Rabu, 17 September 2025

RESONANSI: suara dari tanah terluka

 Theys Hiyo Eluay

“Orang Papua ingin dihargai sebagai manusia yang bermartabat di tanahnya sendiri.”

 

 

RESONANSI: Suara dari TANAH  TERLUKA

 

Di ujung timur,

ada tanah yang bergetar,

bukan hanya oleh gemuruh hutan

atau riuh gelombang Samudera Pasifik,

tetapi oleh luka yang belum sembuh.

 

Tanah itu bernyanyi,

bukan dalam nada riang,

melainkan dalam resonansi duka,

gema yang menembus langit,

menyapa hati-hati yang masih peduli.

 

Anak-anaknya belajar dari batu dan sungai,

bahwa air mata bisa menjadi kitab,

dan darah bisa menulis sejarah

yang tak mudah dihapus.

 

Namun, dari tanah terluka itu,

muncul suara yang tak bisa dibungkam:

suara ibu-ibu yang berdoa di malam sunyi,

suara pemuda yang menanam harapan dari kamar yang gelap,

suara gereja yang berdiri meski diterpa badai.

 

Resonansi itu menggema jauh,

menembus tembok ketidakadilan,

menggetarkan ruang-ruang kekuasaan,

dan memanggil dunia untuk mendengar.

 

Tanah yang terluka tetap bernyanyi,

sebab setiap luka adalah palu,

yang memukul genderang keadilan,

hingga dunia tahu:

suara Papua bukan bisikan,

melainkan gema,

resonansi dari tanah yang tak pernah diam.

 

 

 

 

 

FILOSOFI di Tanah Papua

 

“Berbicara tentang TANAH PAPUA berarti berbicara tentang INJIL”

Makna Papua Tanah Injil bagi Kehidupan Bergereja dan Bermasyarakat di Papua di mulai sejak 5 Februari 1855, ketika dua utusan Injil, Ottow dan Geissler, mendarat di Pulau Mansinam, Papua dikenal sebagai Tanah Injil. Istilah ini bukan sekadar gelar religius, melainkan pengakuan iman yang melekat pada identitas masyarakat Papua. Injil yang masuk telah mengubah wajah Papua: dari kegelapan menuju terang, dari keterasingan menuju pengakuan sebagai bagian dari persekutuan umat Allah.

 

Namun, perjalanan Papua tidak selalu mulus. Sebagai wilayah yang kaya sumber daya alam, Papua selalu menjadi pusat perhatian geopolitik, baik nasional maupun global. Dalam arus besar politik, ekonomi, dan keamanan ini, masyarakat Papua sering kali berada di posisi yang rentan.

Dalam situasi inilah, makna Papua sebagai Tanah Injil perlu ditafsirkan kembali secara kontekstual: bagaimana gereja dan masyarakat menghadapi realitas geopolitik dengan tetap berakar pada Injil Kristus?

 

A. Papua Tanah Injil: Identitas Iman yang Hidup

Sebutan Tanah Injil menegaskan bahwa kehidupan masyarakat Papua berakar pada kasih Allah. Injil bukan hanya doktrin, melainkan sumber kekuatan spiritual yang memberi arah hidup, baik dalam berjemaat maupun bermasyarakat. Identitas ini menegaskan bahwa Papua dipanggil menjadi tanah yang memancarkan kasih Kristus melalui kehidupan yang damai, adil, dan penuh pengharapan.

 

Tokoh gereja Papua, Pdt. Herman Saud, pernah menegaskan:

“Papua disebut Tanah Injil bukan hanya karena Injil pernah datang, tetapi karena Injil harus terus hidup dalam sikap dan tindakan umat di tanah ini.”

 

Bagi gereja, Injil adalah fondasi pelayanan. Bagi masyarakat, Injil adalah etika hidup yang menuntun cara bersikap dan bertindak. Dengan demikian, Papua Tanah Injil adalah identitas kolektif sekaligus panggilan untuk menghadirkan terang Kristus dalam segala aspek kehidupan.

 

B. Kehidupan Bermasyarakat: Injil sebagai Pedoman Sosial

Injil tidak berhenti di altar gereja, melainkan harus hidup dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Papua. Dalam menghadapi geopolitik, Injil mengajarkan:

Persaudaraan Sejati: Masyarakat Papua harus menjaga solidaritas di tengah perbedaan suku, agama, dan pandangan politik. Kasih Kristus menjadi dasar untuk hidup saling mengasihi dan menghargai.

Menjaga Martabat Manusia: Geopolitik sering menempatkan masyarakat kecil sebagai korban. Namun Injil menegaskan bahwa setiap orang Papua adalah ciptaan Allah yang bermartabat, sehingga harus diperlakukan adil.

 Seperti dikatakan oleh tokoh Papua, Theys Hiyo Eluay (alm.):

“Orang Papua harus diperlakukan sebagai manusia yang bermartabat. Kita ini ciptaan Tuhan yang sama dengan bangsa lain.”

Keadilan dan Perdamaian: Injil memanggil masyarakat untuk memperjuangkan keadilan tanpa kekerasan. Damai sejahtera Kristus harus menjadi gaya hidup, bukan sekadar retorika.

 

C. Papua Tanah Injil sebagai Visi Bersama

Menjadi Tanah Injil berarti menjadikan Injil sebagai visi bersama dalam menghadapi masa depan Papua.

Bagi gereja, Injil adalah dasar untuk melayani dengan tulus, bukan mencari kuasa.

Bagi masyarakat, Injil adalah pedoman etika dalam membangun keluarga, komunitas adat, dan kehidupan publik.

Bagi bangsa Indonesia, Papua Tanah Injil adalah kontribusi Papua dalam memperkaya keberagaman bangsa, menghadirkan wajah damai dan kasih di tengah konflik geopolitik.

 

Seperti pernah diungkapkan Pdt. Herman Saud:

“Papua Tanah Injil berarti Papua harus menjadi berkat, bukan hanya bagi Papua, tetapi juga bagi Indonesia dan bangsa-bangsa.”

 

INJIL: "Harapan bagi Papua"

Makna Papua sebagai Tanah Injil bukan hanya nostalgia sejarah, melainkan kompas moral dan spiritual bagi kehidupan bergereja dan bermasyarakat saat ini. Injil memberi kekuatan untuk menghadapi tantangan geopolitik dengan iman, harapan, dan kasih.

 Di tengah eksploitasi, ketidakadilan, dan konflik, Papua dipanggil untuk tetap memancarkan terang Kristus. Gereja dan masyarakat Papua harus berdiri bersama, menjaga tanah ini sebagai tanah damai dan penuh pengharapan. Dengan demikian, Papua benar-benar menjadi Tanah Injil—tanah di mana kasih Allah berakar, bertumbuh, dan berbuah bagi semua orang.

 

 “Siapa yang bekerja dengan jujur di atas tanah ini, akan berjalan dari tanda heran yang satu ke tanda heran yang lain.”

Ungkapan ini bukan sekadar pepatah, tetapi sebuah filosofi hidup yang lahir dari pengalaman panjang orang Papua dalam menyatu dengan tanahnya. Tanah tidak hanya dipandang sebagai ruang hidup, melainkan juga sebagai ibu yang melahirkan, memberi makan, dan memelihara.

 

Kejujuran sebagai Dasar Hidup

Dalam dunia modern, kita sering mendengar bahwa kerja keras adalah kunci keberhasilan. Namun, bagi orang Papua, kerja keras tanpa kejujuran ibarat mendayung tanpa arah. Tanah ini hanya memberi keajaiban kepada mereka yang menghargainya dengan hati yang tulus. Kejujuran bukan hanya soal tidak mencuri, tetapi juga soal menghormati tanah, laut, dan hutan sebagai milik bersama yang harus dijaga.

 

Seorang tokoh gereja di Tanah Papua, Pdt. Benny Giay, pernah berkata:

“Tanah ini milik Allah. Ia bukan hanya memberi makan orang Papua, tetapi juga memberi hidup kepada bangsa-bangsa. Namun, syaratnya adalah keadilan dan kejujuran dalam mengelolanya.”

 

Tanda Heran: Berkat yang Nyata

“Tanda heran” yang dimaksud bukanlah sesuatu yang abstrak. Ia nyata dalam kehidupan sehari-hari: tanah yang subur, laut yang kaya, udara yang bersih, serta persaudaraan yang terjaga. Semua itu menjadi keajaiban ketika manusia memilih jalan kejujuran.

 

Tokoh perempuan Papua, Mama Yosepha Alomang, yang dikenal sebagai pejuang lingkungan dan kemanusiaan, pernah mengingatkan:

“Hutan dan tanah ini adalah supermarket kami, rumah sakit kami, sekolah kami. Kalau kita jaga dengan hati bersih, tanah ini akan terus memberi kita kehidupan.”

Pernyataan itu menunjukkan bahwa tanda heran hadir bukan hanya dalam iman, tetapi juga dalam keutuhan ekologi dan budaya yang dijaga dengan jujur.

 

Panggilan Moral bagi Semua

Dalam konteks sosial-politik, filosofi ini adalah kritik sekaligus harapan. Papua sering dilihat sebagai tanah konflik dan eksploitasi. Namun, bagi orang Papua, ia tetap tanah berkat. Yang diperlukan adalah keberanian untuk jujur: jujur dalam politik, jujur dalam pembangunan, dan jujur dalam mengelola hasil alam.

 

Seorang tokoh masyarakat, Dr. Socrates Sofyan Yoman, pernah menegaskan:

“Papua adalah tanah berkat. Tetapi berkat itu tidak akan terlihat kalau ketidakjujuran, kekerasan, dan penindasan terus dibiarkan. Kejujuran adalah pintu menuju keadilan dan damai.”


Jalan Kejujuran Menuju Keajaiban

 Filosofi Papua ini mengingatkan kita bahwa tanah bukan sekadar objek ekonomi, melainkan ruang spiritual, sosial, dan kultural. Barang siapa bekerja dengan jujur di atas tanah Papua, ia akan menyaksikan keajaiban yang tak habis-habis, bukan hanya hasil panen atau kekayaan alam, melainkan juga damai sejahtera yang lahir dari hidup yang adil dan benar.

Tanah Papua menantang kita semua, baik orang asli Papua maupun non Papua untuk memilih jalan kejujuran. Karena hanya di jalan itulah kita bisa berjalan dari tanda heran yang satu ke tanda heran yang lain.

 

Filsafat “Hidup Orang Papua Menyatu dengan Tanah dan Alam”

Di tanah Papua, ada sebuah falsafah yang hidup dan diwariskan turun-temurun: “Hidup orang Papua menyatu dengan tanah dan alam.” Falsafah ini bukan sekadar ungkapan puitis, tetapi sebuah kenyataan yang meresap dalam seluruh sendi kehidupan masyarakat Papua.

Bagi orang Papua, tanah bukan sekadar hamparan bumi, melainkan identitas dan jati diri. Nama suku, marga, dan garis keturunan selalu melekat pada wilayah tertentu. Tanah ulayat menjadi “alamat rohani” yang menunjukkan siapa dirinya. Maka, ketika tanah hilang, bukan hanya harta yang lenyap, tetapi juga martabat dan sejarah.

Seorang tokoh adat pernah berkata, “Kalau tanah kami diambil, di mana kami akan berdiri? Tanah adalah ibu yang melahirkan kami.”

 Lebih dari identitas, alam adalah sumber kehidupan. Hutan menyediakan sagu, babi, sayuran, dan obat-obatan alami. Sungai memberi air, ikan, dan jalan penghubung. Gunung dan lembah memberi perlindungan sekaligus inspirasi dalam doa dan nyanyian. Orang Papua percaya bahwa alam bukan hanya untuk dieksploitasi, melainkan harus dijaga sebagai sahabat hidup.

Di sinilah kita melihat kearifan ekologis orang Papua: hidup dalam keseimbangan. Mereka mengambil dari alam secukupnya dan mengembalikannya dengan penghormatan. Tidak ada ruang untuk kerakusan, karena merusak alam berarti merusak diri sendiri. Falsafah ini sejalan dengan iman Kristen yang berkembang di Papua. Alkitab mengajarkan bahwa bumi adalah milik Tuhan, dan manusia hanya penatalayan (Kejadian 2:15). Dengan demikian, menjaga tanah dan alam bukan hanya tradisi budaya, tetapi juga panggilan iman.

 Namun, falsafah luhur ini kini menghadapi tantangan besar. Ekspansi ekonomi, investasi besar, dan eksploitasi sumber daya sering menyingkirkan masyarakat adat dari tanah leluhur mereka. Hutan-hutan dibuka, sungai tercemar, dan gunung-gunung dilubangi demi emas dan kayu. Dalam situasi ini, falsafah “hidup menyatu dengan tanah dan alam” menjadi suara perlawanan moral. Ia mengingatkan kita bahwa pembangunan tanpa penghormatan pada tanah dan alam berarti pembangunan yang merusak manusia itu sendiri.

Refleksi ini penting, bukan hanya untuk Papua, tetapi juga bagi kita semua. Dunia modern sering menjauhkan manusia dari alam. Kita menganggap tanah hanya sebagai aset, hutan hanya sebagai angka produksi, dan laut hanya sebagai ruang eksploitasi. Padahal, seperti diingatkan orang Papua, hidup manusia tidak bisa dipisahkan dari tanah dan alam.

 Kiranya falsafah ini menjadi cermin bagi kita: bahwa manusia, tanah, dan alam adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dan ketika kita menjaga tanah dan alam, sesungguhnya kita sedang menjaga kehidupan dan masa depan kita sendiri.

Tokoh adat Papua Ondofolo Yulianus Pigome,

“Tanah adalah mama. Kalau tanah rusak, maka kita kehilangan mama. Alam menjaga kita, maka kita harus menjaga alam.”

 

Ungkapan ini memperlihatkan cara pandang ekologis yang sangat filosofis, bahwa manusia dan alam saling menjaga dalam keseimbangan.

 Bagi masyarakat adat; hutan, sungai, gunung, dan tanah leluhur adalah arsip hidup yang menyimpan sejarah, hukum adat, serta petunjuk moral. Filsafat ini melahirkan etika ekologis khas Papua: tidak merusak lebih banyak dari yang diambil, tidak mengambil lebih dari yang diperlukan, serta menghormati tanah sebagai warisan generasi.

 

GEOPOLITIK TANAH PAPUA: Refleksi bagi Masyarakat & Gereja

 Tanah Papua adalah tanah yang kaya, indah, dan diberkati Tuhan. Letaknya yang strategis di ujung timur Indonesia membuat Papua menjadi pintu gerbang ke kawasan Pasifik. Dari sisi geopolitik, Papua bukan hanya penting bagi Indonesia, tetapi juga menjadi perhatian dunia internasional karena sumber daya alamnya yang melimpah, posisinya yang strategis, serta identitas Melanesia yang unik.

Namun, di balik segala potensi itu, masyarakat Papua seringkali bergumul dengan realitas yang penuh ketegangan: kemiskinan di tengah kekayaan, konflik berkepanjangan, dan pertanyaan mendasar tentang identitas. Dalam konteks inilah, gereja hadir bukan hanya sebagai tempat beribadah, melainkan juga sebagai ruang penguatan, penghiburan, dan suara kenabian.

1. Geopolitik Papua dalam Kehidupan Masyarakat

a. Identitas dan Budaya

Masyarakat Papua hidup di antara dua arus besar: Indonesia dan Melanesia. Di satu sisi, mereka adalah bagian dari NKRI; di sisi lain, mereka merasa bagian dari rumpun Pasifik. Persilangan identitas ini sering menimbulkan kebingungan, bahkan konflik batin. Pertanyaan seperti “Siapakah saya sebagai orang Papua?” menjadi refleksi mendalam yang memengaruhi cara pandang hidup.

b. Kekayaan Alam dan Kesejahteraan

Papua memiliki tambang emas dan tembaga terbesar di dunia, hutan tropis yang luas, laut yang kaya, serta potensi energi yang besar. Namun, ironinya, masyarakat asli Papua masih bergumul dengan kemiskinan, keterbatasan pendidikan, dan kurangnya layanan kesehatan. Ketidakadilan ini menimbulkan rasa terluka dan perasaan terpinggirkan.

 c. Konflik dan Keamanan

Ketegangan politik dan keamanan seringkali membuat masyarakat sipil menjadi korban. Banyak yang hidup dalam ketakutan, trauma, bahkan harus mengungsi. Realitas ini menandai bahwa geopolitik Papua bukan sesuatu yang jauh, melainkan nyata dirasakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

 

2. Geopolitik Papua dalam Kehidupan Gereja

a. Gereja sebagai Suara Kenabian

Gereja di Papua tidak dapat menutup mata terhadap ketidakadilan. Ketika umat mengalami penderitaan akibat eksploitasi atau konflik, gereja terpanggil untuk bersuara. Suara kenabian ini bukanlah “politik praktis”, melainkan panggilan Injil untuk menyatakan kebenaran, keadilan, dan damai sejahtera.

b. Gereja sebagai Penjaga Identitas

Bagi banyak orang Papua, gereja adalah tempat di mana identitas diri dirawat. Lagu rohani yang dipadukan dengan bahasa dan budaya lokal menjadikan gereja sebagai ruang aman untuk mengekspresikan ke-Papua-an sekaligus ke-Kristen-an. Dengan demikian, gereja menjadi benteng bagi jati diri orang Papua.

c. Gereja dalam Rekonsiliasi dan Pemulihan

Di tengah luka akibat konflik, gereja hadir dengan pelayanan penghiburan, doa, dan pendampingan. Pelayanan trauma healing, dialog lintas suku, dan pemberdayaan jemaat adalah wujud nyata panggilan gereja sebagai alat rekonsiliasi Tuhan di tanah ini.

d. Tantangan Gereja

Gereja sering dihadapkan pada dilema: ketika bersuara tentang keadilan, ia dianggap berpolitik; ketika diam, ia mengabaikan penderitaan umat. Tantangan terbesar gereja adalah bagaimana tetap setia kepada Injil sambil bijak menghadapi tekanan politik dan kekuasaan.

 

3. Refleksi Iman: Geopolitik Sebagai Panggilan

Dalam terang iman Kristen, kita percaya bahwa Tuhan menempatkan orang Papua di tanah yang kaya bukan untuk ditindas, melainkan untuk hidup sejahtera. Yesus berkata: “Aku datang supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yoh. 10:10).

Maka, geopolitik Papua tidak hanya kita lihat dari kaca mata negara atau dunia internasional, tetapi juga dari kacamata iman: bagaimana umat Tuhan di Papua bisa hidup adil, damai, dan sejahtera.

Gereja terpanggil untuk menjadi nabi yang menyuarakan kebenaran, menjadi imam yang membawa doa dan penghiburan bagi umat yang menderita., menjadi gembala yang memelihara umat di tengah ketidakpastian.

Tahun 2025 menandai delapan dekade kemerdekaan Republik Indonesia. Perayaan ini selalu diiringi gegap gempita, upacara, dan narasi kebangsaan. Namun, di balik itu muncul pertanyaan mendasar: kemerdekaan untuk siapa? Dan bagaimana ia benar-benar dirasakan oleh rakyat di ujung timur negeri, yakni Tanah Papua.

Secara politik, Tanah Papua sudah berada dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak 1963 dan melalui Pepera 1969 status itu diakui dunia. Bahkan, pemerintah memberikan Otonomi Khusus (Otsus) yang seharusnya memberi ruang lebih besar bagi orang asli Papua dalam menentukan arah pembangunan. Namun kenyataan di lapangan sering berbeda: partisipasi masyarakat dalam kebijakan strategis masih dianggap terbatas, sementara rasa memiliki terhadap negara belum sepenuhnya tumbuh.

Secara ekonomi, Papua adalah tanah yang kaya. Emas, tembaga, gas, hutan, dan lautnya menjadi sumber daya strategis nasional. Ironisnya, kemakmuran itu belum banyak dinikmati oleh rakyat Papua sendiri. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua dan Papua Pegunungan masih berada di posisi terbawah. Kesenjangan antara perkotaan dan pedalaman begitu mencolok, membuat orang Papua merasa sekadar menjadi penonton di tanah leluhur mereka.

Dari sisi sosial dan budaya, Papua memang masih menjaga identitasnya. Bahasa, tari, musik, dan adat tetap hidup di tengah arus modernisasi. Namun, tantangan serius seperti rendahnya kualitas pendidikan, keterbatasan layanan kesehatan, hingga tingginya angka HIV/AIDS menjadi gambaran bahwa pembangunan belum menyentuh semua lapisan masyarakat.

Isu hak asasi manusia semakin menambah luka. Konflik bersenjata, kekerasan, hingga diskriminasi kerap mewarnai kehidupan sehari-hari. Bagi banyak orang Papua, kemerdekaan bukan sekadar terbebas dari penjajahan asing, melainkan juga terbebas dari rasa takut, kemiskinan, dan marginalisasi.

 Sebagaimana pernah dikatakan Theys Hiyo Eluay, salah satu tokoh Papua, “Orang Papua ingin dihargai sebagai manusia yang bermartabat di tanahnya sendiri.” Kutipan ini menegaskan bahwa kemerdekaan bukan hanya soal pengakuan politik, melainkan penghormatan terhadap martabat manusia.

Sementara itu, Pdt. Benny Giay, tokoh gereja di Papua, pernah mengingatkan, “Kekerasan hanya melahirkan luka baru. Jalan damai, rekonsiliasi, dan penghormatan terhadap orang asli Papua adalah satu-satunya cara untuk membangun masa depan bersama.” Pesan ini memperlihatkan bahwa nilai spiritual dan kearifan lokal Papua seharusnya menjadi landasan pembangunan, bukan justru terpinggirkan.

 Kemerdekaan sebagaimana yang selalu dirayakan menjadi refleksi dimanakan Peran Gereja dalam Gejolak Geopolitik Papua yang berdampak secara langsung dalam kehidupan kemerdekaan.

2 Korintus 3 : 17

Sebab Tuhan adalah Roh; dan di mana ada Roh Allah, di situ ada kemerdekaan

Dalam perjalanan sejarah Papua, Gereja memiliki peran yang sangat strategis. Gereja tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga ruang pendidikan, penguatan identitas, dan advokasi sosial. Karena itu, ketika berbicara soal kemerdekaan yang belum dirasakan penuh di Papua, peran Gereja tidak bisa diabaikan.

Pertama:

Gereja hadir sebagai suara kenabian. Ia menjadi corong rakyat kecil yang menuntut keadilan, perdamaian, dan hak asasi manusia.

Kedua:

Gereja berfungsi sebagai ruang rekonsiliasi yang menjembatani konflik antara negara, kelompok pro-kemerdekaan, maupun antar masyarakat sendiri.

Ketiga:

Gereja memainkan peran nyata dalam pembangunan manusia: mendirikan sekolah, rumah sakit, dan pusat sosial, terutama di pedalaman yang jarang tersentuh negara.

 Namun, Gereja menghadapi dilema. Ketika bersuara kritis, ia kerap dicap “separatis”. Sebaliknya, bila terlalu dekat dengan negara, ia bisa kehilangan kepercayaan umat. Karena itu, Gereja harus berhikmat: berpihak pada kehidupan dan martabat manusia, bukan pada kekuasaan politik.

 Bagi orang Papua, iman Kristen telah menyatu dengan identitas kultural. Karena itu, Gereja memiliki kekuatan moral yang besar untuk menuntun umat agar tidak terjebak dalam lingkaran kekerasan, tetapi tetap memperjuangkan keadilan secara damai.

Sebagaimana firman Yesus dalam Yohanes 10 : 10, “Aku datang supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” Inilah panggilan Gereja di Papua: menghadirkan kemerdekaan yang sejati—kemerdekaan untuk hidup bermartabat, damai, dan sejahtera.

Delapan puluh tahun setelah proklamasi, bangsa ini perlu jujur bertanya: apakah Papua sudah benar-benar merasakan kemerdekaan? Ataukah kemerdekaan hanya berhenti sebagai slogan yang belum menjawab realitas hidup orang asli Papua?

Harapan ke depan jelas: Papua akan benar-benar hidup bermartabat bila pembangunan lebih berpihak pada manusia, bukan semata eksploitasi sumber daya. Pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia harus menjadi dasar pendekatan. Gereja, dengan posisi strategisnya, dapat menjadi jembatan perdamaian dan pengawal nurani bangsa.

Hanya dengan itu, Papua dapat merasakan bahwa kemerdekaan bukan hanya milik Jakarta, tetapi milik seluruh anak bangsa, dari Sabang hingga Merauke.

 

 

PAPUA

Tanah INJIL; konteks kearifan lokal

 

Kearifan lokal Papua mencerminkan identitas kolektif masyarakat yang dibangun atas dasar hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Nilai-nilai budaya, sosial, dan religius masyarakat Papua tidak hanya berfungsi sebagai warisan leluhur, tetapi juga sebagai pedoman etis dalam menghadapi tantangan modernitas.

Berkomitmen bagaimana kearifan lokal Papua dapat dipertahankan dan diintegrasikan dengan iman Kristiani serta kehidupan modern. Integrasi tersebut menciptakan ruang dialog antara tradisi dan iman, sekaligus menjawab kebutuhan masyarakat Papua dalam konteks pembangunan sosial, pendidikan, ekonomi, dan spiritualitas

Papua adalah wilayah dengan keanekaragaman budaya, bahasa, dan tradisi yang unik. Kehidupan masyarakatnya sangat erat dengan alam dan sistem nilai yang diwariskan secara turun-temurun. Modernisasi yang masuk ke Papua melalui pendidikan, teknologi, dan globalisasi menghadirkan peluang sekaligus tantangan.

Di sisi lain, iman Kristiani telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Papua sejak masuknya pekabaran Injil pada 5 Februari 1855 Kehadiran Gereja membawa transformasi sosial yang signifikan, khususnya dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Namun, dalam konteks pembangunan masa kini, muncul pertanyaan penting: bagaimana masyarakat Papua dapat berpartisipasi dalam kehidupan modern tanpa kehilangan jati diri budaya dan kearifan lokalnya, serta bagaimana iman Kristiani dapat berdialog dengan nilai-nilai tradisi tersebut?

 

Kearifan Lokal Papua

1. Dimensi Budaya

Relasi dengan alam:

Alam dianggap sebagai saudara, bukan objek eksploitasi. Filosofi ini terlihat dalam praktik pertanian tradisional, pola berburu, serta sistem pengelolaan hutan yang berkelanjutan.

Simbolisme dalam seni dan bahasa:

Tarian, nyanyian, ukiran, dan bahasa daerah menjadi sarana ekspresi nilai-nilai hidup yang sarat dengan makna spiritual.

 

2. Dimensi Sosial

Komunalitas dan solidaritas:

Sistem hubungan kekerabatan dan gotong royong menegaskan pentingnya kebersamaan.

 Keadilan sosial berbasis adat:

Musyawarah adat dan kepemimpinan tradisional berfungsi menjaga keseimbangan dalam kehidupan masyarakat.

 

3. Dimensi Religius

Spiritualitas kosmologis:

Kepercayaan masyarakat Papua tradisional menekankan hubungan vertikal (manusia dengan Tuhan) dan horizontal (manusia dengan alam dan sesama).

Integrasi dengan iman Kristiani:

Nilai-nilai ini menemukan resonansi dalam ajaran Kristen tentang keutuhan ciptaan, kasih, dan keadilan.

Kearifan Lokal dan Kehidupan Modern

1. Pendidikan Kontekstual

Kearifan lokal dapat diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan agar generasi muda Papua tetap memahami akar budayanya sekaligus mampu menghadapi tantangan global.

2. Ekonomi Berkelanjutan

Sistem ekonomi modern yang masuk ke Papua sebaiknya selaras dengan filosofi kearifan lokal, misalnya pengelolaan hutan berbasis masyarakat adat atau koperasi yang berakar pada nilai gotong royong.

3. Identitas dalam Era Globalisasi

Di tengah arus modernisasi, identitas kultural Papua menjadi fondasi yang menjaga keutuhan masyarakat agar tidak tercerabut dari akar budayanya.

 

Iman Kristiani dalam Dialog dengan Kearifan Lokal

1. Teologi Kontekstual

Iman Kristiani di Papua berkembang dengan mengadopsi simbol, bahasa, dan nilai lokal. Misalnya, Injil dipahami sebagai kabar baik yang memerdekakan manusia dalam kesatuan dengan alam dan komunitas.

2. Penguatan Spiritualitas Holistik

Kehidupan doa, ibadah, dan pelayanan umat dapat diperkaya dengan ekspresi budaya lokal, sehingga kekristenan tidak dipandang sebagai entitas asing, melainkan bagian dari kehidupan sehari-hari.

3. Etika Kristiani dan Nilai Adat

Prinsip kasih, keadilan, dan perdamaian dalam iman Kristiani selaras dengan kearifan lokal Papua yang mengutamakan keharmonisan dan solidaritas.

Kearifan lokal Papua pada dimensi budaya, sosial, dan religius memiliki peran vital dalam membentuk identitas masyarakat. Kehidupan modern dan iman Kristiani bukanlah ancaman bagi nilai-nilai ini, melainkan dapat menjadi mitra dalam membangun Papua secara berkelanjutan. Dengan pendekatan dialogis, Gereja dan masyarakat Papua mampu menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas, sehingga pembangunan tidak hanya bersifat material, tetapi juga berakar pada identitas, iman, dan nilai-nilai luhur masyarakat Papua.

 

GEREJA: diantara hiruk pikuk Geopolitik Tanah Papua

Papua merupakan wilayah dengan dinamika geopolitik yang kompleks, ditandai dengan isu pembangunan, konflik sosial, dan aspirasi politik. Di tengah realitas tersebut, Gereja - gereja di Tanah Papua kehadirannya bukan hanya sebagai institusi religius, tetapi juga agen sosial yang berakar pada nilai spiritual dan kearifan lokal. Sudah saatnya Gereja mengkaji secara mendalam bagaimana Gereja merespons situasi geopolitik Papua tanpa kehilangan identitas iman dan kebudayaan setempat. Pendektan yang digunakan Gereja sebagai pelaksana amanat agung Yesus Kristus adalah pendekatan teologi kontekstual, yang menekankan integrasi Injil dengan budaya Papua.

Sehingga dengan kajian tersebut Gereja di Tanah Papua menjabarkannya dalam program tahunan dan dijadikan sebagai program unggulan.

(1) gereja sebagai agen perdamaian,

(2) gereja sebagai pelindung kearifan lokal, dan

(3) gereja sebagai pendamping pembangunan.

Keberlanjutan Papua harus ditopang oleh harmoni antara spiritualitas Kristiani, kearifan lokal, dan pembangunan berkeadilan.

Papua adalah wilayah dengan kekayaan alam melimpah, keragaman budaya, dan keunikan spiritualitas. Namun, Papua juga menjadi wilayah dengan intensitas geopolitik tinggi, mencakup isu konflik bersenjata, kesenjangan pembangunan, dan marginalisasi sosial (Kambu, 2020; Widjojo, 2015). Dalam konteks ini, Gereja-gereja yang berada di Tanah Papua menghadapi tantangan ganda: bagaimana menjalankan misi rohani tanpa terjebak dalam pusaran politik praktis, sekaligus tetap relevan dengan identitas masyarakat Papua?

Kutipan - kutipan

1. Geopolitik Papua

Studi Widjojo (2015) dan Tebay (2009) menekankan bahwa persoalan geopolitik Papua tidak hanya berkaitan dengan politik nasional, tetapi juga relasi identitas dan sejarah.

2. Peran Gereja di Papua

Gereja sering berfungsi sebagai mediator dalam konflik sosial dan penyelaras nilai pembangunan (Griapon, 2018). Gereja dipandang sebagai institusi yang dipercaya masyarakat Papua karena kedekatannya dengan spiritualitas lokal.

3. Teologi Kontekstual

Menurut Juwita, Sitinjak, & Pandiangan (2025), teologi kontekstual adalah dialog kritis antara Injil dan budaya lokal. Pendekatan ini relevan bagi Gereja di Tanah Papua untuk menyampaikan Injil tanpa mereduksi kearifan lokal.

4. Kearifan Lokal Papua

Kearifan lokal seperti falsafah "hidup orang Papua menyatu dengan tanah dan alam" (Flassy, 2017) memperlihatkan orientasi kosmologis masyarakat Papua yang selaras dengan spiritualitas Kristiani.

Gereja di Tanah Papua harus memiliki tiga pola respons utama terhadap situasi geopolitik:

1. Gereja sebagai agen perdamaian

Gereja berperan mendorong rekonsiliasi melalui doa, pengajaran, dan program kemasyarakatan yang menekankan perdamaian sebagai wujud kasih Kristus

2. Gereja sebagai pelindung kearifan lokal

Nilai-nilai budaya seperti gotong-royong, solidaritas komunal, dan relasi harmonis dengan alam diintegrasikan dalam ibadah, liturgi, dan pelayanan sosial.

3. Gereja sebagai pendamping pembangunan

Gereja di Tanah Papua mendukung pembangunan nasional dengan prinsip keadilan, partisipasi, dan keberpihakan pada masyarakat kecil, seraya menolak segala bentuk eksploitasi yang merusak tatanan ekologis dan sosial.

Respons Gereja terhadap geopolitik Papua dapat dipahami sebagai bentuk teologi praksis.

Pertama:

Dengan menjadi agen perdamaian, Gereja menegaskan posisi netral tetapi profetis: tidak berpihak pada kekerasan, melainkan pada keadilan (Tebay, 2009).

Kedua:

Pelestarian kearifan lokal merupakan wujud nyata dari teologi kontekstual (Juwita et al., 2025), karena Injil hadir bukan untuk meniadakan budaya, melainkan menyempurnakan nilai-nilainya.

Ketiga:

Peran gereja dalam pembangunan menjadi kritik terhadap model pembangunan eksploitatif yang sering mengabaikan masyarakat adat (Kambu, 2020).

 

Dengan demikian, Gereja-gereja di Tanah Papua memandang bahwa spiritualitas Kristiani dan kearifan lokal bukan hambatan bagi pembangunan, tetapi fondasi etis untuk membangun Papua yang damai, adil, dan bermartabat.

Gereja-gereja Di Tanah Papua seharusnya menyikapi dinamika geopolitik Papua dengan menempatkan diri sebagai agen perdamaian, pelindung kearifan lokal, dan pendamping pembangunan yang adil dan bermartabat.

Melalui pendekatan teologi kontekstual, gereja berperan menjaga spiritualitas Kristiani tanpa meniadakan identitas budaya Papua. Dengan cara ini, Gereja menunjukkan bahwa iman dan kearifan lokal dapat menjadi dasar bagi penyelesaian konflik dan pembangunan yang berkelanjutan. Sebagaimana telah disampaikan bahwa Papua merupakan salah satu wilayah strategis Indonesia yang memiliki keunikan geografis, kultural, serta politik. Geopolitik Papua dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni posisi wilayah yang berbatasan dengan negara-negara Pasifik, kekayaan sumber daya alam, dan keragaman etnis-budaya. Namun demikian, Papua juga menghadapi berbagai persoalan serius seperti ketidakmerataan pembangunan, konflik sosial-politik, dan isu hak asasi manusia.

Dalam konteks inilah, peran Gereja-gereja di Tanah Papua sangat diperlukan. Gereja tidak hanya hadir sebagai pusat ibadah dan pembinaan rohani, tetapi juga menjadi agen transformasi sosial, perdamaian, dan pemberdayaan umat.

 

Gereja-gereja di Tanah Papua dituntut untuk merumuskan rencana pembangunan yang berlandaskan spiritualitas (iman Kristiani), namun tetap responsif terhadap realitas geopolitik Papua.

Tanah Papua tidak hanya kaya dengan hutan, emas, tembaga, dan laut yang luas. Papua juga kaya dengan manusia, budaya, dan iman yang telah menjadi denyut nadi kehidupan masyarakatnya. Namun, di balik kekayaan itu, Papua juga menjadi ruang perebutan geopolitik yang penuh dinamika. Letak strategis, sumber daya alam yang melimpah, serta isu politik identitas membuat Papua tidak pernah lepas dari tarik-menarik kepentingan nasional maupun internasional.

Gereja di Tanah Papua tidak bisa berdiam diri di atas realitas sosial-politik yang berlangsung. Ia hadir bukan sekadar tempat ibadah, tetapi juga rumah bagi orang Papua untuk mengadu, mencari keadilan, dan menemukan harapan. Gereja harus menjadi "ibu" yang mendengar jeritan umatnya yang terdampak konflik, penggusuran, hingga kekerasan bersenjata.

Tidak jarang, mimbar gereja berubah menjadi ruang doa sekaligus ruang protes moral. Para pendeta dan pimpinan gereja sering kali dituntut untuk bersuara profetik, menyuarakan kebenaran dan keadilan.

Hal ini juga membuat gereja berada pada posisi sulit: dituduh terlalu politis, padahal sejatinya ia sedang melindungi martabat manusia Papua.

Bagi masyarakat Papua, geopolitik menghadirkan paradoks. Di satu sisi pembangunan infrastruktur hadir, kota-kota tumbuh, dan akses transportasi semakin terbuka.

Namun di sisi lain, ada perasaan terpinggirkan karena banyak sumber daya alam dikuasai oleh pihak luar. Migrasi besar-besaran dari luar Papua juga memunculkan ketegangan identitas, di mana orang asli Papua merasa menjadi minoritas di tanah sendiri.

Konflik bersenjata dan operasi keamanan menambah luka. Banyak keluarga kehilangan anggota, ada yang mengungsi ke hutan, dan anak-anak harus belajar dengan rasa takut. Trauma kolektif itu masih membekas hingga kini. Dalam situasi seperti ini, masyarakat menggantungkan harapan mereka pada gereja sebagai benteng terakhir yang bisa dipercaya.

Dalam refleksi iman, kita bisa melihat bahwa Tuhan menempatkan gereja di Tanah Papua bukan secara kebetulan. Gereja dipanggil untuk menjadi terang dan garam; membangun perdamaian, memperjuangkan keadilan, dan merawat identitas Papua yang kaya dengan kearifan lokal. Di banyak tempat, gereja sudah menjadi penggerak pendidikan, kesehatan, bahkan ekonomi jemaat. Gereja harus hadir tidak hanya untuk menyelamatkan jiwa, tetapi juga untuk memulihkan kehidupan.

Melalui jejaring oikumenis, suara Papua kini juga terdengar hingga ke forum internasional. Gereja-gereja di Pasifik, bahkan hingga ke Dewan Gereja Dunia, ikut menyuarakan penderitaan Papua. Hal ini menegaskan bahwa isu Papua bukan hanya soal politik negara, tetapi juga soal kemanusiaan yang universal.

 Mama Yosepha Alomang

“Tanah adalah mama bagi orang Papua. Jika tanah dirusak, maka kehidupan anak-anak Papua juga dirusak.”

 

 

PENUTUP

RESONANSI; suara dari TANAH TERLUKA

 

Geopolitik di Tanah Papua memang keras dan penuh kepentingan. Tetapi di balik itu semua, ada manusia Papua yang ingin hidup damai, sejahtera, dan bermartabat. Gereja dipanggil untuk tidak tinggal diam. Gereja harus tetap menjadi "nabi" yang berani bersuara, sekaligus menjadi "gembala" yang setia menuntun umat menuju pengharapan.

Papua adalah tanah yang diberkati. Luka dan air mata yang ada hari ini harus menjadi panggilan bersama gereja, masyarakat, dan negara untuk membangun Papua yang adil, damai, dan penuh kasih

 

Obet Kogoya

“Kami membutuhkan gereja yang aktif, yang dapat merangkul budaya lokal sekaligus menjawab tantangan sosial masyarakat Papua.”

 

Di ujung timur Indonesia, tanah Papua berdiri sebagai rahim peradaban yang kaya budaya, melimpah alam, namun juga menyimpan luka panjang. Luka itu bukan sekadar catatan sejarah, tetapi sebuah resonansi—gema yang terus menggetarkan hati, menembus ruang sosial, politik, dan spiritual.

Resonansi ini bukan suara biasa. Ia lahir dari jeritan mereka yang terpinggirkan, dari doa ibu-ibu di tengah malam, dari langkah pemuda yang menanam harapan di sepinya jalan, dan dari gereja yang tak berhenti menjadi ruang penghiburan. Suara dari tanah terluka itu menolak diam, sebab diam berarti mati.

Sejarah Papua penuh dengan paradoks: tanah yang kaya sumber daya, tetapi masyarakatnya seringkali hidup dalam ketidakadilan. Luka-luka itu tidak pernah benar-benar tersembuhkan. Namun, justru dari luka itulah lahir suara yang menggema. Suara itu mengingatkan bahwa kehidupan tidak boleh hanya diukur dari tambang emas atau kekayaan hutan, melainkan dari martabat manusia yang tinggal di dalamnya.

 

Budayawan Papua, Arnold C. Ap, pernah berkata:

“Tanah Papua bukan hanya sebuah wilayah, ia adalah rahim yang melahirkan manusia dengan martabat, yang harus dihargai setara dengan bangsa-bangsa lain.”[^1]

 

Pernyataan ini menegaskan bahwa resonansi Papua adalah panggilan bagi dunia untuk menghormati kemanusiaan, bukan sekadar memandang Papua sebagai objek geopolitik atau ekonomi.

Dalam konteks Papua, seharusnya gereja menjadi salah satu ruang yang paling lantang menyuarakan resonansi ini. Di mimbar-mimbar, dalam doa, maupun melalui pelayanan sosial, gereja menggaungkan panggilan keadilan dan kedamaian.

 

Pdt. Socratez Sofyan Yoman, tokoh gereja Papua, menegaskan:

“Keadilan adalah bahasa Allah. Jika suara dari tanah terluka tidak kita dengar, maka doa-doa kita pun kehilangan makna.”[^2]

 

Kutipan ini adalah pengingat keras bagi bangsa ini. Ibadah dan doa akan kehilangan roh jika kita membiarkan penderitaan terus berlangsung tanpa usaha nyata untuk menyembuhkannya.

Resonansi dari tanah terluka ini telah menembus batas Papua. Ia terdengar di forum-forum internasional, dalam diskusi akademik, dalam solidaritas gerakan masyarakat sipil, bahkan dalam nyanyian-nyanyian rakyat kecil. Resonansi Papua mengajarkan dunia bahwa luka bisa menjadi kekuatan, dan penderitaan bisa melahirkan solidaritas.

Laporan-laporan internasional, termasuk dari Amnesty International dan Human Rights Watch, berulang kali menegaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia di Papua masih berlangsung dan membutuhkan perhatian serius dunia.[^3][^4] Suara Papua bukan lagi sekadar isu domestik, tetapi sebuah gema global yang menuntut keadilan.

Di balik luka yang mendalam, Papua tetap menyanyi. Suaranya mungkin lahir dari kesakitan, tetapi gema itu adalah tanda kehidupan. Setiap luka adalah palu, yang memukul genderang keadilan, hingga dunia tahu: Papua tidak pernah diam.

Resonansi Papua adalah undangan bagi kita semua untuk tidak menutup telinga. Di balik tanah yang terluka, ada suara yang terus hidup. Suara itu bukan sekadar jeritan, tetapi juga doa, harapan, dan panggilan untuk berdiri bersama dalam keadilan dan kemanusiaan.

Injil Kristus adalah kabar baik yang membawa pembaruan, dan Gereja di Tanah Papua harus menjadi bagian dari solusi, bukan penonton,

 

Rekomendasi:

  • Gereja di Tanah Papua perlu menyusun rencana strategis pelayanan jangka panjang berbasis pada kajian geopolitik.
  • Peningkatan kapasitas pemimpin Gereja melalui pendidikan formal dan pelatihan kepemimpinan kontekstual.
  • Gereja perlu memperkuat kemitraan dengan adat, gereja lain, dan pemerintah dalam rangka membangun Papua yang damai dan sejahtera.
  • Gereja harus berkomitmen dan konsisten menjadi suara profetik bagi keadilan, HAM, dan kesejahteraan orang Papua.
  •  

Geopolitik Tanah Papua adalah realitas yang kompleks: ada kepentingan negara, ada perebutan sumber daya, ada tarik-menarik identitas, dan ada luka yang belum sembuh. Namun, di atas semua itu, Tuhan menaruh gereja dan masyarakat Papua untuk menjadi terang dan garam di tanah yang diberkati ini.

 

Refleksi ini mengajak kita untuk tidak hanya melihat Papua sebagai objek politik, tetapi sebagai rumah kehidupan, sebagai tanah berkat, dan sebagai tempat di mana Injil Yesus Kristus harus terus diberitakan melalui keadilan, perdamaian, dan kasih.

 

 

Referensi

[^1]: Arnold C. Ap, kutipan populer yang terdokumentasi dalam berbagai tulisan tentang budaya Papua. Lihat: Chauvel, Richard. Constructing Papuan Nationalism: History, Ethnicity, and Adaptation. Policy Studies 14, East-West Center Washington, 2005.

[^2]: Socratez Sofyan Yoman, Kitab Papua: Tanah yang Terluka. Jakarta: Cenderawasih Press, 2014.

[^3]: Amnesty International. Don’t Bother, Just Let Him Die: Killing with Impunity in Papua. Laporan Amnesty International, 2018.

[^4]: Human Rights Watch. Indonesia: Events of 2022. New York: HRW, 2023.

 

 

 

 

 

 

RAMBUTKU LURUS “hidupku untuk PAPUA”

Saya rambut lurus,

dari jauh angin membawa jejak lain,

namun kaki saya menjejak tanah ini

dengan cinta yang sama.


Di hutan rimba,

di noken yang menggendong harapan,

saya belajar bahwa hidup

bukan soal bentuk rambut

tetapi soal kesetiaan hati.


Saya rambut lurus,

namun saya ikut menanam di ladang,

ikut menimba di sungai,

ikut menari dalam irama tifa

yang menggema sampai langit.


Papua,

kau bukan sekadar tanah tempat berpijak,

kau adalah jiwa yang memanggil

untuk setia,

untuk menjaga,

untuk mencinta.


Maka biarlah rambut saya lurus,

tapi hati ini keriting oleh doa-doa,

jiwa ini hitam pekat oleh tekad,

dan hidup ini saya persembahkan

bagi Papua—

tanah yang mengajarkan arti persaudaraan

yang tak lekang oleh perbedaan.

 


NYANYIAN dari hati, untukmu Papuaku

Aku bernyanyi dari hati,

bukan dari panggung,

bukan dari sorak sorai kota,

melainkan dari sunyi rimba

dan debur ombak Samudra Pasifik

bagaikan doa terucap dari kebisuan

 

Papuaku,

engkau bukan sekadar tanah,

engkau adalah darah di nadi,

udara di dada,

dan cahaya yang membimbing langkahku.

 

Di wajahmu ada guratan luka,

namun juga senyum tabah.

Di matamu ada kabut duka,

namun juga api harapan.

Dan aku tahu,

nyanyian dari hati ini

adalah pelita kecil

yang ingin menyapa setiap jiwa.

 

Biarlah tifa berdentum,

mengiringi kata-kata yang lahir dari cintaku,

biarlah burung cenderawasih menari,

menjadi saksi bahwa suaraku tak akan padam.

 

Papuaku, dengarlah:

aku bernyanyi bukan untuk meratap,

tapi untuk merawat,

bukan untuk mengutuk,

tapi untuk menyembuhkan,

bukan untuk melawan,

tapi untuk menghidupkan.

 

Nyanyian dari hati ini

adalah jembatan,

yang menghubungkan luka dan harapan,

air mata dan senyuman,

masa lalu dan masa depan.

 

Nyanian dari hatiku untukmu Papua

sebagai doa,

sebagai pelukan,

sebagai janji:

bahwa aku akan selalu bersuara untukmu,

sekalipun dunia mencoba membungkamku.

 

Memang engkau bukan tanah lahirku,

Tapi engkau adalah hatiku.

 

 

 

Arnold Ap

“Budaya adalah jantung kami, selama ia bernyanyi, Papua tidak akan mati”

 

RESONANSI: suara dari tanah terluka

  Theys Hiyo Eluay “Orang Papua ingin dihargai sebagai manusia yang bermartabat di tanahnya sendiri.”     RESONANSI: Suara dari TANA...