Bahan
mentah DATA adalah FAKTA, dan fakta adalah sesuatu yang sudah terjadi. Data
kasus HIV yang saat ini menjadi polimik menunjukan kepada kita bahwa HIV telah
menembus batas geografis Papua.
Sejak
23 Desember 1992, laporan penemuan kasus HIV di Papua (pada waktu itu masih
bernama Irian Jaya) oleh tim dari Dinas Kesehatan Provinsi setelah mengeluarkan Laporan
Perjalanan Dinas Survei Penyakit Kelamin di Kabupaten Tingkat II Merauke pada
Tahun 1992 bernomor 20/443.2/PP/93 tertanggal 13 Januari 1993. Dari Laporan
ini, tertuang telah ditemukan 6 Kasus HIV; 2 diantaranya adalah Wanita Pekerja
Seks orang Indonesia dan 4 Laki-laki ber-Warga Negara Asing sampai dengan
September 2018, kasus di Papua sudah mencapai angka 38.874 kasus.
38.874
Kasus yang ditemukan di Papua merupakan laporan dari 28 Kabupaten dan 1 Kota di
Provinsi Papua; laporan ini menunjukan bahwa HIV telah menembus rimba Papua
serta melewati batas kesulitan transportasi yang selama ini menjadi keluhan
masyarakat.
Banyak
masyarakat berpendapat bahwa meningkatnya kasus HIV AIDS di Papua ini karena
adanya prostitusi (lokalisasi) sehingga berdampak pada ditutupnya lokalisasi di
Jayapura pada bulan Agustus 2015 dan pemulangan pekerja seks oleh Pemerintah
Daerah Kabupaten Jayawijaya pada bulan Juni 2015 lalu.
Jika
benar, bahwa penyebab utamanya karena Lokalisasi, maka kenapa 2 Kabupaten yang
mengembalikan Wanita Pekerja Seks Komersial masuk dalam 5 besar penyumbang
kasus HIV AIDS di Papua; Kabupaten Jayawijaya dengan jumlah kasus 5.964 Kasus
merupakan penyumbang nomor 3 dan Kabupaten Jayapura dengan jumlah kasus 2.918
adalah penyumbang kasus terbanyak nomor 5, dan kota Jayapura yang tidak
memiliki lokalisasi merupakan penyumbang kasus terbanyak nomor 2 di Provinsi
Papua dengan jumlah kasus sebanyak 6.189.
(Kisah salah satu Kabupaten di Provinsi Papua), disini
tidak ada BAR, Diskotik, Panti Pijat dan Lokalisasi maupun warung
remang-remang, namun Data Kemkes dari Januari - September 2016 terlaporkan 33
kasus HIV dari 403 tes HIV (8.19%) padahal jumlah penduduk di Kabupaten ini
tidak sampai 60.000 jiwa yang tersebar di 5 distrik.
Data Dinkes setempat telah ditemukan 51 Kasus sampai Desemer 2016, Data Puskesmas setempat, mencatat yang sudah terapi ARV 35 orang, yang On ARV ada 15 Odha, LFU 14 dan meninggal 6.
Data Dinkes setempat telah ditemukan 51 Kasus sampai Desemer 2016, Data Puskesmas setempat, mencatat yang sudah terapi ARV 35 orang, yang On ARV ada 15 Odha, LFU 14 dan meninggal 6.
Perjalanan ke Kabupaten ini membutuhkan perjuangan, merogoh dompet, menguras tenaga
dan menantang nyali namun kenyataannya HIV menembus alam, membelah bumi,
meninggalkan kerja yang tak mudah.
Cerita penanggulangan HIV di sinipun unik, dari
sistim bayar kepala saat ada kematian karena AIDS, keterlambatan distribusi
ARV, mahalnya transportasi ke layanan ARV serta kurangnya informasi.
Lalu kita berasumsi, data 38,874 kasus merupakan
sebuah ketidak benaran yang sengaja diangkat ke permukaan untuk sebuah proyek
tanpa memahami dengan benar dari mana asal data tersebut yang kemudian
dipergunakan sebagai bahan dasar penyusunan program intervensi.
Jika melihat data estimasi sesuai dengan hasil
survei 2013, maka diperkirakan kasus HIV AIDS di Papua sebanyak 71.094 Kasus
dengan rasio jumlah Penduduk Papua adalah 3.091.047 Jiwa. Jika mengacu pada
hitungan ini maka kita baru membongkar gunung es kasus HIV AIDS 45.32%.
HIV di Papua tidak saja menembus batas geografis,
namun juga menembus batas umur dan status sosial.
Kemudina kita mengkambing hitamkan data sebagai
sebuah sensasional proyek yang tidak memanusiakan setiap manusia di atas negeri
ini.
Data merupakan pencerminan dari kerja selama 27
tahun ini. Seharusnya dengan data yang ada, bagaimana setiap elemen
penanggulangan bersinergi melakukan kerja-kerja penanggulangan berbasis
kearifan lokal dan tepat guna bagi peningkatan mutu hidup orang terinfeksi HIV.
Jika kita meragukan data yang dikeluarkan secara
resmi oleh Dinas Kesehatan Provinsi Papua sebagai representasi Pemerintah
Daerah, maka kita lagi menempatkan Pemerintah Daerah Papua sebagai pelaku
pembohongan publik terkait kasus HIV di Papua apalagi keraguannya datang dari
sebuah lembaga resmi di bawah Pemerintah Daerah.
Selama terjun dalam penanggulangan HIV AIDS dan
mendampingi orang yang terinveksi HIV sejak tahun 2002, saya tidak pernah ragu
dengan setiap angka yang dikeluarkan oleh Lembaga Pemerintah dalam hal ini
Dinas Kesehatan, baik Provinsi maupun Kabupaten Kota.
Kenapa saya tidak ragu dengan data yang
dikeluarkan, semenjak Januari 2016 sampai dengan 31 Desember 2018, Yayasan
Cendrawasih Bersatu telah mendukung 22.958 ODHA baik yang sudah terapi ARV
maupun yang belum terapi ARV di 7 Kabupaten dan 1 Kota di Provinsi Papua. Orang
terinfeksi HIV yang mendapat dukungan adalah kebenaran yang dapat dibuktikan.
Bahkan untuk tahun 2018, Yayasan Cendrawasih
Bersatu selain memberikan dukungan kepada ODHA yang terapi ARV untuk
kepatuhannya, dari Januari sampai dengan Desember 2018, YCB telah merujuk
kembali 436 Orang terinfeksi HIV yang lost to follow up ARV untuk memulai
terapi ARV setelah putus obat.
Melihat fenome ini, maka penanggulangan HIV AIDS
di Papua harus tepat sasaran dan tepat guna, jika tidak maka kita akan
menciptakan masalah baru, yakni stigma dan diskriminasi yang dikarenakan
pendekatan kita. 3 Komponen penting dalam penanggulangan HIV dan AIDS yakni
Dinas Kesehatan, Komisi Penanggulangan AIDS (yang di dalamnya ada banyak
stakeholder / pemangku kepentingan) dan Masyarakat harus duduk sejajar dalam
pembahasan rencana strategi penanggulangan HIV dan AIDS di Papua.
Selama 3 komponen ini tidak bersinergi, maka
penanggulangan HIV dan AIDS hanyalah sebuah kerja membanting tulang tanpa
hasil. Kita akan seperti orang yang menjaring angin. Dan yang ada hanyalah
keputus asaan melihat peningkatan kasus baru dan kematian karena AIDS.
HIV menembus batas geografis Papua sesuai dengan
data yang dapat dipertanggung jawabkan oleh Dinas Kesehatan Papua dan Dinas
Kesehatan Kabupaten Kota, merupakan dorongan untuk semua elemen mengambil peran
bermakna tanpa harus menyalahkan yang lain, karena penanggulangan HIV dan AIDS
terutama bagi kita di Papua yang levelnya sudah pada populasi umum.
Jika kita saling menyalahkan dan berdebat kusir,
maka HIV akan menari-nari; karena data menunjukan bahwa Lost to follow up ARV
di Papua 37.26% dan kita baru membongkar fenomena gunung es 45.32%.
Oleh
Pdt. Sefnat JD. Lobwaer
Pdt. Sefnat JD. Lobwaer
Ketua Yayasan Cendrawasih Bersatu
Sekretaris Daerah GSJA Papua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar