Oleh:
Sefnat JD. Lobwaer
Semenjak penemuan kasus HIV
pertama kali di Papua (dulu Irian Jaya) tepatnya di Kabupaten Merauke pada
tahun 1992, Papua selalu menjadi sorotan.
Memasuki dasawarsa ke 3,
persoalan HIV di Papua tetap menjadi isu hangat untuk dibahas, baik dari sisi
programnya, sosial terlebih kesehatan, namun hal yang menarik dari semua isu
ini adalah pandangan banyak tokoh Papua terkait masalah HIV yang dikaitkan
dengan pemusnahan satu suku (Genosida). *baca buku Luka Papua.
Perjalanan waktu 23 tahun,
meninggalkan banyak cerita yang terkadang menimbulkan banyak tanya dihati
masyarakat bahkan pegiat HIV itu sendiri; ADA
APA DIBALIK HIV di PAPUA. Pertanyaan yang sulit dijawab namun juga mungkin
sangat mudah untuk dijawab, bahkan mungkin jawaban lahir dari ketidakpercayaan
dari sebuah realita.
Memang, ada banyak juga kisah hero yang kita temui dalam perjalanan 23
tahun ini, namun kita juga tidak menutup mata untuk melihat sisi hitam dari
adanya HIV di Tanah Papua ini. Kita harus mengakui bahwa ada yang dengan tulus
bekerja untuk kebaikan tanah ini dalam memerangi HIV, namun kita juga tidak
bisa pungkiri bahwa ada yang bekerja untuk popularitas pribadi; mengambil
kesempatan dari situasi yang ada.
Benarkah HIV adalah KOMODITI
Politik untuk Papua?
Memang ada bantahan bahwa HIV adalah murni dari persoalan kesehatan sosial
yang jauh dari isu Politik, namun apakah ini kebenaran mutlak? Jawabannya
mungkin tidak. Masa setelah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 75
tahun 2006 tentang Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS, salah satu Pokja di
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional adalah POKJA PAPUA yang secara bahasa
program disetarakan dengan Populasi Kunci (GWL, OPSI dan jaringan lainnya).
Dalam pertemuan tahun 2008 di Sorong Papua Barat, para aktivis yang kebanyakan
adalah Staf KPAP dan KPAK/K mempertanyakan kehadiran Pokja Papua ini.
Sudah parahkah situasi HIV di Tanah Papua sehingga harus ada Pokja
Khusus di KPAN? Kenapa tidak ada Pokja Bali? Padahal Bali merupakan Provinsi di
Indonesia yang pertama kali ditemukan kasus HIV. Kehadiran Pokja Papua secara
khusus di KPAN mengindikasikan bahwa memang ada campur tangan (yang tidak
tampak secara kasat mata) dari sebuah sistem yang terbangun untuk membangun
paradigma politik terkait HIV di Papua. Secara tidak langsung keistimewaan ini
menjadikan Papua selalu dalam sorotan pada pertemuan-pertemuan nasional dan
merupakan isu hangat jika dibahas dikalangan donor internasional.
Terkadang dalam pembahasan tingkat nasional menyangkaut kasus HIV di
Papua, jarang bahkan “mungkin” tidak pernah melibatkan orang Papua. Pembahasan
SRAN 2015 – 2019 (contoh terkini) juga membahas tentang Papua, tapi sangat
disayangkan tidak melibatkan para pegiat dari Papua yang memahami konteks
kearifan lokal.
Papua, menurut STHP 2006 prevalensinya 2,4%. Hasil ini secara politik
mendorong Pemerintah Pusat dan Daerah untuk harus mengambil peran penting dalam
penyelamatan masyarakat Papua. Memang Kementrian Kesehatan membuat jalan pintas
menyikapi hasil ini dengan sebuah program seksi “SAVE PAPUA”, namun kembali
mendapat resisten dari masyarakat Papua.
Melihat kuatnya resisten baik dari beberapa Kepala Dinas Kesehatan
maupun aktivis HIV, dikamuflase sedemikian rupa dengan bungkusan Percepatan
Pembangunan Kesehatan di Tanah Papua (P2KTP) dengan dana yang tidak sedikit.
Tidak tanggung-tanggung Kementrian Kesehatan menyediakan dana sebesar Rp.
700.000.000.000 (tujuh ratus milyar rupiah) untuk program P2KTP di 13 Kabupaten
Kota di Tanah Papua.
Untuk Papua sendiri ada 9 Kabupaten Kota Prioritas P2KTP yakni: Kota
Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Merauke, Kabupaten Mimika, Kabupaten
Jayawijaya, Kabupaten Nabire, Kabupaten Sarmi, Kabupaten Waropen dan Kabupaten
Supiori.
Melihat dana yang besar dan hanya beberapa kabupaten dan kota membuka
harapan bagi masyarakat untuk dapat meningkatkan derajat kesehatan, terutama
masalah HIV, Malaria dan kesehatan ibu dan bayi.
Harapan yang dibangun untuk melihat kesejateraan masyarakat terkait
derajat kesehatan menjadi cerita sedih dari sebuah program megah yang tidak
menghasilkan dampak signifikan di masyarakat.
Lembaran-lembaran cerita dari Program ini mendorong para aktivis untuk
berteriak meminta pertanggung jawaban Rp. 700.000.000.000 ini. Apakah ada
perkembangan layanan kesehatan secara bermakna yang dapat meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat di Distrik Jayapura Utara, Distrik Jayapura Selatan,
Abepura dan Distrik Muara Tami (Kota Jayapura); di Yapsi dan Kaureh (Kabupaten
Jayapura); Distrik Kimaam dan Distrik Okaba di Kabupaten Merauke; Sarmi Selatan
dan Pantai Barat di Kabupaten Sarmi; Napan dan Mapia di Nabire; Jila dan
Akimuga di Kabupaten Mimika; Kirihi dan Inggerus di Kabupaten Waropen; Supiori
Selatan dan Supiori Barat di Kabupaten Supiori; serta di Mapenduma, Keneyam,
Kuyawage, Wosak dan Gearek di Jayawijaya? (distrik-distrik
prioritas P2KTP di 9 Kabupaten/Kota). Yang pasti kita masih menemukan
kepincangan layanan kesehatan terhadap masyarakat di daerah-daerah tersebut
jika kita tidak ingin mengatakan bahwa sangat jauh dari harapan, masyarakat
mendapatkan hak kesehatannya dengan kemegahan “nama program” yang melangit
tetapi tidak membumi dalam menjawab problem kesehatan di Papua. Seharusnya
dengan dana yang besar, akan mampu membangun fasilitas layanan yang dapat
dinikmati oleh masyarakat yang berdampak pada peningkatan derajat kesehatan.
Namun dapatkah kita jujur dengan realita yang ada? Berapa banyak
kematian karena AIDS, berapa banyak kematian karena TB dan juga malaria? Berapa
banyak ibu-ibu terenggut nyawanya saat melahirkan dan berapa banyak bayi yang
tidak dapat menikmati indahnya hidup ini karena buruknya kesehatan ibu dan
anak.
Padahal programnya cukup megah “PERCEPATAN PEMBANGUNAN KESEHATAN TANAH
PAPUA” setitik cerita sedih dari layanan kesehatan di Distrik Kimam yang
merupakan sasaran program P2KTP di Kabupaten Merauke. Puskesmasnya baru selesai
dibangun setelah selesai Program P2KTP, itupun kini menjadi bangunan yang jauh
dari jangkauan masyarakat, masyarakat mengakses layanan kesehatan pada rumah
sakit perusahan. Padahal P2KTP adalah program memperkuat layanan kesehatan pada
Puskesmas demi mendekatkan layanan kesehatan yang memanusiakan manusia Papua,
sehingga unsur mendekatkan akses layanan dengan masyarakat terpenuhi, bahkan
unsur keterjangkauan masyarakatpun terjawab.
Namun sangat disayangkan, pola kerja dari Konsep Percepatan
Pembangunan Kesehatan Tanah Papua, pola kerjanya bukan menguatkan Puskesmas
atau Puskesmas Pembantu yang ada namun menggunakan sistim Mobile Clinic, yang
petugasnya datang dan pergi yakni 2 kali dalam 3 bulan untuk mengunjungi
kampung dan berada di kampung selama kurang lebih 3 hari dan kembali ke Base
Camp yang kebanyakan Base Campnya secara realita ada di ibu Kota Kabupatan/Kota.
Bisa terbayangkan berapa banyak uang yang akan dihabiskan dari Rp.
700.000.000.000 tersebut untuk transportasi yang dibutuhkan oleh Tim yang
sedikitnya adalah 6 orang.
Percepatan Pembangunan Kesehatan Tanah Papua, program yang menjanjikan
bagi keberlangsungan mutu kesehatan di Tanah Papua yang sampai saat ini belum
terukur secara nyata dampaknya bagi masyarakat di Tanah Papua. Potret kesehatan
masyarakat di Papua semakin memprihatinkan dengan banyaknya layanan yang tidak
menghadirkan layanan sesuaia dengan UU Kesehatan Republik Indonesia. Kesehatan
yang menjadi tanggung jawab Pemerintah seakan menjadi hal yang mahal untuk
dijangkau. Berbicara terkait isu HIV, memang benar bahwa sampai saat ini ARV
masih disubsidi oleh Pemerintah sehingga setiap orang dengan HIV bisa mengakses
ARV secara gratis, tapi tidak dibarengi dengan strategi pendukung lainnya. ARV
boleh gratis tetapi untuk sampai di Rumah Sakit rujukan ARV, seorang ODHA bisa
menghabiskan jutaan rupiah untuk transportasi, belum lagi biaya hidup lainnya
di kota.
Seharusnya dengan di subsidinya ARV dibarengi dengan sistem layanan
yang terjangkau bukan hanya biaya pengobatan yang terjangkau namun juga harus
memperhatikan keterjangkauan masyarakat dari segi wilayah.
Payung hukum
kita cukup jelas Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H Ayat 1, mengamanatkan
setiap warga Negara Berhak Memperoleh Layanan Kesehatan.
Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan undang-undang Positif di Republik Indonesia dan merupakan landasan berpijak dalam membangun Negara Republik Indonesia, maka sudah seharusnya Negara menjamin kenyamanan Layanan Kesehatan bagi setiap Warganya.
Undang-undang Dasar 1945 menjadi landasan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan " Negara menyadari bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksudkan dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Mengacu pada amanat UU Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 Pasal 4 Setiap orang berhak atas kesehatan, Pasal 5 ayat 1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan; ayat 2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau; ayat 3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya, Pasal 6 Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan; seharusnya menjadi emas bagi setiap warga negara termasuk masyarakat yang mendiami Tanah Papua. Implementasi dari UU Kesehatan ini seharusnya menjadi tolak ukur bagaimana “PERCEPATAN PEMBANGUNAN KESEHATAN TANAH PAPUA” dilaksanakan, bukan sekedar slogan yang megah untuk menunjukan kepada dunia bahwa Papua menjadi prioritas Pemerintah Pusat terkait kesehatan masyarakat Papua, sebagaimana yang tertuang pada Pasal 3 Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis; tetapi hanyalah bungkusan kado yang indah namun isinya tidak dapat dinikmati oleh masyarakat Papua.
Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan undang-undang Positif di Republik Indonesia dan merupakan landasan berpijak dalam membangun Negara Republik Indonesia, maka sudah seharusnya Negara menjamin kenyamanan Layanan Kesehatan bagi setiap Warganya.
Undang-undang Dasar 1945 menjadi landasan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan " Negara menyadari bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksudkan dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Mengacu pada amanat UU Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 Pasal 4 Setiap orang berhak atas kesehatan, Pasal 5 ayat 1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan; ayat 2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau; ayat 3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya, Pasal 6 Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan; seharusnya menjadi emas bagi setiap warga negara termasuk masyarakat yang mendiami Tanah Papua. Implementasi dari UU Kesehatan ini seharusnya menjadi tolak ukur bagaimana “PERCEPATAN PEMBANGUNAN KESEHATAN TANAH PAPUA” dilaksanakan, bukan sekedar slogan yang megah untuk menunjukan kepada dunia bahwa Papua menjadi prioritas Pemerintah Pusat terkait kesehatan masyarakat Papua, sebagaimana yang tertuang pada Pasal 3 Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis; tetapi hanyalah bungkusan kado yang indah namun isinya tidak dapat dinikmati oleh masyarakat Papua.
Inilah 4 kebijakan P2KTP yang diharapkan menjadi jawaban
bagi persoalan Kesehatan di Masyarakat Papua’ yakni:
- Memberi dukungan bagi peningkatan Akses, Mutu dan Sumberdaya Yankes melalui Puskesmas dan jaringannya, serta pembangunan RSUD sesuai Rencana Induk.
- Memfasilitasi Peningkatan Penanggulangan Penyakit-2 HIV/AIDS, TBC, Malaria, Kusta, Frambusia, Filaria dan PTM.
- Memfasilitasi Peningkatan Yankes Ibu, Anak dan Reproduksi.
- Memberikan dukungan bagi Program Peningkatan Gizi masyarakat dan Kesehatan Lingkungan.
Realitanya, masih banyak
harapan yang jauh untuk dijangkau, walau dananya cukup wouw, seharusnya dengan
kebijakan dan ditunjang dengan 3 strategi utama menjadi kekuatan dalam
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang berdampak langsung pada usia
harapan hidup masyarakat Papua.
3 Strategi P2KTP yang dipakai dalam Program
P2KTP.
1. Penguatan Sistim
Kesehatan Dinkes Provinsi, Kab/Kota, RSUD dan Puskesmas serta jaringannya berupa:
a.Pelayanan
Kesehatan (Mobile dan Stasioner)
b.Penempatan
Dokter Spesialis & Yan Rujukan
c.Penguatan
manajemen Dinas Kesehatan, RSUD dan Puskesmas
2. Pembangunan
Infra Struktur Kesehatan dan peningkatan Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat
(UKBM) berupa:
a.Pembangunan
Puskesmas & jaringannya.
b.Pembangunan
RSUD.
c.Pembangunan
Pos Kes Des.
3. Pelaksanaan
Mobile Clinic bagi daerah terpencil /sangat terpencil.
Menarik sekali untuk dikaji
keberhasilan P2KTP dari 3 strategi ini, baik secara kasat mata maupun ilmiah.
Seharusnya masyarakat di Distrik Prioritas ini dapat menikmati layanan
kesehatan yang memadai dan terjangkau secara ekonomi maupun jarak jika
bercermin pada dana, kebijakan dan strategi P2KTP ini.
STHP 2006 yang 2,4% bukan saja mendorong Pemerintah, tetapi menjadi
magnet tersendiri bagi donor asing masuk ke Papua. Setelah 7 tahun kemudian,
Kementrian Kesehatan melalui survei IBBS 2013 prevalensi di Papua 2,3%. Ada banyak
orang menganggap ini sebuah keberhasilan walau hanya 0,1%. Tetapi
dokumen-dokumen yang ada menyatakan bahwa STHP 2006 dengan IBBS 2013 tidak bisa
disejajarkan yang artinya bahwa IBBS 2013 tidak bisa menjadi ukuran terhadap
STHP 2006.
Kalau kita menutup mata dengan dokumen-dokumen yang ada bahwa tidak
bisa disejajarkan dan menganggap bahwa kita dapat menekan dari 2,4% menjadi
2,3% selama 7 tahun maka berapa banyak uang yang akan kita kucurkan untuk
penanggulangan dan berapa banyak waktu yang kita butuhkan untuk menekan
prevalensi <1%?
Ataukah melihat situasi ini kita membenarkan bahwa ada pembiaran?
Dengan lantang kita katakan bahwa kita telah bekerja sebagai penolakan terhadap
pernyataan pembiaran. Tapi ternyata memang banyak terjadi pembiaran dengan
hadirnya program-program yang tidak menyentuh akar permasalah HIV yang
sebenarnya di Papua.
Kita belum selesai dengan P2KTP, oleh Komisi Penanggulangan AIDS
Nasional (KPAN) dan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia menghadirkan
Strategi baru dengan nama LKB (Layanan Komprehensif Berkesinambungan) dengan
mengusung 6 pilar penting. Secara program dan teori, seakan memberikan harapan
baru bagi layanan kesehatan di Tanah Papua secara khusus sebagai daerah epidemi
meluas, namun sampai dengan saat ini, LKB ini masih menjadi sesuatu yang jauh
untuk dijangkau. Persoalan utamanya adalah konsep yang ditawarkan tidak
mendarat dengan baik pada setiap sektor sehingga membuat masyarakat tidak
tersentuh dengan sistem ini.
6 Pilar yang ditawarkan seakan membuka mata kita tentang bagaimana
layanan komprehensif ini dibangun yang muaranya adalah masyarakat menikmati
layanan kesehatan yang baik. Namun kita melupakan kalau dihulu masih banyak hal
yang harus diselesaikan. Banyak layanan masih melihat orang dengan HIV sebagai
PASIEN bukan sebagai mitra dalam perencanaan program, pelaksanaan program dan
monitoring evaluasi program. Kalaupun ada, tanpa menyampingkan apa yang sudah
dilakukan tetapi kebanyakan keterlibatan Orang dengan HIV sebagai formalitas.
Kehadiran Odha hanya sebagai penerima manfaat bukan sebagai kreator bersama
stakeholder lainnya dalam mendesain program.
SUFA merupakan salah satu program yang terkini oleh Kementrian
Kesehatan dengan Slogan TOP (Temukan, Obati dan Pertahankan) ternyata dalam
laporan Kementrian Kesehatan tahun 2013 dan 2014, Papua menjadi Provinsi dengan
presentasi tertinggi Lost to Follow Up ARV yakni 26% diatas Jawa Timur 23% dan
Jakarta 18%.
SUFA merupakan strategi untuk populasi kunci (kicauan orang kemkes)
namun yang menjadi keheranan strategi ini juga diterapkan di Papua yang adalah
epidemi meluas bukan terkonsentrasi. Dengan kasus LFU yang tinggi, seakan kita
mengiyakan bahwa ada pembunuhan pasif terhadap masyarakat Papua karena banyak
pengguna ARV yang putus obat memiliki potensi untuk menciptakan HIV yang kebal
terhadap ARV.
Mengerikan jika dibayangkan dampak dari LFU ini terhadap harapan hidup
masyarakat Papua.
Dengan Slogan TOP, terjadilah mobilisasi masyarakat untuk memeriksakan
diri yang juga merupakan salah satu indikator program “donor” namun sangat
disayangkan bahwa sebenarnya banyak layanan yang belum siap untuk menghadapi
keinginan masyarakat untuk mengetahui status HIVnya.
Bukan hanya layanan, LKB juga belum maksimal dengan 6 pilarnya
sehingga peran masyarakat masih jauh dari harapan. LKB hanya diketahui oleh
segelintir orang dan menjadi harta yang tersimpan rapi tanpa ada implementasi
nyata dalam gerak penanggulangan HIV dan AIDS di Papua.
Sehingga seakan-akan SUFA adalah strategi yang dipaksakan untuk
diterapkan di Papua.
Regent pemeriksaan HIV (Rapit tes) juga meninggalkan kisah tragis di
Papua. Dibeberapa Kabupaten/Kota hasilnya menghadirkan polemik. Hasil
pemeriksaan dinyatakan reaktif setelah dikonfirmasi ulang ternyata non reaktif,
beberapa kasus dari cerita ini dialami oleh ibu-ibu rumah tangga yang sedang
hamil dan sudah memulai terapi ARV. Kita bisa membayangkan dampak spikologis
bagi suami isteri saat menerima status HIV sang isteri dan ketakutan penularan
terhadap janin? Belum lagi dampak kekerasan dan kecurigaan? Tapi sayangnya
sampai saat tulisan ini ditulis belum ada satu jawabanpun yang dapat diberikan
oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab sebagai solusi dari permasalah regen
ini.
Dalam sorotan slogan TOP, 2 tahun
terakhir ini pula terjadi lonjakan penemuan kasus HIV namun sangat disayangkan
bahwa hanya 54% dari yang memenuhi syarat ART masuk dengan ART. Dan dari 7063
orang (54%) yang memulai ART hanya 49,95% (50%) yang masih aktif dengan
menggunakan ARV dan kematian saat menggunkan ARV 14,36% sedangkan diharapkan
dengan ARV terjadi peningkatan mutu hidup orang terinfeksi HIV, kematian ini
sejalan karena dari 17605 yang dirujuk ke PDP, yang masuk dengan stadium AIDS
sebanyak 10184 kasus. Provinsi Papua, menjadi penyumbang kasus AIDS tertinggi
di Indonesia yakni 10184 Kasus, diikuti oleh Jawa Timur sebanyak 8976, DKI
Jakarta dengan kasus sebanyak 7477 sedangkan untuk kasus HIV Papua menjadi
penyumbang ke tiga setelah DKI Jakarta dan Jawa Timur. (Laporan Kementrian
Kesehatan Triwulan 3 Tahun 2014 tertanggal 17 Oktober 2014).
Grafik 9. Sepuluh Provinsi yang Melaporkan Jumlah
Kumulatif AIDS Terbanyak
Tahun 1987 sd September 2014
Tahun 1987 sd September 2014
Dikutip dari laporan Kemenkes Triwulan 3 Tahun 2014.
Grafik 10. Sepuluh Provinsi dengan AIDS Case Rate Tertinggi
sampai dengan
September 2014
September 2014
Menilik grafik 10, maka AIDS Case Rate di Tanah Papua jauh diatas
semua provinsi yang ada, dan jika tidak dilakukan pendekatan sosiologi dan
antropologi (kearifan lokal) maka tidak mungkin persoalan HIV di Tanah Papua
akan menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat Asli
Papua.
P2KTP, LKB dan SUFA adalah strategi yang terbangun tanpa melihat
sosiologi dan antropologi Papua sebagai satu komunitas yang memiliki kearifan
lokal tersendiri. Memang kita ada dalam bingkai NKRI sebagai satu kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan, namun bukan berarti segala sesuatu seharusnya dilakukan
dan dipikirkan secara nasional.
Sistem perencanaan penganggaran penanggulangan HIV-AIDS secara
nasional juga menjadi penghambat tersendiri bagi penanggulangan HIV dan AIDS di
Tanah Papua. Pendanaan melalui dana bantuan GF (Global Fun) menjadi contoh bagi
kita dimana unit cost tiap kegiatan dari Sabang sampai Merauke adalah sama, hal
ini mencerminkan bahwa sebenarnya orang di Nasional tidak memahami geografis
Papua walau selalu di gembar-gemborkan bahwa Geografis Papua sulit dan
transportasinya mahal namun tidak serta merta kebijakan keuangan mengikuti
pemahaman tersebut.
HIV – AIDS di Papua adalah
KOLONIALISME BARU?
Melihat perkembangan HIV dan AIDS di Papua, mulai disoroti oleh masyarakat
awam. Mulai dari Genosida, Depopulasi masyarakat Papua dan kemudian muncullah
istilah baru bahwa HIV di Papua adalah bentuk Kolonialisme Baru terhadap Papua.
Realita penularan HIV di Papua dan merebaknya dunia hiburan
(Lokalisasi, BAR, Diskotik dan Panti Pijat) mempertegaskan kepada masyarakat
awam bahwa penularan HIV di Papua telah tertata sebagai bagian dari strategi
Genosida. Transaksi seks Kayu Gaharu di tahun 1990an dan awal tahun 2000an
merupakan cerita nyata dari sebuah episode di daerah Selatan Papua. Para
pengelola BAR, Diskotik, Panti Pijat dan Mucikari di Lokalisasi dalam
mendatangkan pekerja baru di Papua, ada yang sudah terinfeksi HIV dan juga IMS.
Realita-realita ini membuat masyarakat Adat menilai bahwa Pemerintah tidak
serius dalam melakukan pencegahan penularan HIV di Papua dan bagian dari
pembiaran. Disisi lain, saat Pemerintah Kabupaten/Kota dengan kebijakan lokal
mengintervensi penularan di kalangan Pekerja Seks secara tegas menjadi sorotan
Nasional dengan dalil HAM.
Pertanyaan yang mengelitik adalah, HAM siapa yang harus kita lindungi;
HAM masyarakat Papua atau pencari “nafkah” melalui transaksi seks yang kita
lindungi. Kita tidak bisa pungkiri bahwa kita harus melindungi semuanya, namun
apakah kita membiarkan menguatnya paradigma masyarakat awam bahwa HIV adalah
bagian dari strategi pemusnahan atau penjajahan baru dari sebuah sistem yang
terstruktur terhadap masyarakat Papua?
Banyak strategi sudah dicoba di Papua untuk meredam isu Politik dari
kasus HIV dan AIDS, namun semua strategi ini menambah kuatnya wacana Genosida,
Depopulasi dan Kolonialisme Baru. Strategi terbaru yaitu SUFA membuka mata kita
bahwa ada apa dibalik HIV di Papua. Seharusnya bukan SUFA yang diterapkan di
Papua karena SUFA adalah Strategi untuk daerah epidemi terkonsentrasi bukan untuk
Papua yang epideminya berbeda dengan Provinsi lain di Indonesia sesuai dengan
hasil STHP 2006 dan IBBS 2013.
Intervensi Program di Papua diharapkan dapat menekan lajunya epidemi
di Tanah Papua, namun karena selama 20 tahun intervensinya pada Pekerja Seks
maka setelah hasil STHP 2006 dan IBBS 2013 menunjukan bahwa intervensi Program
mengakibatkan epidemi berbalik arah. Dimana awalnya epidemi berada pada Wanita
Pekerja Seks namun memasuki dasawarsa ke tiga ini, epidemi di Papua sudah pada
populasi umum.
Dan sangat memprihatinkan bahwa data menunjukan epidemi di Kalangan
Ibu Rumah Tangga meningkat tajam dan akan berdampak pada pertumbuhan masyarakat
Papua. Pencegahan dan Penanggulangan di Populasi Umum sangat sulit jika
dibandingkan dengan Populasi Kunci.
SIRKUMSISI dan HIV di PAPUA.
Beberapa tahun terakhir ini, Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Papua
yang dimotori oleh drh. Costan Karma mulai memperkenalkan sirkumsisi sebagai
solusi atau salah satu solusi memerangi HIV di Tanah Papua.
Sedikit cerita
dari Jogja.
Ada banyak
teman yang mendiskusikan hal ini dengan saya waktu di PERNAS Jogya tahun 2011
setelah dipresentasikan. Ada banyak kontra maupun pro, tapi bagi saya ini
merupakan reaksi yang wajar, memang ada banyak yang datang di kelas Satelit ini
untuk melihat, mendengar dan belajar terkait tawaran kongrit apa yang akan
disampaikan oleh KPAP Papua dalam Program Penanggulangan HIV di Papua secara
terpadu, hal ini juga bagi saya adalah hal yang wajar, karena dalam pembukaan
pertemuan Forum Komunitas, baik Istri Gubernur DI Yogjakarta maupun Pembicara
Lainnya telah menyoroti kasus HIV di Papua yang telah masuk pada ranah
masyarakat umum.
Namun jika kita melihat dari Judul dari Kelas Satelit ini maka wajar kalau yang di tampilkan adalah SIRKUMSISI, bagi saya inipun satu kemajuan kalau tidak mau dibilang besar, boleh saya katakan ini merupakan satu titik baru yang bisa menjadi sebuah lingkaran besar dalam proses penanggulangan HIV di Papua, oleh sebab itu, mari kita lihat sisi lain yang positif dari SIRKUMSISI ini dengan dalil-dalil yang bisa dipertanggung jawabkan dari semua sisi, baik secara Alkitabiah (Gerejawi) yang nota benenya Gereja-Gereja di Tanah Papua yang memiliki Paham Kalvinisme, Juga secara budaya Masyarakat Tanah Papua maupun sisi Kesehatan.
Tapi hal yang terpenting, mari kita duduk bersama (KPA, NGO, Pemerintah dan CSO) membicarakan SOLUSI YANG BESAR bagi Penanggulangan HIV di Papua ini, persoalannya siapa yang mau memediasi pertemuan ini. Sebuah pertemuan yang didasari atas kecintaan terhadap Tanah ini dan masyarakatnya bukan sekedar untuk melindungi kepentingan-kepentingan tertentu yang pada akhirnya memburamkan konsep besar Penanggulangan, duduk bersama dalam keterbukaan bukan hanya program tapi juga pendanaan sehingga dapat diukur apakah program ini dapat mendarat dengan baik di tatanan masyarakat atau hanya demi kepentingan sesaat, duduk bersama tanpa didasari oleh ketidaksukaan terhadap seseorang maupun lembaga.
Tanah ini membutuhkan pemikir-pemikir kreatif dalam Penanggulangan HIV dan Pemimpin-pemimpin yang bekerja secara tulus (walau ketulusan sulit diukur secara lahiriah).
Namun jika kita melihat dari Judul dari Kelas Satelit ini maka wajar kalau yang di tampilkan adalah SIRKUMSISI, bagi saya inipun satu kemajuan kalau tidak mau dibilang besar, boleh saya katakan ini merupakan satu titik baru yang bisa menjadi sebuah lingkaran besar dalam proses penanggulangan HIV di Papua, oleh sebab itu, mari kita lihat sisi lain yang positif dari SIRKUMSISI ini dengan dalil-dalil yang bisa dipertanggung jawabkan dari semua sisi, baik secara Alkitabiah (Gerejawi) yang nota benenya Gereja-Gereja di Tanah Papua yang memiliki Paham Kalvinisme, Juga secara budaya Masyarakat Tanah Papua maupun sisi Kesehatan.
Tapi hal yang terpenting, mari kita duduk bersama (KPA, NGO, Pemerintah dan CSO) membicarakan SOLUSI YANG BESAR bagi Penanggulangan HIV di Papua ini, persoalannya siapa yang mau memediasi pertemuan ini. Sebuah pertemuan yang didasari atas kecintaan terhadap Tanah ini dan masyarakatnya bukan sekedar untuk melindungi kepentingan-kepentingan tertentu yang pada akhirnya memburamkan konsep besar Penanggulangan, duduk bersama dalam keterbukaan bukan hanya program tapi juga pendanaan sehingga dapat diukur apakah program ini dapat mendarat dengan baik di tatanan masyarakat atau hanya demi kepentingan sesaat, duduk bersama tanpa didasari oleh ketidaksukaan terhadap seseorang maupun lembaga.
Tanah ini membutuhkan pemikir-pemikir kreatif dalam Penanggulangan HIV dan Pemimpin-pemimpin yang bekerja secara tulus (walau ketulusan sulit diukur secara lahiriah).
Dalam banyak
kesempatan, terjadi diskusi yang panjang dan juga cukup panas saat sirkumsisi
didudukan pada posisi teologi. Ada banyak kecurigaan namun juga mulai banyak
yang dapat menerima sirkumsisi sebagai salah satu alternatif.
Selaku seorang
aktivis HIV, memahami keraguan dan perdebatan yang datang dari masyarakat umum
dengan menyadari bahwa sampai saat ini penggunaan kondom sebagai alat
pencegahan masih menjadi pro dan kontra, padahal kondom dapat mencegah penularan
HIV diatas 90%, maka tidak dapat dipungkiri jika sirkumsisi sesuai dengan
literatur yang ada hanya 60% dapat mencegah penularan HIV sudah pasti ada pro
dan kontra, tetapi pertanyaan penting, apakah kita harus berdebat mencari dan
mendudukan siapa yang benar dan salah pada isu ini?
Namun hal
menarik dari hasil STHP 2006 maupun IBBS 2013 menunjukan bahwa laki-laki yang
tidak bersunat lebih tinggi datanya daripada laki-laki yang bersunat walau
harus ditinjau lebih lagi dari sisi lainnya. Data ini memperkuat hasil yang ada
bahwa sunat adalah salah satu cara pencegahan HIV disamping menggunakan kondom.
Kampanye Sunat
(sirkumsisi) sebagai salah satu cara pencegahan diperkuat olek Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2013, dan juga mulai
mengkaitan dengan penyakit lainnya akibat tidak sunat mulai mendapat respon
positif di kalangan tokoh agama Kristen walau disadari masih ada segelintir
yang resisten terhadap kampanye ini.
Sebagai mana
ketakutan kondom melegalkan seks bebas (kata mereka) demikian juga dengan
sunat, Sehingga menjadikan ketakutan itu semakain kuat, namun juga sebagaimana
penerimaan masyarakat terkait kondom diharapkan juga dengan sunat.
Apakah SUNAT
menjadi solusi terbaik bagi Pencegahan di Papua? Kita belum bisa mengukurnya,
namun saat paradigma bersama terbangun bahwa sunat bukan hanya untuk mencegah
HIV tetapi juga penyakit yang lain dan sebagai perlindungan terhadap Perempuan
dari kanker serviks juga menjadi dorongan tersendiri bagi kaum perempuan untuk
mengkampanyekan isu ini.
GEREJA dan HIV di PAPUA.
Dalam sebuah pertemuan di tahun 2013 di Hotel Gran Abe yang dilakukan
oleh Mahasiswa STT dengan sorotan tema
“menggagas teologi kehidupan” terkait dengan HIV dan AIDS.
Hal yang menarik namun juga sangat menyedihkan bahwa ada seruan
pertobatan masal karena HIV ini dan di kaitkan dengan Kota Niniwe. Seruan ini
menunjukan bahwa Gereja belum memahami dengan benar tentang HIV dan AIDS itu
sendiri. Dengan pernyataan seruan ini maka sebenarnya Gereja masih mengaminkan
bahwa persoalan keterpaparan HIV adalah PERBUATAN DOSA dan terkait erat dengan
MORAL.
Selama Gereja masih menempatkan keterpaparan dari sisi moral dan dosa,
maka Gereja akan melakukan kerja-kerja penanggulangan dalam garis tegas dan
tebal bahwa semua orang yang terinfeksi HIV adalah PENDOSA dan bagian dari
bilangan orang-orang yang tidak bermoral.
Padahal dalam perjalanan realita garis tebal ini menjerumuskan Gereja
melakukan DISKRIMINASI terhadap orang yang terinfeksi HIV dan menghilangkan
hukum kasih.
Seharusnya Gereja melihat persoalan HIV merupakan bagian dari unsur
spiritual dimana Gereja dituntut untuk mengambil peran pastoral yang berorintasi
pada HUKUM KASIH.
KOMISI PENANGGULANGAN AIDS dan
HIV di PAPUA.
Metro Realita pernah menyeroti HIV di Papua dengan tema “HIV mengepung
PAPAU”. Bagaimana HIV menggurita dari perkotaan sampai kepada pelosok kampung
yang sulit terjangkau oleh transportasi namun dapat dijangkau oleh HIV,
bukankah hal ini mengindikasikan kepada kita bahwa begitu cepatnya penularan
ini terjadi di Papua.
Penemuan kasus pertama di tahun 1992, banyak orang mensinyalir bahwa
HIV masuk di Papua dibawah oleh nelayan asing (Thailand). Kita menjadikan
mereka (Nelayan Thailand) sebagai tameng dalam menempatkan posisi masyarakat
kita sebagai masyarakat yang bermoral dan menjadi korban dari sebuah sistem yang
terbangun secara sistimatik dalam rangka Genosida. Namun kita lupa bercermin
dari beberapa peristiwa masa lampau. Di Merauke, Pastor Fertenten menjadi
cerita Hero di kalangan masyarakat Marind
sebagai pahlawan kemanusiaan yang menyelamatkan masyarakat Marind dari
kepunahan karena Gonore di tahun 1920an. Hal ini menunjukan bahwa sebenarnya
masyarakat kita di masa lalupun sudah mengenal IMS.
Menyikapi persoalan HIV di Papua, pemerintah Daerah tidak berdiam
diri. Tahun 1992 penemuan kasus pertama maka setahun setelah itu Pemerintah
Daerah Merauke melalui Keputusan Bupati Nomor 359 Tahun 1993 tanggal 15
November 1993 tentang pembentukan Tim Penanggulangan HIV dan AIDS (TPHA)
Kabupaten Merauke kemudian berubah sesuai dengan Keputusan Bupati Nomor 79
tahun 2006 menjadi Komisi Penanggulangan AIDS Daerah.
Sejalan dengan peningkatan kasus dan dinyatakan sebagai daerah epidemi
meluas, sudah beberapa kali komitmen-komitmen politik dibuat dalam memerangi
HIV di Papua. Sampai dengan tahun 2015 ini, sudah ada 23 Kabupaten/Kota dari 29
Kabupaten/Kota di Provinsi Papua ini yang sudah ada Komisi Penanggulangan AIDS.
Namun kenyataan dari Gerak Komisi Penanggulangan AIDS tidak searah dengan
lajunya epidemi sehingga dapat menekan laju epidemi. Dari 23 Kabupaten/Kota yang
sudah membentuk KPAK/K, 30% KPAK/K belum didukung dengan kebijakan alokasi
anggaran, sedangkan 70% yang sudah didukung alokasi anggaran dari APBD namun
94% anggarannya Rp. 1.000.000.000 kebawah (data tahun 2013)
Padahal kerja-kerja penanggulangan HIV di Papua membutuhkan dukungan
dana Pemerintah Daerah, hal ini juga diperparah dengan sistem pendanaan donor.
Donor berada pada daerah yang pada dasarnya sudah memiliki kekuatan pendanaan
dari Pemerintah Daerah, baik alokasi anggaran pada sekertariat KPA atapun pada
SKPD-SKPD terkait, hal ini berimplikasi langsung pada kinerja Komisi
Penanggulangan AIDS itu sendiri dalam memobilisasi pergerakan penanggulangan
HIV dan AIDS di Daerah. Sekertariat Komisi Penanggulangan AIDS di Papua yang
kuat dan kelihatan kinerjanya adalah KPAK/K yang ada donornya dan kuat APBDnya.
Tidak meratanya kekuatan penganggaran di tiap daerah baik bersumber
dari donor maupun APBD menjadi catatan kelam bagi penanggulangan HIV dan AIDS
yang berpacu dengan prevalensi 2,3 (IBBS 2013). Kebijkan politik (pembentukan
KPAK/K dengan SK Bupati) yang tidak searah dengan kebijakan penganggaran yang
memadai menjadikan kinerja Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten/Kota hanya
sebatas formalitas tanpa daya ungkit yang berdampak pada kualitas kesehatan
masyarakat terkait isu HIV.
Sistem perekrutmen staf sekertariat juga menjadi kendala tersendiri
dalam membangun sebuah tim kerja yang profesional, sehingga tidak mengherankan
jika Komisi Penanggulangan AIDS di Daerah selalu dipertanyakan kinerjanya. Belum
lagi jika kita berbicara tentang transparansi pertanggung jawaban keuangan
penanggulangan di Daerah yang dikelola oleh Sekertariat KPAK/K. Sejauh mana
pertanggung jawaban keuangan itu menjadi ranah publik, mengingat 70% KPAK/K
mendapatkan suntikan dana APBD yang bersumber dari rakyat.
Hal ini tidak mengherankan karena Komisi Penanggulangan AIDS sebagai
lembaga Publik yang mengelola dana yang diharapkan berdampak kepada
kesejahteraan masyarakat dalam membangun derajat kesehatan yang kebih baik,
hampir tidak punya Standar Prosedur Oprasional yang profesional baik SOP
Keuangan, SOP Administrasi, SOP Rekrutmen dan lainnya. Hal ini membuat KPAK/K
berjalan tanpa arah. Permendagri No. 20 Tahun 2007 hanya berbicara tentang
tupoksi sekertaris, pengelola program dan pengelola keuangan sehingga hal ini
diterjemahkan bahwa Sekertariat KPAK/K hanya berisi 3 orang yang akan mengelola
kerja penanggulangan di daerahnya dengan 9 tupoksi KPAK/K.
Tugas Komisi Penanggulangan AIDS
Kabupaten/Kota:
a.
Mengkoordinasi perumusan dan penyusunan
kebijakan, strategi, dan langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka
penanggulangan HIV dan AIDS sesuai kebijakan, strategi, dan pedoman yang
ditetapkan oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional;
b.
Memimpin, mengelola, mengendalikan, memantau,
dan mengevaluasi pelaksanaan penanggulangan HIV dan AIDS Kabupaten/Kota;
c.
Menghimpun, menggerakan, menyediakan dan
memanfaatkan sumberdaya berasal dari pusat, daerah, masyarakat, dan bantuan luar
negeri secara efektif dan efisien untuk kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS;
d.
Mengkoordinasikan pelaksanaan tugas dan fungsi
masing-masing instansi yang tergabung dalam keanggotaan Komisi Penanggulangan
AIDS Kabupaten/Kota;
e.
Mengadakan kerja sama regional dalam rangka
penanggulangan HIV dan AIDS
f.
Menyebarluaskan informasi mengenai upaya
penanggulangan HIV dan AIDS kepada aparat dan masyarakat;
g.
Memfasilitasi pelaksanaan tugas-tugas Camat dan
Pemerintahan Desa/Kelurahan dalam penanggulangan HIV dan AIDS
h.
Mendorong terbentuknya LSM/Kelompok Peduli HIV
dan AIDS; dan
i.
Melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan
penanggulangan HIV dan AIDS serta menyampaikan laporan secara berkala dan
berjenjang kepada Komisi Penanggulangan AIDS Nasional.
Sebagai kaum awam, pertanyaannya apakah dengan 3 orang staf bisa
menjalankan 9 tugas ini dan dapat memenuhi harapan masyarakat Papua dalam
pencapaian three zero (tidak ada infkesi baru, tidak ada diskriminasi orang
terinfeksi HIV dan tidak ada kematian karena AIDS) yang didukung oleh linkungan
yang kondusif?
Selama kekuatan komitmen hanya sebatas wacana tanpa ada implementasi
kebijakan penganggaran serta didukung oleh tim sekertariat yang profesioanl
maka jauh dari harapan kita untuk mencapai three zero. Maka capaian lain adalah
selalu ada infeksi baru dan terus terjadi kematian karena AIDS.
ADA APA dibalik HIV di PAPUA?
Yang pasti kita bukan bekerja untuk membuktikan ada apa dibalik HIV di
Papua, namun kerja yang terbangun lahir dari kecintaan kita terhadap tanah ini
demi setiap insan yang hidup dan beraktifitas di bumi Cendrawasih.
Jika kita bekerja dengan kecintaan untuk tanah ini dan orangnya maka,
kita akan JUJUR dalam kerja kita.
JUJUR sebagai kecintaan ini membuat semua kita memikirkan yang terbaik
bagi tanah ini.
Yang terbaik dalam kebijakan
Yang terbaik dalam penganggaran
Yang terbaik dalam program berbasis kearifan
lokal
Yang terbaik dalam pemerataan kehadiran
donor di tiap daerah
Yang terbaik dalam rekrutmen staf
sekertariat
Yang terbaik dalam pelaporan keuangan tanpa
rekayasa
Yang terbaik dalam pertanggungjawaban publik.
Buatlah yang terbaik dari apa yang terbaik dalam diri kita untuk
kebaikan negeri ini karena apa yang kita tabur hari ini, akan kita tuai.
Jangan pernah mengkhianati tanah ini walau sejengkal dengan mengambil
kesempat dari ada apa dibalik HIV di Papua sebagai bagian dari batu loncatan
untuk mencapai ambisi pribadi yang dikamuflasi dengan kerja-kerja
penanggulangan.
Jangan pernah berdiam diri untuk melihat tanah ini ditunggangi oleh
kepentingan tertentu oleh orang maupun kelompok tertentu, teruslah berteriak
demi keberlangsungan kehidupan hari ini dan masa yang akan datang bagi Papua.
Jangan pernah berhenti untuk mendedikasikan kehidupan kita bagi
penanggulangan HIV di Tanah ini, sampai melihat perubahan yang terjadi dari
epidemi.
Dan JANGAN PERNAH MUNDUR ataupun BERNIAT UNTK BERHENTI dari kerja-kerja
penanggulangan ini, walau terasa berat dan melelahkan karena saat kita mundur
dan berhenti sama saja dengan KITA MENYETUJUI dan MEMBIARKAN PEMUSNAHAN MANUSIA di
TANAH INI.