka terasa berarti. Mereka seperi orang yang berjalan dalam kegelapan dan bahkan tidak tahu arah, mereka terpuruk dalam gelapnya dampak HIV dan AIDS karena stigma dan diskriminasi masyarakat dan gereja, mereka perlu terang yang bisa menerangi jalan mereka. Pendekatan yang harus diberikan adalah pendekatan pertemanan tanpa keinginan mengetahui darimana mereka terinfeksi, realita yang ada adalah pendekatan kudus dan tidak kudus serta mencap sebagai orang pendosa sehingga orang yang terinfeksi HIV bak pepatah mengatakan sudah jatuh tertimpa tangga pula. Gereja yang bagi mereka tempat keteduhan komprehensip kehidupan mereka kini menjadi tempat menakutkan untuk didatangi.

Gereja harus melakukan sesuatu terkait penanggulangan HIV dan AIDS, jangan diam. Dalam Amsal 14:11-12, kita diminta untuk berdiri menghadanag mereka yang berjalan menuju tempat pemancungan, artinya; kita berdiri mencegah sehingga tidak ada lagi yang terinfeksi dan memberikana dukungan bagi mereka yang sudah terinfeksi dengan nilai-nilai kasih bukan penghakiman. Gereja harus memecahkan kebisuan terkait HIV karena gereja merupakan suara ALLAH bagi manusia. Yehezkiel 33:1-20, kitalah penjaga jiwa, namun terkadang kita menterjemahkan ini sebatas jemaat, padahal ada banyak jiwa yang menjadi tanggung jawab kita untuk dijaga bukan hanya mereka yang segeraja, tetapi semua manusia.

Gereja harus berani berbicara tentang HIV dan dampaknya, terutama gereja harus mengambil sikap perang melawan stigma dan diskriminasi terhadap orang yang terinveksi. Hal ini didasari pada nilai Gereja yaitu KASIH. Bagaimana kita mengatakan bahwa kita mengasihi ALLAH tetapi membenci ciptaanNYA. Alkitab berkata, kita pembohong!!
Gereja juga memiliki potensi untuk mengakhiri penelantaran terhadap orang dengan HIV yang selama ini terjadi.
Roma 15:1-2, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak membantu orang terinfeksi HIV, namun sayang banyak uang gereja dihabiskan untuk bagaimana membangun gedung secara fisik, dan tidak menganggap pelayanan terhadap orang terinfeksi HIV sebagai bagian dari sebuah pelayanan Pastoral. Gereja hanya menonton orang dari diluar yang datang menolong, padahal orang terinfeksi bagian dari gereja.
Gereja merupakan saluran kasih bagi mereka yang sudah terinfeksi. Memang mereka tidak minta untuk diistimewakan, tetapi harapan mereka, mereka diterima sebagaimana gereja menerima orang yang tidak terinfeksi HIV, sebab disisi lain orang terinfeksi adalah gambar dan rupa ALLAH, bahkan Yesus telah mati bagi semua orang termasuk mereka yang terinfeksi HIV (Roma 5:6-8), dan juga telah menggantikan kutuk semua kita (Galatia 3:13-14)

Dalam Matius 25:36-46, pada ayat 40 dengan tegas dikatakan “……..sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKU yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”
Gereja harus menyadari bahwa apa yang Gereja lakukan kepada orang terinfeksi HIV yang dianggap oleh masyarakat adalah kaum hina, Gereja bukan sekedar melakukan untuk mereka tetapi yang terlebih adalah Gereja lagi melayani TUHAN YESUS. Pemahaman ini akan membuat gereja terpanggilan secara total terlibat dalam program penanggulangan HIV dan AIDS, dengan cara gereja yang penuh kasih, sehingga orang yang terinfeksi HIV sekalipun tubuhnya habis lenyap dimakan virus, tapi jiwanya diselamatkan.

Menyadari bahwa dampak HIV adalah BIOPSIKOSOSIAL SPIRITUAL, maka gereja seyogyanya berperan aktif, sebagai implementasi dari pola pelayanan Kristus yang bersentuhan langsung dengan semua aspek kehidupan manusia dan dari semua latar belakang tanpa memandang muka.
Hal yang terpenting dari pelayanan Gereja adalah keterbukaan Gereja terhadap isu social, terlibat sesuai kapasitas gereja dan jangan pernah menghakimi orang terinfeksi. Kisah yang tertulis dalam Kitab Yohanes 8:1-10, merupakan pembelajaran penting bagi Gereja untuk tidak menghakimi dan mencari-cari kesalahan dari sebuah pembenaran diri, tetapi memberikan dukungan, sehingga gereja tidak terlihat lebih rohani dari TUHAN YESUS. Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskannya dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkannya, tetapi denga setia ia akan menyatakan hukum. Yesaya 42:3.
Mari kita berbuat baik selagi masih ada kesempatan (Galatia 6:9-10) karena akan tiba waktunya semua pekerjaan kita diuji.
Tuhan Yesus memberkati pelayanan kita.



Pdt. Sefnat JD Lobwaer
Gembala Jemaat GSJA "Karismatik" Merauke-Papua
Pengelola Program KPA Kab. Merauke.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berjalan bersama TUHAN - Part 7

Menjadi Manusia BARU Efesua 4 : 17 - 32 Oleh : Ps. Sefnat JD. Lobwaer. Kehidupan yang diberikan oleh TUHAN YESUS sebagai anugerah bagi manus...