Theys Hiyo Eluay
“Orang Papua ingin dihargai
sebagai manusia yang bermartabat di tanahnya sendiri.”
RESONANSI: Suara dari TANAH TERLUKA
Di ujung timur,
ada tanah yang bergetar,
bukan hanya oleh gemuruh hutan
atau riuh gelombang Samudera
Pasifik,
tetapi oleh luka yang belum
sembuh.
Tanah itu bernyanyi,
bukan dalam nada riang,
melainkan dalam resonansi duka,
gema yang menembus langit,
menyapa hati-hati yang masih
peduli.
Anak-anaknya belajar dari batu dan
sungai,
bahwa air mata bisa menjadi kitab,
dan darah bisa menulis sejarah
yang tak mudah dihapus.
Namun, dari tanah terluka itu,
muncul suara yang tak bisa
dibungkam:
suara ibu-ibu yang berdoa di malam
sunyi,
suara pemuda yang menanam harapan
dari kamar yang gelap,
suara gereja yang berdiri meski
diterpa badai.
Resonansi itu menggema jauh,
menembus tembok ketidakadilan,
menggetarkan ruang-ruang
kekuasaan,
dan memanggil dunia untuk
mendengar.
Tanah yang terluka tetap
bernyanyi,
sebab setiap luka adalah palu,
yang memukul genderang keadilan,
hingga dunia tahu:
suara Papua bukan bisikan,
melainkan gema,
resonansi dari tanah yang tak
pernah diam.
FILOSOFI di Tanah Papua
“Berbicara tentang TANAH PAPUA berarti berbicara tentang INJIL”
Makna Papua Tanah Injil bagi Kehidupan Bergereja dan Bermasyarakat di Papua di mulai sejak 5 Februari 1855, ketika dua utusan Injil, Ottow dan Geissler, mendarat di Pulau Mansinam, Papua dikenal sebagai Tanah Injil. Istilah ini bukan sekadar gelar religius, melainkan pengakuan iman yang melekat pada identitas masyarakat Papua. Injil yang masuk telah mengubah wajah Papua: dari kegelapan menuju terang, dari keterasingan menuju pengakuan sebagai bagian dari persekutuan umat Allah.
Namun, perjalanan Papua tidak
selalu mulus. Sebagai wilayah yang kaya sumber daya alam, Papua selalu menjadi
pusat perhatian geopolitik, baik nasional maupun global. Dalam arus besar
politik, ekonomi, dan keamanan ini, masyarakat Papua sering kali berada di
posisi yang rentan.
Dalam situasi inilah, makna Papua
sebagai Tanah Injil perlu ditafsirkan kembali secara kontekstual: bagaimana
gereja dan masyarakat menghadapi realitas geopolitik dengan tetap berakar pada
Injil Kristus?
A. Papua Tanah Injil: Identitas
Iman yang Hidup
Sebutan Tanah Injil menegaskan
bahwa kehidupan masyarakat Papua berakar pada kasih Allah. Injil bukan hanya
doktrin, melainkan sumber kekuatan spiritual yang memberi arah hidup, baik
dalam berjemaat maupun bermasyarakat. Identitas ini menegaskan bahwa Papua
dipanggil menjadi tanah yang memancarkan kasih Kristus melalui kehidupan yang
damai, adil, dan penuh pengharapan.
Tokoh gereja Papua, Pdt. Herman
Saud, pernah menegaskan:
“Papua disebut Tanah Injil bukan
hanya karena Injil pernah datang, tetapi karena Injil harus terus hidup dalam
sikap dan tindakan umat di tanah ini.”
Bagi gereja, Injil adalah fondasi
pelayanan. Bagi masyarakat, Injil adalah etika hidup yang menuntun cara
bersikap dan bertindak. Dengan demikian, Papua Tanah Injil adalah identitas
kolektif sekaligus panggilan untuk menghadirkan terang Kristus dalam segala
aspek kehidupan.
B. Kehidupan Bermasyarakat:
Injil sebagai Pedoman Sosial
Injil tidak berhenti di altar
gereja, melainkan harus hidup dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Papua.
Dalam menghadapi geopolitik, Injil mengajarkan:
Persaudaraan Sejati: Masyarakat Papua harus menjaga solidaritas di tengah perbedaan suku, agama, dan pandangan politik. Kasih Kristus menjadi dasar untuk hidup saling mengasihi dan menghargai.
Menjaga Martabat Manusia: Geopolitik sering menempatkan masyarakat kecil sebagai korban. Namun Injil menegaskan bahwa setiap orang Papua adalah ciptaan Allah yang bermartabat, sehingga harus diperlakukan adil.
“Orang Papua harus diperlakukan
sebagai manusia yang bermartabat. Kita ini ciptaan Tuhan yang sama dengan
bangsa lain.”
Keadilan dan Perdamaian: Injil memanggil masyarakat untuk memperjuangkan keadilan tanpa kekerasan. Damai sejahtera Kristus harus menjadi gaya hidup, bukan sekadar retorika.
C. Papua Tanah Injil
sebagai Visi Bersama
Menjadi Tanah Injil berarti
menjadikan Injil sebagai visi bersama dalam menghadapi masa depan Papua.
Bagi gereja, Injil adalah
dasar untuk melayani dengan tulus, bukan mencari kuasa.
Bagi masyarakat, Injil
adalah pedoman etika dalam membangun keluarga, komunitas adat, dan kehidupan
publik.
Bagi bangsa Indonesia,
Papua Tanah Injil adalah kontribusi Papua dalam memperkaya keberagaman bangsa,
menghadirkan wajah damai dan kasih di tengah konflik geopolitik.
Seperti pernah diungkapkan Pdt.
Herman Saud:
“Papua Tanah Injil berarti
Papua harus menjadi berkat, bukan hanya bagi Papua, tetapi juga bagi Indonesia
dan bangsa-bangsa.”
INJIL: "Harapan bagi
Papua"
Makna Papua sebagai Tanah Injil
bukan hanya nostalgia sejarah, melainkan kompas moral dan spiritual bagi
kehidupan bergereja dan bermasyarakat saat ini. Injil memberi kekuatan untuk
menghadapi tantangan geopolitik dengan iman, harapan, dan kasih.
Ungkapan ini bukan sekadar pepatah, tetapi sebuah filosofi hidup yang lahir dari pengalaman panjang orang Papua dalam menyatu dengan tanahnya. Tanah tidak hanya dipandang sebagai ruang hidup, melainkan juga sebagai ibu yang melahirkan, memberi makan, dan memelihara.
Kejujuran sebagai Dasar Hidup
Dalam dunia modern, kita sering
mendengar bahwa kerja keras adalah kunci keberhasilan. Namun, bagi orang Papua,
kerja keras tanpa kejujuran ibarat mendayung tanpa arah. Tanah ini hanya
memberi keajaiban kepada mereka yang menghargainya dengan hati yang tulus.
Kejujuran bukan hanya soal tidak mencuri, tetapi juga soal menghormati tanah,
laut, dan hutan sebagai milik bersama yang harus dijaga.
Seorang tokoh gereja di Tanah
Papua, Pdt. Benny Giay, pernah berkata:
“Tanah ini milik Allah. Ia bukan
hanya memberi makan orang Papua, tetapi juga memberi hidup kepada
bangsa-bangsa. Namun, syaratnya adalah keadilan dan kejujuran dalam
mengelolanya.”
Tanda Heran: Berkat yang Nyata
“Tanda heran” yang dimaksud
bukanlah sesuatu yang abstrak. Ia nyata dalam kehidupan sehari-hari: tanah yang
subur, laut yang kaya, udara yang bersih, serta persaudaraan yang terjaga.
Semua itu menjadi keajaiban ketika manusia memilih jalan kejujuran.
Tokoh perempuan Papua, Mama
Yosepha Alomang, yang dikenal sebagai pejuang lingkungan dan kemanusiaan,
pernah mengingatkan:
“Hutan dan tanah ini adalah
supermarket kami, rumah sakit kami, sekolah kami. Kalau kita jaga dengan hati
bersih, tanah ini akan terus memberi kita kehidupan.”
Pernyataan itu menunjukkan bahwa
tanda heran hadir bukan hanya dalam iman, tetapi juga dalam keutuhan ekologi
dan budaya yang dijaga dengan jujur.
Panggilan Moral bagi Semua
Dalam konteks sosial-politik,
filosofi ini adalah kritik sekaligus harapan. Papua sering dilihat sebagai
tanah konflik dan eksploitasi. Namun, bagi orang Papua, ia tetap tanah berkat. Yang
diperlukan adalah keberanian untuk jujur: jujur dalam politik, jujur
dalam pembangunan, dan jujur dalam mengelola hasil alam.
Seorang tokoh masyarakat, Dr.
Socrates Sofyan Yoman, pernah menegaskan:
“Papua adalah tanah berkat.
Tetapi berkat itu tidak akan terlihat kalau ketidakjujuran, kekerasan, dan
penindasan terus dibiarkan. Kejujuran adalah pintu menuju keadilan dan damai.”
Jalan Kejujuran Menuju
Keajaiban
Tanah Papua menantang kita semua,
baik orang asli Papua maupun non Papua untuk memilih jalan kejujuran. Karena
hanya di jalan itulah kita bisa berjalan dari tanda heran yang satu ke tanda
heran yang lain.
Filsafat “Hidup Orang Papua
Menyatu dengan Tanah dan Alam”
Di tanah Papua, ada sebuah
falsafah yang hidup dan diwariskan turun-temurun: “Hidup orang Papua menyatu
dengan tanah dan alam.” Falsafah ini bukan sekadar ungkapan puitis, tetapi
sebuah kenyataan yang meresap dalam seluruh sendi kehidupan masyarakat Papua.
Bagi orang Papua, tanah bukan sekadar hamparan bumi, melainkan identitas dan jati diri. Nama suku, marga, dan garis keturunan selalu melekat pada wilayah tertentu. Tanah ulayat menjadi “alamat rohani” yang menunjukkan siapa dirinya. Maka, ketika tanah hilang, bukan hanya harta yang lenyap, tetapi juga martabat dan sejarah.
Seorang tokoh adat pernah berkata,
“Kalau tanah kami diambil, di mana kami akan berdiri? Tanah adalah ibu yang
melahirkan kami.”
Di sinilah kita melihat kearifan
ekologis orang Papua: hidup dalam keseimbangan. Mereka mengambil dari alam
secukupnya dan mengembalikannya dengan penghormatan. Tidak ada ruang untuk
kerakusan, karena merusak alam berarti merusak diri sendiri. Falsafah ini
sejalan dengan iman Kristen yang berkembang di Papua. Alkitab mengajarkan bahwa
bumi adalah milik Tuhan, dan manusia hanya penatalayan (Kejadian 2:15). Dengan
demikian, menjaga tanah dan alam bukan hanya tradisi budaya, tetapi juga
panggilan iman.
Refleksi ini penting, bukan hanya untuk Papua, tetapi juga bagi kita semua. Dunia modern sering menjauhkan manusia dari alam. Kita menganggap tanah hanya sebagai aset, hutan hanya sebagai angka produksi, dan laut hanya sebagai ruang eksploitasi. Padahal, seperti diingatkan orang Papua, hidup manusia tidak bisa dipisahkan dari tanah dan alam.
Tokoh adat Papua Ondofolo Yulianus Pigome,
“Tanah adalah mama. Kalau tanah
rusak, maka kita kehilangan mama. Alam menjaga kita, maka kita harus menjaga
alam.”
Ungkapan ini memperlihatkan cara
pandang ekologis yang sangat filosofis, bahwa manusia dan alam saling menjaga
dalam keseimbangan.
GEOPOLITIK TANAH PAPUA: Refleksi bagi Masyarakat & Gereja
Namun, di balik segala potensi
itu, masyarakat Papua seringkali bergumul dengan realitas yang penuh
ketegangan: kemiskinan di tengah kekayaan, konflik berkepanjangan, dan
pertanyaan mendasar tentang identitas. Dalam konteks inilah, gereja hadir bukan
hanya sebagai tempat beribadah, melainkan juga sebagai ruang penguatan,
penghiburan, dan suara kenabian.
1. Geopolitik Papua dalam Kehidupan Masyarakat
a. Identitas dan Budaya
Masyarakat Papua hidup di antara
dua arus besar: Indonesia dan Melanesia. Di satu sisi, mereka adalah bagian
dari NKRI; di sisi lain, mereka merasa bagian dari rumpun Pasifik. Persilangan
identitas ini sering menimbulkan kebingungan, bahkan konflik batin. Pertanyaan
seperti “Siapakah saya sebagai orang Papua?” menjadi refleksi mendalam yang
memengaruhi cara pandang hidup.
b. Kekayaan Alam dan Kesejahteraan
Papua memiliki tambang emas dan
tembaga terbesar di dunia, hutan tropis yang luas, laut yang kaya, serta
potensi energi yang besar. Namun, ironinya, masyarakat asli Papua masih
bergumul dengan kemiskinan, keterbatasan pendidikan, dan kurangnya layanan kesehatan.
Ketidakadilan ini menimbulkan rasa terluka dan perasaan terpinggirkan.
Ketegangan politik dan keamanan
seringkali membuat masyarakat sipil menjadi korban. Banyak yang hidup dalam
ketakutan, trauma, bahkan harus mengungsi. Realitas ini menandai bahwa
geopolitik Papua bukan sesuatu yang jauh, melainkan nyata dirasakan dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat.
2. Geopolitik Papua dalam
Kehidupan Gereja
a. Gereja sebagai Suara
Kenabian
Gereja di Papua tidak dapat
menutup mata terhadap ketidakadilan. Ketika umat mengalami penderitaan akibat
eksploitasi atau konflik, gereja terpanggil untuk bersuara. Suara kenabian ini
bukanlah “politik praktis”, melainkan panggilan Injil untuk menyatakan
kebenaran, keadilan, dan damai sejahtera.
b. Gereja sebagai Penjaga Identitas
Bagi banyak orang Papua, gereja
adalah tempat di mana identitas diri dirawat. Lagu rohani yang dipadukan dengan
bahasa dan budaya lokal menjadikan gereja sebagai ruang aman untuk
mengekspresikan ke-Papua-an sekaligus ke-Kristen-an. Dengan demikian, gereja
menjadi benteng bagi jati diri orang Papua.
c. Gereja dalam Rekonsiliasi dan Pemulihan
Di tengah luka akibat konflik,
gereja hadir dengan pelayanan penghiburan, doa, dan pendampingan. Pelayanan
trauma healing, dialog lintas suku, dan pemberdayaan jemaat adalah wujud nyata
panggilan gereja sebagai alat rekonsiliasi Tuhan di tanah ini.
d. Tantangan Gereja
Gereja sering dihadapkan pada
dilema: ketika bersuara tentang keadilan, ia dianggap berpolitik; ketika diam,
ia mengabaikan penderitaan umat. Tantangan terbesar gereja adalah bagaimana
tetap setia kepada Injil sambil bijak menghadapi tekanan politik dan kekuasaan.
3. Refleksi Iman: Geopolitik
Sebagai Panggilan
Dalam terang iman Kristen, kita
percaya bahwa Tuhan menempatkan orang Papua di tanah yang kaya bukan untuk
ditindas, melainkan untuk hidup sejahtera. Yesus berkata: “Aku datang supaya
mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yoh. 10:10).
Maka, geopolitik Papua tidak hanya
kita lihat dari kaca mata negara atau dunia internasional, tetapi juga dari
kacamata iman: bagaimana umat Tuhan di Papua bisa hidup adil, damai, dan
sejahtera.
Gereja terpanggil untuk menjadi
nabi yang menyuarakan kebenaran, menjadi imam yang membawa doa dan
penghiburan bagi umat yang menderita., menjadi gembala yang memelihara
umat di tengah ketidakpastian.
Tahun 2025 menandai delapan dekade kemerdekaan Republik Indonesia. Perayaan ini selalu diiringi gegap gempita, upacara, dan narasi kebangsaan. Namun, di balik itu muncul pertanyaan mendasar: kemerdekaan untuk siapa? Dan bagaimana ia benar-benar dirasakan oleh rakyat di ujung timur negeri, yakni Tanah Papua.
Secara politik, Tanah Papua sudah
berada dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak 1963 dan melalui
Pepera 1969 status itu diakui dunia. Bahkan, pemerintah memberikan Otonomi
Khusus (Otsus) yang seharusnya memberi ruang lebih besar bagi orang asli Papua
dalam menentukan arah pembangunan. Namun kenyataan di lapangan sering berbeda:
partisipasi masyarakat dalam kebijakan strategis masih dianggap terbatas,
sementara rasa memiliki terhadap negara belum sepenuhnya tumbuh.
Secara ekonomi, Papua adalah tanah yang kaya. Emas, tembaga, gas, hutan, dan lautnya menjadi sumber daya strategis nasional. Ironisnya, kemakmuran itu belum banyak dinikmati oleh rakyat Papua sendiri. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua dan Papua Pegunungan masih berada di posisi terbawah. Kesenjangan antara perkotaan dan pedalaman begitu mencolok, membuat orang Papua merasa sekadar menjadi penonton di tanah leluhur mereka.
Dari sisi sosial dan budaya, Papua memang masih menjaga identitasnya. Bahasa, tari, musik, dan adat tetap hidup di tengah arus modernisasi. Namun, tantangan serius seperti rendahnya kualitas pendidikan, keterbatasan layanan kesehatan, hingga tingginya angka HIV/AIDS menjadi gambaran bahwa pembangunan belum menyentuh semua lapisan masyarakat.
Isu hak asasi manusia semakin menambah luka. Konflik bersenjata, kekerasan, hingga diskriminasi kerap mewarnai kehidupan sehari-hari. Bagi banyak orang Papua, kemerdekaan bukan sekadar terbebas dari penjajahan asing, melainkan juga terbebas dari rasa takut, kemiskinan, dan marginalisasi.
Sementara itu, Pdt. Benny Giay, tokoh gereja di Papua, pernah mengingatkan, “Kekerasan hanya melahirkan luka baru. Jalan damai, rekonsiliasi, dan penghormatan terhadap orang asli Papua adalah satu-satunya cara untuk membangun masa depan bersama.” Pesan ini memperlihatkan bahwa nilai spiritual dan kearifan lokal Papua seharusnya menjadi landasan pembangunan, bukan justru terpinggirkan.
2 Korintus 3 : 17
Sebab Tuhan adalah Roh; dan di
mana ada Roh Allah, di situ ada kemerdekaan
Dalam perjalanan sejarah Papua,
Gereja memiliki peran yang sangat strategis. Gereja tidak hanya menjadi tempat
ibadah, tetapi juga ruang pendidikan, penguatan identitas, dan advokasi sosial.
Karena itu, ketika berbicara soal kemerdekaan yang belum dirasakan penuh di
Papua, peran Gereja tidak bisa diabaikan.
Pertama:
Gereja hadir sebagai suara
kenabian. Ia menjadi corong rakyat kecil yang menuntut keadilan, perdamaian,
dan hak asasi manusia.
Kedua:
Gereja berfungsi sebagai ruang
rekonsiliasi yang menjembatani konflik antara negara, kelompok pro-kemerdekaan,
maupun antar masyarakat sendiri.
Ketiga:
Gereja memainkan peran nyata dalam
pembangunan manusia: mendirikan sekolah, rumah sakit, dan pusat sosial,
terutama di pedalaman yang jarang tersentuh negara.
Sebagaimana firman Yesus dalam Yohanes 10 : 10, “Aku datang supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” Inilah panggilan Gereja di Papua: menghadirkan kemerdekaan yang sejati—kemerdekaan untuk hidup bermartabat, damai, dan sejahtera.
Delapan puluh tahun setelah
proklamasi, bangsa ini perlu jujur bertanya: apakah Papua sudah benar-benar
merasakan kemerdekaan? Ataukah kemerdekaan hanya berhenti sebagai slogan yang
belum menjawab realitas hidup orang asli Papua?
Harapan ke depan jelas: Papua akan benar-benar hidup bermartabat bila pembangunan lebih berpihak pada manusia, bukan semata eksploitasi sumber daya. Pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia harus menjadi dasar pendekatan. Gereja, dengan posisi strategisnya, dapat menjadi jembatan perdamaian dan pengawal nurani bangsa.
Hanya dengan itu, Papua dapat merasakan bahwa kemerdekaan bukan hanya milik Jakarta, tetapi milik seluruh anak bangsa, dari Sabang hingga Merauke.
PAPUA
Tanah INJIL; konteks kearifan
lokal
Kearifan lokal Papua mencerminkan
identitas kolektif masyarakat yang dibangun atas dasar hubungan harmonis antara
manusia, alam, dan Sang Pencipta. Nilai-nilai budaya, sosial, dan religius
masyarakat Papua tidak hanya berfungsi sebagai warisan leluhur, tetapi juga
sebagai pedoman etis dalam menghadapi tantangan modernitas.
Berkomitmen bagaimana kearifan lokal Papua dapat dipertahankan dan diintegrasikan dengan iman Kristiani serta kehidupan modern. Integrasi tersebut menciptakan ruang dialog antara tradisi dan iman, sekaligus menjawab kebutuhan masyarakat Papua dalam konteks pembangunan sosial, pendidikan, ekonomi, dan spiritualitas
Papua adalah wilayah dengan keanekaragaman budaya, bahasa, dan tradisi yang unik. Kehidupan masyarakatnya sangat erat dengan alam dan sistem nilai yang diwariskan secara turun-temurun. Modernisasi yang masuk ke Papua melalui pendidikan, teknologi, dan globalisasi menghadirkan peluang sekaligus tantangan.
Di sisi lain, iman Kristiani telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Papua sejak masuknya pekabaran Injil pada 5 Februari 1855 Kehadiran Gereja membawa transformasi sosial yang signifikan, khususnya dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Namun, dalam konteks pembangunan masa kini, muncul pertanyaan penting: bagaimana masyarakat Papua dapat berpartisipasi dalam kehidupan modern tanpa kehilangan jati diri budaya dan kearifan lokalnya, serta bagaimana iman Kristiani dapat berdialog dengan nilai-nilai tradisi tersebut?
Kearifan Lokal Papua
1. Dimensi Budaya
Relasi dengan alam:
Alam dianggap sebagai saudara,
bukan objek eksploitasi. Filosofi ini terlihat dalam praktik pertanian
tradisional, pola berburu, serta sistem pengelolaan hutan yang berkelanjutan.
Simbolisme dalam seni dan
bahasa:
Tarian, nyanyian, ukiran, dan
bahasa daerah menjadi sarana ekspresi nilai-nilai hidup yang sarat dengan makna
spiritual.
2. Dimensi Sosial
Komunalitas dan solidaritas:
Sistem hubungan kekerabatan dan
gotong royong menegaskan pentingnya kebersamaan.
Musyawarah adat dan kepemimpinan
tradisional berfungsi menjaga keseimbangan dalam kehidupan masyarakat.
3. Dimensi Religius
Spiritualitas kosmologis:
Kepercayaan masyarakat Papua
tradisional menekankan hubungan vertikal (manusia dengan Tuhan) dan horizontal
(manusia dengan alam dan sesama).
Integrasi dengan iman Kristiani:
Nilai-nilai ini menemukan
resonansi dalam ajaran Kristen tentang keutuhan ciptaan, kasih, dan keadilan.
Kearifan Lokal dan Kehidupan Modern
1. Pendidikan Kontekstual
Kearifan lokal dapat
diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan agar generasi muda Papua tetap
memahami akar budayanya sekaligus mampu menghadapi tantangan global.
2. Ekonomi Berkelanjutan
Sistem ekonomi modern yang masuk
ke Papua sebaiknya selaras dengan filosofi kearifan lokal, misalnya pengelolaan
hutan berbasis masyarakat adat atau koperasi yang berakar pada nilai gotong
royong.
Di tengah arus modernisasi,
identitas kultural Papua menjadi fondasi yang menjaga keutuhan masyarakat agar
tidak tercerabut dari akar budayanya.
Iman Kristiani dalam Dialog dengan Kearifan Lokal
1. Teologi Kontekstual
Iman Kristiani di Papua berkembang
dengan mengadopsi simbol, bahasa, dan nilai lokal. Misalnya, Injil dipahami
sebagai kabar baik yang memerdekakan manusia dalam kesatuan dengan alam dan
komunitas.
2. Penguatan Spiritualitas Holistik
Kehidupan doa, ibadah, dan
pelayanan umat dapat diperkaya dengan ekspresi budaya lokal, sehingga
kekristenan tidak dipandang sebagai entitas asing, melainkan bagian dari
kehidupan sehari-hari.
3. Etika Kristiani dan Nilai Adat
Prinsip kasih, keadilan, dan
perdamaian dalam iman Kristiani selaras dengan kearifan lokal Papua yang
mengutamakan keharmonisan dan solidaritas.
Kearifan lokal Papua pada dimensi
budaya, sosial, dan religius memiliki peran vital dalam membentuk identitas
masyarakat. Kehidupan modern dan iman Kristiani bukanlah ancaman bagi
nilai-nilai ini, melainkan dapat menjadi mitra dalam membangun Papua secara
berkelanjutan. Dengan pendekatan dialogis, Gereja dan masyarakat Papua mampu
menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas, sehingga pembangunan tidak
hanya bersifat material, tetapi juga berakar pada identitas, iman, dan
nilai-nilai luhur masyarakat Papua.
GEREJA: diantara hiruk pikuk Geopolitik Tanah Papua
Papua merupakan wilayah dengan dinamika geopolitik yang kompleks, ditandai dengan isu pembangunan, konflik sosial, dan aspirasi politik. Di tengah realitas tersebut, Gereja - gereja di Tanah Papua kehadirannya bukan hanya sebagai institusi religius, tetapi juga agen sosial yang berakar pada nilai spiritual dan kearifan lokal. Sudah saatnya Gereja mengkaji secara mendalam bagaimana Gereja merespons situasi geopolitik Papua tanpa kehilangan identitas iman dan kebudayaan setempat. Pendektan yang digunakan Gereja sebagai pelaksana amanat agung Yesus Kristus adalah pendekatan teologi kontekstual, yang menekankan integrasi Injil dengan budaya Papua.
Sehingga dengan kajian tersebut Gereja di Tanah Papua menjabarkannya dalam program tahunan dan dijadikan sebagai program unggulan.
(1) gereja sebagai agen
perdamaian,
(2) gereja sebagai pelindung
kearifan lokal, dan
(3) gereja sebagai pendamping
pembangunan.
Keberlanjutan Papua harus ditopang
oleh harmoni antara spiritualitas Kristiani, kearifan lokal, dan pembangunan
berkeadilan.
Papua adalah wilayah dengan
kekayaan alam melimpah, keragaman budaya, dan keunikan spiritualitas. Namun,
Papua juga menjadi wilayah dengan intensitas geopolitik tinggi, mencakup isu
konflik bersenjata, kesenjangan pembangunan, dan marginalisasi sosial (Kambu,
2020; Widjojo, 2015). Dalam konteks ini, Gereja-gereja yang berada di Tanah
Papua menghadapi tantangan ganda: bagaimana menjalankan misi rohani tanpa
terjebak dalam pusaran politik praktis, sekaligus tetap relevan dengan
identitas masyarakat Papua?
Kutipan - kutipan
1. Geopolitik Papua
Studi Widjojo (2015) dan Tebay
(2009) menekankan bahwa persoalan geopolitik Papua tidak hanya berkaitan dengan
politik nasional, tetapi juga relasi identitas dan sejarah.
2. Peran Gereja di Papua
Gereja sering berfungsi sebagai
mediator dalam konflik sosial dan penyelaras nilai pembangunan (Griapon, 2018).
Gereja dipandang sebagai institusi yang dipercaya masyarakat Papua karena
kedekatannya dengan spiritualitas lokal.
3. Teologi Kontekstual
Menurut Juwita, Sitinjak, &
Pandiangan (2025), teologi kontekstual adalah dialog kritis antara Injil dan
budaya lokal. Pendekatan ini relevan bagi Gereja di Tanah Papua untuk
menyampaikan Injil tanpa mereduksi kearifan lokal.
4. Kearifan Lokal Papua
Kearifan lokal seperti falsafah
"hidup orang Papua menyatu dengan tanah dan alam" (Flassy, 2017)
memperlihatkan orientasi kosmologis masyarakat Papua yang selaras dengan
spiritualitas Kristiani.
Gereja di Tanah Papua harus
memiliki tiga pola respons utama terhadap situasi geopolitik:
1. Gereja sebagai agen
perdamaian
Gereja berperan mendorong
rekonsiliasi melalui doa, pengajaran, dan program kemasyarakatan yang
menekankan perdamaian sebagai wujud kasih Kristus
2. Gereja sebagai pelindung kearifan lokal
Nilai-nilai budaya seperti gotong-royong, solidaritas komunal, dan relasi harmonis dengan alam diintegrasikan dalam ibadah, liturgi, dan pelayanan sosial.
3. Gereja sebagai pendamping pembangunan
Gereja di Tanah Papua mendukung
pembangunan nasional dengan prinsip keadilan, partisipasi, dan keberpihakan
pada masyarakat kecil, seraya menolak segala bentuk eksploitasi yang merusak
tatanan ekologis dan sosial.
Respons Gereja terhadap geopolitik Papua dapat dipahami sebagai bentuk teologi praksis.
Pertama:
Dengan menjadi agen perdamaian,
Gereja menegaskan posisi netral tetapi profetis: tidak berpihak pada kekerasan,
melainkan pada keadilan (Tebay, 2009).
Kedua:
Pelestarian kearifan lokal
merupakan wujud nyata dari teologi kontekstual (Juwita et al., 2025), karena
Injil hadir bukan untuk meniadakan budaya, melainkan menyempurnakan
nilai-nilainya.
Ketiga:
Peran gereja dalam pembangunan
menjadi kritik terhadap model pembangunan eksploitatif yang sering mengabaikan
masyarakat adat (Kambu, 2020).
Dengan demikian, Gereja-gereja di
Tanah Papua memandang bahwa spiritualitas Kristiani dan kearifan lokal bukan
hambatan bagi pembangunan, tetapi fondasi etis untuk membangun Papua yang
damai, adil, dan bermartabat.
Gereja-gereja Di Tanah Papua seharusnya menyikapi dinamika geopolitik Papua dengan menempatkan diri sebagai agen perdamaian, pelindung kearifan lokal, dan pendamping pembangunan yang adil dan bermartabat.
Melalui pendekatan teologi kontekstual, gereja berperan menjaga spiritualitas Kristiani tanpa meniadakan identitas budaya Papua. Dengan cara ini, Gereja menunjukkan bahwa iman dan kearifan lokal dapat menjadi dasar bagi penyelesaian konflik dan pembangunan yang berkelanjutan. Sebagaimana telah disampaikan bahwa Papua merupakan salah satu wilayah strategis Indonesia yang memiliki keunikan geografis, kultural, serta politik. Geopolitik Papua dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni posisi wilayah yang berbatasan dengan negara-negara Pasifik, kekayaan sumber daya alam, dan keragaman etnis-budaya. Namun demikian, Papua juga menghadapi berbagai persoalan serius seperti ketidakmerataan pembangunan, konflik sosial-politik, dan isu hak asasi manusia.
Dalam konteks inilah, peran
Gereja-gereja di Tanah Papua sangat diperlukan. Gereja tidak hanya hadir
sebagai pusat ibadah dan pembinaan rohani, tetapi juga menjadi agen
transformasi sosial, perdamaian, dan pemberdayaan umat.
Gereja-gereja di Tanah Papua
dituntut untuk merumuskan rencana pembangunan yang berlandaskan spiritualitas
(iman Kristiani), namun tetap responsif terhadap realitas geopolitik Papua.
Tanah Papua tidak hanya kaya
dengan hutan, emas, tembaga, dan laut yang luas. Papua juga kaya dengan
manusia, budaya, dan iman yang telah menjadi denyut nadi kehidupan
masyarakatnya. Namun, di balik kekayaan itu, Papua juga menjadi ruang perebutan
geopolitik yang penuh dinamika. Letak strategis, sumber daya alam yang
melimpah, serta isu politik identitas membuat Papua tidak pernah lepas dari
tarik-menarik kepentingan nasional maupun internasional.
Gereja di Tanah Papua tidak bisa
berdiam diri di atas realitas sosial-politik yang berlangsung. Ia hadir bukan
sekadar tempat ibadah, tetapi juga rumah bagi orang Papua untuk mengadu,
mencari keadilan, dan menemukan harapan. Gereja harus menjadi
"ibu" yang mendengar jeritan umatnya yang terdampak konflik,
penggusuran, hingga kekerasan bersenjata.
Tidak jarang, mimbar gereja
berubah menjadi ruang doa sekaligus ruang protes moral. Para pendeta dan
pimpinan gereja sering kali dituntut untuk bersuara profetik, menyuarakan
kebenaran dan keadilan.
Hal ini juga membuat gereja berada pada posisi sulit: dituduh terlalu politis, padahal sejatinya ia sedang melindungi martabat manusia Papua.
Bagi masyarakat Papua, geopolitik
menghadirkan paradoks. Di satu sisi pembangunan infrastruktur hadir, kota-kota
tumbuh, dan akses transportasi semakin terbuka.
Namun di sisi lain, ada perasaan terpinggirkan karena banyak sumber daya alam dikuasai oleh pihak luar. Migrasi besar-besaran dari luar Papua juga memunculkan ketegangan identitas, di mana orang asli Papua merasa menjadi minoritas di tanah sendiri.
Konflik bersenjata dan operasi
keamanan menambah luka. Banyak keluarga kehilangan anggota, ada yang mengungsi
ke hutan, dan anak-anak harus belajar dengan rasa takut. Trauma kolektif itu
masih membekas hingga kini. Dalam situasi seperti ini, masyarakat menggantungkan
harapan mereka pada gereja sebagai benteng terakhir yang bisa dipercaya.
Dalam refleksi iman, kita bisa melihat bahwa Tuhan menempatkan gereja di Tanah Papua bukan secara kebetulan. Gereja dipanggil untuk menjadi terang dan garam; membangun perdamaian, memperjuangkan keadilan, dan merawat identitas Papua yang kaya dengan kearifan lokal. Di banyak tempat, gereja sudah menjadi penggerak pendidikan, kesehatan, bahkan ekonomi jemaat. Gereja harus hadir tidak hanya untuk menyelamatkan jiwa, tetapi juga untuk memulihkan kehidupan.
Melalui jejaring oikumenis, suara Papua kini juga terdengar hingga ke forum internasional. Gereja-gereja di Pasifik, bahkan hingga ke Dewan Gereja Dunia, ikut menyuarakan penderitaan Papua. Hal ini menegaskan bahwa isu Papua bukan hanya soal politik negara, tetapi juga soal kemanusiaan yang universal.
“Tanah adalah mama bagi orang
Papua. Jika tanah dirusak, maka kehidupan anak-anak Papua juga dirusak.”
PENUTUP
RESONANSI; suara dari TANAH TERLUKA
Geopolitik di Tanah Papua memang
keras dan penuh kepentingan. Tetapi di balik itu semua, ada manusia Papua yang
ingin hidup damai, sejahtera, dan bermartabat. Gereja dipanggil untuk tidak
tinggal diam. Gereja harus tetap menjadi "nabi" yang berani
bersuara, sekaligus menjadi "gembala" yang setia menuntun umat menuju
pengharapan.
Papua adalah tanah yang diberkati.
Luka dan air mata yang ada hari ini harus menjadi panggilan bersama gereja,
masyarakat, dan negara untuk membangun Papua yang adil, damai, dan penuh kasih
Obet Kogoya
“Kami membutuhkan gereja yang
aktif, yang dapat merangkul budaya lokal sekaligus menjawab tantangan sosial
masyarakat Papua.”
Di ujung timur Indonesia, tanah
Papua berdiri sebagai rahim peradaban yang kaya budaya, melimpah alam, namun
juga menyimpan luka panjang. Luka itu bukan sekadar catatan sejarah, tetapi
sebuah resonansi—gema yang terus menggetarkan hati, menembus ruang sosial,
politik, dan spiritual.
Resonansi ini bukan suara biasa.
Ia lahir dari jeritan mereka yang terpinggirkan, dari doa ibu-ibu di tengah
malam, dari langkah pemuda yang menanam harapan di sepinya jalan, dan dari
gereja yang tak berhenti menjadi ruang penghiburan. Suara dari tanah terluka
itu menolak diam, sebab diam berarti mati.
Sejarah Papua penuh dengan paradoks: tanah yang kaya sumber daya, tetapi masyarakatnya seringkali hidup dalam ketidakadilan. Luka-luka itu tidak pernah benar-benar tersembuhkan. Namun, justru dari luka itulah lahir suara yang menggema. Suara itu mengingatkan bahwa kehidupan tidak boleh hanya diukur dari tambang emas atau kekayaan hutan, melainkan dari martabat manusia yang tinggal di dalamnya.
Budayawan Papua, Arnold C. Ap,
pernah berkata:
“Tanah Papua bukan hanya sebuah
wilayah, ia adalah rahim yang melahirkan manusia dengan martabat, yang harus
dihargai setara dengan bangsa-bangsa lain.”[^1]
Pernyataan ini menegaskan bahwa
resonansi Papua adalah panggilan bagi dunia untuk menghormati kemanusiaan,
bukan sekadar memandang Papua sebagai objek geopolitik atau ekonomi.
Dalam konteks Papua, seharusnya gereja menjadi salah satu ruang yang paling lantang menyuarakan resonansi ini. Di mimbar-mimbar, dalam doa, maupun melalui pelayanan sosial, gereja menggaungkan panggilan keadilan dan kedamaian.
Pdt. Socratez Sofyan Yoman,
tokoh gereja Papua, menegaskan:
“Keadilan adalah bahasa Allah.
Jika suara dari tanah terluka tidak kita dengar, maka doa-doa kita pun
kehilangan makna.”[^2]
Kutipan ini adalah pengingat keras
bagi bangsa ini. Ibadah dan doa akan kehilangan roh jika kita membiarkan
penderitaan terus berlangsung tanpa usaha nyata untuk menyembuhkannya.
Resonansi dari tanah terluka ini telah menembus batas Papua. Ia terdengar di forum-forum internasional, dalam diskusi akademik, dalam solidaritas gerakan masyarakat sipil, bahkan dalam nyanyian-nyanyian rakyat kecil. Resonansi Papua mengajarkan dunia bahwa luka bisa menjadi kekuatan, dan penderitaan bisa melahirkan solidaritas.
Laporan-laporan internasional, termasuk dari Amnesty International dan Human Rights Watch, berulang kali menegaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia di Papua masih berlangsung dan membutuhkan perhatian serius dunia.[^3][^4] Suara Papua bukan lagi sekadar isu domestik, tetapi sebuah gema global yang menuntut keadilan.
Di balik luka yang mendalam, Papua tetap menyanyi. Suaranya mungkin lahir dari kesakitan, tetapi gema itu adalah tanda kehidupan. Setiap luka adalah palu, yang memukul genderang keadilan, hingga dunia tahu: Papua tidak pernah diam.
Resonansi Papua adalah undangan bagi kita semua untuk tidak menutup telinga. Di balik tanah yang terluka, ada suara yang terus hidup. Suara itu bukan sekadar jeritan, tetapi juga doa, harapan, dan panggilan untuk berdiri bersama dalam keadilan dan kemanusiaan.
Injil Kristus adalah kabar baik
yang membawa pembaruan, dan Gereja di Tanah Papua harus menjadi bagian dari
solusi, bukan penonton,
Rekomendasi:
- Gereja di Tanah Papua perlu menyusun rencana
strategis pelayanan jangka panjang berbasis pada kajian geopolitik.
- Peningkatan kapasitas pemimpin Gereja melalui
pendidikan formal dan pelatihan kepemimpinan kontekstual.
- Gereja perlu memperkuat kemitraan dengan adat,
gereja lain, dan pemerintah dalam rangka membangun Papua yang damai dan
sejahtera.
- Gereja harus berkomitmen dan konsisten menjadi
suara profetik bagi keadilan, HAM, dan kesejahteraan orang Papua.
Geopolitik Tanah Papua adalah
realitas yang kompleks: ada kepentingan negara, ada perebutan sumber daya, ada
tarik-menarik identitas, dan ada luka yang belum sembuh. Namun, di atas semua
itu, Tuhan menaruh gereja dan masyarakat Papua untuk menjadi terang dan garam
di tanah yang diberkati ini.
Refleksi ini mengajak kita untuk
tidak hanya melihat Papua sebagai objek politik, tetapi sebagai rumah
kehidupan, sebagai tanah berkat, dan sebagai tempat di mana Injil Yesus Kristus
harus terus diberitakan melalui keadilan, perdamaian, dan kasih.
Referensi
[^1]: Arnold C. Ap, kutipan
populer yang terdokumentasi dalam berbagai tulisan tentang budaya Papua. Lihat:
Chauvel, Richard. Constructing Papuan Nationalism: History, Ethnicity, and
Adaptation. Policy Studies 14, East-West Center Washington, 2005.
[^2]: Socratez Sofyan Yoman,
Kitab Papua: Tanah yang Terluka. Jakarta: Cenderawasih Press, 2014.
[^3]: Amnesty International.
Don’t Bother, Just Let Him Die: Killing with Impunity in Papua. Laporan Amnesty
International, 2018.
[^4]: Human Rights Watch.
Indonesia: Events of 2022. New York: HRW, 2023.
RAMBUTKU LURUS “hidupku untuk PAPUA”
Saya rambut lurus,
dari jauh angin membawa jejak
lain,
namun kaki saya menjejak tanah ini
dengan cinta yang sama.
Di hutan rimba,
di noken yang menggendong harapan,
saya belajar bahwa hidup
bukan soal bentuk rambut
tetapi soal kesetiaan hati.
Saya rambut lurus,
namun saya ikut menanam di ladang,
ikut menimba di sungai,
ikut menari dalam irama tifa
yang menggema sampai langit.
Papua,
kau bukan sekadar tanah tempat
berpijak,
kau adalah jiwa yang memanggil
untuk setia,
untuk menjaga,
untuk mencinta.
Maka biarlah rambut saya lurus,
tapi hati ini keriting oleh
doa-doa,
jiwa ini hitam pekat oleh tekad,
dan hidup ini saya persembahkan
bagi Papua—
tanah yang mengajarkan arti
persaudaraan
yang tak lekang oleh perbedaan.
NYANYIAN dari hati, untukmu Papuaku
Aku bernyanyi dari hati,
bukan dari panggung,
bukan dari sorak sorai kota,
melainkan dari sunyi rimba
dan debur ombak Samudra Pasifik
bagaikan doa terucap dari kebisuan
Papuaku,
engkau bukan sekadar tanah,
engkau adalah darah di nadi,
udara di dada,
dan cahaya yang membimbing
langkahku.
Di wajahmu ada guratan luka,
namun juga senyum tabah.
Di matamu ada kabut duka,
namun juga api harapan.
Dan aku tahu,
nyanyian dari hati ini
adalah pelita kecil
yang ingin menyapa setiap jiwa.
Biarlah tifa berdentum,
mengiringi kata-kata yang lahir
dari cintaku,
biarlah burung cenderawasih
menari,
menjadi saksi bahwa suaraku tak
akan padam.
Papuaku, dengarlah:
aku bernyanyi bukan untuk meratap,
tapi untuk merawat,
bukan untuk mengutuk,
tapi untuk menyembuhkan,
bukan untuk melawan,
tapi untuk menghidupkan.
Nyanyian dari hati ini
adalah jembatan,
yang menghubungkan luka dan
harapan,
air mata dan senyuman,
masa lalu dan masa depan.
Nyanian dari hatiku untukmu Papua
sebagai doa,
sebagai pelukan,
sebagai janji:
bahwa aku akan selalu bersuara
untukmu,
sekalipun dunia mencoba
membungkamku.
Memang engkau bukan tanah lahirku,
Tapi engkau adalah hatiku.
Arnold Ap
“Budaya adalah jantung kami,
selama ia bernyanyi, Papua tidak akan mati”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar